Penulis :
Kelvin Ferdinan Rhomadhona
Mahasiswa AFI Angkatan 2019


    Manusia dan berpikir merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hasil pemikiran manusia adalah suatu upaya untuk memahami hal-hal tertentu. Dalam hal ini, manusia dikaruniai oleh Tuhan dengan diberikannya akal, maka merupakan tugas manusia untuk berpikir. Berpikir secara sistematis, jernih, mendasar, dan dapat dipahami merupakan dasar kehidupan manusia. Semakin berdayanya manusia dalam berpikir semakin mempermudah manusia dalam mengelola kehidupannya.

    Kendati demikian, manusia bukanlah makhluk Tuhan yang selalu dapat dikatakan sempurna tanpa kekurangan. Meskipun akal hanya diperuntukkan untuk manusia, tetapi hal itu tidak serta merta menjamin manusia menjadi makhluk yang sempurna. Pada prakteknya, seseorang seringkali terjebak dalam kesesatan dalam berpikir atau yang disebut cacat logika. Dalam berpikir seseorang juga bisa salah, itulah mengapa kita harus belajar logika secara serius, tidak lupa serta belajar untuk mengenali jenis-jenis kesalahan berpikir. Mengapa seseorang yang jelas-jelas memiliki akal dapat terjebak dalam kesalahan berpikir? Jawabannya mudah, sebenarnya yang menjadi latar belakang seseorang mengalami kesesatan dalam berpikir salah satunya yang akan dibahas kali ini, yaitu argument from ignorance (argumen dari ketidaktahuan).

  Argument from Ignorance adalah kesalahan berpikir dikarenakan seseorang menganggap bahwa jika sesuatu itu tidak memiliki bukti untuk dikatakan salah, berarti hal tersebut benar, begitupun sebaliknya, jika sesuatu itu tidak terbukti salah, berarti hal tersebut benar. Dalam kesalahan model berpikir seperti ini, seseorang sangat mudah menentukan mana yang salah dan benar, padahal apabila ditilik lebih dalam lagi sebenarnya tidak terdapat cukup bukti untuk menyatakan hal tersebut.

   Pemikiran seperti ini menuntun seseorang untuk berspekulasi lebih cepat, tanpa menghiraukan argumen yang ia lontarkan logis atau tidak. Tidak sedikit orang yang telah terjebak model kesalahan berpikir seperti ini memiliki sifat keras kepala. Ditambah lagi hal ini bisa mempengaruhi lawan bicaranya, akibatnya muncul rantai komunikasi yang tidak berdasar. Kemudian alur pembicaraan sifatnya hanya menerawang saja, akibatnya pembicaraan yang telah lewat hanya berujung sia-sia atau bahkan lelah berdiskusi namun tidak menghasilkan apa-apa.

    Sebagai contoh pertama, ada dua orang sedang berbincang-bincang disudut meja warung kopi. Katakanlah si A berbicara, “apakah kau bisa menjelaskan wujud adanya Tuhan?”, kemudian si B menanggapi, “bisa. Dunia inilah bukti wujudnya Tuhan. Oksigen yang kau pakai untuk bernafas setiap detiknya, siapa yang menciptakan jika bukan Tuhan”. Lantas si A mengakhiri perbincangan dengan berkata, “itu alasan yang kurang logis menurutku. Jika Tuhan itu ada, seharusnya Ia bisa kulihat dengan mataku ini. Karena dirimu tidak dapat membuktikan dengan jelas bahwa Tuhan itu ada, maka Tuhan itu jelas tidak ada”.

      Contoh lain dalam kondisi belajar, sering kita lihat guru atau dosen diakhir pembelajaran mengatakan “sebelum saya tutup perkuliahan hari ini, adakah yang ingin ditanyakan mengenai materi yang tadi sudah dijelaskan?”, setelah mengatakan hal tersebut, baik siswa maupun mahasiswa tak satupun yang menanggapi. Kemudian guru atau dosen melanjutkan perkataannya, “baik jika tidak ada, saya anggap semuanya sudah mengerti ya”.

        Pada contoh yang pertama, dapat kita lihat terjadi dialog dua orang yang membahas tentang ketuhanan. Ketika membicarakan hal-hal yang berbau metafisika tidak serta merta hal-hal yang tidak kasat mata dapat dikatakan tidak ada. Perlu adanya penggalian yang lebih dalam mengenai ini. Disini agama mengambil peran untuk menjawab sesuatu yang berhubungan dengan metafisika. Kemudian dalam contoh yang kedua, perkataan terakhir guru atau dosen tersebut sebenarnya tidak relevan dengan kondisi diamnya siswa atau mahasiswa. Namun, guru atau dosen tidak menghiraukan apakah benar semua muridnya memang sungguh sudah paham atau mungkin diamnya mereka dikarenakan terlalu lama merasakan bosan didalam kelas, sehingga mereka ingin cepat-cepat keluar kelas. Kemungkinan lain, bisa jadi mereka takut bertanya diakibatkan malu dianggap pertanyaannya tidak senada dengan penjelasan materi tadi.

     Model kesalahan berpikir seperti ini melupakan sesuatu yang penting, yang mana sangat menentukan argumen tersebut nantinya bisa dikatakan logis atau tidak, yaitu bisa jadi belum dilakukannya penelitian dan penyelidikan yang mendalam, sehingga pembicara yang berpendapat tidak hanya berkutat diantara perkara yang benar dan salah saja.

       Dalam kehidupan sehari-hari seseorang dituntut untuk berpikir, berpikir, dan terus berpikir. Semakin ia bisa mengenali dan memahami jenis kesalahan berpikir ini semakin canggih pula kemampuannya dalam mengelola ide-ide yang ada didalam pikirannya. Selain itu, pilihan yang nantinya keluar tidak hanya diantara dua hal (salah atau benar), namun bertambah dari hanya salah atau benar menjadi perkara tersebut belum diketahui kebenaran dan kesalahannya serta tidak dapat atau mustahil untuk diketahui benar dan salanya.

   Untuk menyikapi kesalahan berpikir seperti ini, hindarilah tergesa-gesa dalam menganggap benar jika ada kesalahan yang belum dinyatakan terbukti serta hindari juga menganggap salah jika ada kebenaran yang belum dinyatakan terbukti. Saran ini akan sangat membantu dalam merekonstruksi model kesalahan berpikir seperti ini.


Daftar Pustaka

  • Adib, Mohammad. 2010. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
  • Mundiri. 2014. Logika. Jakarta: Rajawali Pers
  • Faiz, Fahruddin. 2020. Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika membincang cognitive bias dan logical fallacy. Yogyakarta: MJS Press