oleh Wisanggeni Esmoyo [] Mahasiswa AFI Semester IV; IAIN Tulungagung [] Staf Verstehen Organic Philosophy
Cakramanggilingan adalah ibu dari nagadina yang tertata rapi dalam Kalender
Jawa. Karya Raja Mataram Sultan Agung tahun 1625 M (1547s) ini, terdapat
filosofi lahirnya hayati dan insan. Kalender Ratu Binatara itu
menyimbolisasi perputaran kehidupan, yang merupakan ciptaan Gusti Maha
Agung. Penciptaan inilah yang melahirkan segala mahluk dan sistem
kehidupan.
Proses perputaran hayati ini dinamakan Cakramanggilingan (cakra artinya
senjata berbentuk roda bergigi tajam, manggilingan artinya selalu
berputar). Manusia yang berbudi baik selalu mengikuti jalan yang
diperkenankan Gusti Maha Agung. Manusia akan dituntun mengetahui Sanggkan
Paraning Dumadi, datang ke dunia sebagai sesuatu yang suci, berperilaku
suci dan kembali dalam keadaan suci.
Pada tahun 1625 M (1547s), Sultan Agung memiliki upaya menguatkan pengaruh
Islam di Jawa. Upayanya adalah dengan mengeluarkan dekrit mengganti
penanggalan Saka berbasis perputaran matahari dengan sistem kalender
Kamariah atau Lunar (berbasis putaran bulan).
M.C. Ricklefs menyatakan bahwa kalender Jawa (anno Javanico) adalah kreasi
Sultan Agung (Ricklefs, 1998: v, 56). Kalender tersebut tetap menggunakan
angka tahun Saka dan tidak menggunakan perhitungan tahun Hijriyah (1035 H).
Penetapan angka tersebut karena demi kesinambungan antara Islam, Hindu dan
Julian penanggalan Barat, sehingga tahun 1547s diteruskan menjadi 1547
Jawa.
Sistem kalender Jawa memakai dua siklus hari; siklus mingguan dan siklus
pekan Pancawara; Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage. Bagi masyarakat Jawa
kedua hari digabungkan guna untuk mengingat peristiwa penting dalam
kehidupan. Pengabungan ini oleh masyarakat Jawa disimbolkan sebagai
perputaran hayati dalam tahun kalender Jawa.
Tahun kalender Jawa memiliki delapan nama yang dimulai sejak bulan Sura
atau bulan pertama. Purwana Alip ateges timbul-timbul; sudah mulai berniat,
Karyana Ehe ateges tumandang; melakukan, Anama Jemawal ateges agawe;
pekerjaan.
Lalana Je ateges lelakon; proses atau nasib, Ngawana Dal ateges hurip;
kehidupan, Pawaka Be ateges bola-bali; selalu kembali, Wasana Wawu ateges
marang; arak tujuan, Swasana Jimakir ateges suwung; kosong atau Gusti Maha
Agung.
Penamaan tahun Jawa dengan delapan nama menandai bahwa kalender Jawa
mengunakan siklus 8 tahunan. Siklus ini digunakan juga dalam kekhalifahan
Turki Utsmani pada masa Sultan Mehmet 1 (Duncan Bradford, 1843: 269).
Tahun dalam bahasa Jawa berarti Wiji (benih). Pujanga Jawa menyusun delapan
nama tersebut menjadi kalimat “Timbul-Timbul Tumandang Gawe Lelakon Urip
Bola-Bali Marang Suwung”. Secara harfiah maknanya adalah “Mulai
Melaksanakan Aktifitas Untuk Proses Kehidupan dan Semua Selalu Kembali
Kosong”. Kedelapan nama tahun menyiratkan proses bertumbuhnya biji yang
memiliki batang, berbuah, berdaun lebat tetapi akhirnya kosong kembali
tumbuh selalu berputar.
“…. sejatinya Tuhan bukanlah sosok atau pribadi, melainkan kekosongan yang
meliputi seluruh jagat raya. Tuhan dalam keadaan esensinya adalah
kekosongan yang tanpa batas. Sejatinya manusia tidak lebih dari manifestasi
dan pengejawantahan Tuhan, Sang Suwung.” (Setyo Hajar Dewantoro, 2017: 39).
Kelahiran jagat atau hayati dan insan mengerucut ke 12 bulan dengan prosesi
sebagai berikut: Pertama, Warana Sura ateges Rijal, kedua Wadana Sapar
ateges Wiwit, ketiga Wijangga Mulud ateges Kanda, keempat Wiyana Bakda
Mulud ateges Ambuka.
Kelima Widada Jumadi Akhir ateges Wiwara, keenam Widarpa Jumadi Akhir
ateges Rahsa, ketujuh Wilapa Rejep ateges Purwa, kedelapan Wahana Ruwah
ateges Dumadi, kesembilan Wawana Pasa ateges Madya, kesepuluh Sawal ateges
Wujud, kesebelas Sela ateges Wusana, keduabelas Wujala Besar ateges Kosong.
Setiap keberadaan dari hayati dan insan dimulai dengan Rijal (sinar Gusti
Maha Agung). Perputaran dalam bulan artinya dari Rijal kembali ke Rijal
melalui suwung (kosong). Bulan pertama sampai bulan ke sembilan, insan
diibaratkan berada dalam kandungan ibu, dan memiliki kesempatan untuk
menjadi bayi hayati.
Bulan ke sepuluh, sudah menyatunya hayati dan insan yang lahir ke dunia.
Bulan ke sebelas, melambangkan akhir dari eksistensi hayati-insan dinamakan
Wusana artinya sesudahnya. Terakhir suwung (kosong), kembali sepenuhnya
hayati-insan sebagai Rijal.
Masyarakat Jawa sering memberi nasihat terkait kehidupan. Setiap kehidupan
berurutan Purwa, Madya dan Wusana. Sehingga setiap orang akan selalu
berperilaku baik dan selaras untuk tercapainya kehidupan yang bijak.
Kesempurnaan hidup merupakan menyatunya mahluk kepada Tuannya.
Dino Pitu menggunakan sistem keterhubungan bumi dan bulan. Gerakan (Solah)
bulan terhadap bumi memiliki arti dalam pemaknaan hayati dan insan.
Runtutannya sebagai berikut: Radite Minggu; meneng; diam, Soma Senen; maju,
Hanggara Selasa; mundur, Budha Rabu; mangiwa; beranjak ke kiri, Respati
kamis; manengen; beranjak ke kanan, Sukra Jumat; munggah; naik, Tumpak
Sabtu; tumurun; beranjak turun.
Pekan Pancawara merupakan posisi sikap (Patrap) dari bulan. Kliwon Asih;
jumeneng; berdiri, Legi Manis; mungkur; berbalik, Pahing Pahit; madep;
menghadap, Pon Petak; sare; tidur, Wage Cemeng; lenggah; duduk. Pemaknaan
terus mengerucut sampai tanggal dalam kalender Jawa. Masyarakat Jawa
memaknainya sebagai bentuk pengeling-eling dina karena, sering digunakan
sebagai tanda kelahiran dan kematian sanak keluarga.
Sistem tersebut digunakan sejak kepemimpinan Sinuhun Kanjeng Susuhunan
Pakubuwana V, yang bertepatan dengan tahun Ehe (1748) hingga masa
Ronggowarsito menuliskan Serat Widya Pradhana (Kusumasari: 97-99).
Perincian tanggal dalam kalender Jawa meliputi: tanggal pertama setiap
bulan Jawa ketika bulan terlihat seperti garis masyarakat memaknainya
sebagai seorang bayi yang baru lahir dalam masa pertumbuhan. Tanggal 14
bulan Jawa dinamakan Sidhi melambangkan seorang yang sudah berumah tangga,
tanggal 15 bulan Jawa dinamakan Purnama dengan berkurangnya cahayanya.
Tanggal 20 bulan Jawa dinamakan Panglong diibaratkan seperti seseorang yang
sudah mulai kehilangan daya ingat. Tanggal 25 bulan Jawa dinamakan Sumurup,
diibaratkan orang tua dirawat seperti bayi. Tanggal 26 bulan Jawa dinamakan
Manjing, di mana hayati insan kembali ketempat asalnya sebagai Rijal. Sisa
empat atau lima hari besar selanjutnya, melambangkan Rijal akan dilahirkan
kembali dalam kehidupan yang baru. []
0 Komentar