Penulis: Rohib Latiful Hanan 

Illustrator: Binti Latif

     Dalam karyanya yang berjudul "Kritik der reinen Vernunt” (kritik atas akal murni), Kant mengkritik kedua pendekatan utama dalam epistemologi pada zamannya: Rasionalisme dan Empirisme. Rasionalisme, yang didukung oleh filsuf seperti Descartes dan Leibniz, menekankan peran akal dalam memperoleh pengetahuan yang benar melalui deduksi rasional. Empirisme, yang dikembangkan oleh Locke, Berkeley, dan Hume, menekankan pentingnya pengalaman indrawi dalam membangun pengetahuan. Kant menunjukkan bahwa baik rasionalisme maupun empirisme memiliki kekurangan masing-masing. Rasionalisme cenderung mengabaikan pentingnya pengalaman konkret dalam pembentukan pengetahuan, sementara empirisme menghadapi kesulitan dalam menjelaskan konsep-konsep abstrak dan universal seperti substansi atau kausalitas.

     Immanuel Kant hidup pada periode Pencerahan di Eropa, di mana pemikiran rasionalitas dan metode ilmiah mulai mendominasi pandangan dunia. Meskipun terinspirasi oleh prestasi ilmiah dan filosofis zaman itu, Kant juga merasa perlunya membatasi ruang lingkup pengetahuan manusia dan mengklarifikasi batas-batas akal dalam memahami dunia. "Kritik der reinen Vernunt" adalah karya utama Kant yang mencoba untuk mengklarifikasi kemampuan akal manusia dalam memperoleh pengetahuan. Kant berkeyakinan bahwa akal budi harus dikiritik. Akal budi perlu dikritik supaya ia tahu diri. Agar akal budi itu tahu batas-batasnya. Hal ini bertujuan untuk tahu bagaimana kemampuan akal budi itu dalam memperoleh pengetahuan sehingga ia tidak lagi berpretensi memperoleh pengetahuan mengenai hal-hal yang di luar kemampuannya. Dengan kata lain, dalam rangka menguji atau mengkritik akal budi murni itulah Kant kemudian menjelaskan proses terjadinya pengetahuan. Kant membagi pengetahuan menjadi dua domain: pengetahuan a priori (yang didapat tanpa bergantung pada pengalaman) dan pengetahuan a posteriori (yang didapat berdasarkan pengalaman empiris). Menurutnya, akal murni, atau kemampuan rasional manusia, memiliki struktur tertentu yang membatasi apa yang dapat diketahuinya.

Pengetahuan a priori dan a posteriori

     Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang tidak tergantung pada pengalaman. Kant mengidentifikasi tiga bentuk utama pengetahuan a priori: ruang, waktu, dan kategori-kategori atau konsep dasar seperti kausalitas, substansi, dan kesatuan. Menurut Kant, ruang dan waktu adalah bentuk-bentuk intuisi yang mendasari semua pengalaman kita. Mereka adalah kondisi prasyarat yang diperlukan agar kita dapat mengorganisir dan memahami data sensorik yang kita terima melalui panca indera. Konsep-konsep ini tidak diperoleh melalui pengalaman, tetapi dipersiapkan oleh akal kita untuk menerjemahkan dan memahami pengalaman itu sendiri. Dalam sistem a priori ini, predikat sudah “terkandung” di dalam objek, atau merupakan arti dari subjek. Misalnya, pada kalimat “lingkaran itu bulat”, predikat “bulat” sudah terdapat pada subjek “lingkaran”. Contoh lain yang lumrah, dalam kalimat “bujangan adalah pria yang belum menikah”, predikat “pria yang belum menikah” adalah arti dari subjek “bujangan”. Kita tidak dapat menyangkal kebenaran seperti itu tanpa kontradiksi. Kalimat seperti itu selalu benar, yang berarti bahwa ia benar terlepas dari pengamatan empiris.

     Pengetahuan a posteriori, di sisi lain, didasarkan pada pengalaman empiris. Ini adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan dunia luar dengan menggunakan indra kita. Dalam pengetahuan ini predikat tidak terkandung di dalam subjek dan juga bukan arti dari subjek. Dengan demikian, masuk akal bahwa pengetahuan a posteriori harus didasarkan pada pengamatan empiris. Misalnya, pertimbangan proposisi, “George si bujang adalah seorang penulis”. Kita memiliki informasi baru di sini tentang orang tertentu bernama “George” yang menjadi seorang bujang dan penulis, dan pengalaman diperlukan untuk mengetahui bahwa “George” merupakan penulis yang bujang. Akan tetapi yang penting unutk di garis bawahi, Kant menekankan bahwa pengetahuan a posteriori, meskipun penting, terbatas dalam arti bahwa itu hanya bisa memberikan informasi tentang fenomena (apa yang dapat diamati dan dipersepsikan). Pengetahuan tentang hal-hal yang tidak dapat diamati secara langsung, seperti substansi, kausalitas, atau entitas metafisik lainnya, tidak dapat diperoleh melalui pengalaman empiris semata. Karena pengetahuan a posteriori ini bekerja secara independen dengan basis pengalaman, maka pengetahuan a priori dapat secara aktif terlibat dalam memahamai pengalaman kita.

12 kategori

     Dalam bahasa Kant, terdapat istilah transendental yang kemudian berarti sebagai syarat-syarat apriori yang menentukan pengetahuan. Itulah yang menjadi objek penelitian filsafatnya. Yang mana pada akhirnya akan membentuk semacam kategori-kategori bagaimana “pengetahuan” itu mungkin untuk bisa di sebut sebagai “pengetahuan”. Kategori tersebut berfungsi sebagai forma atau syarat-syarat pengetahuan, yang memberi bentuk kepada materi pengetahuan yang kita tangkap melalui indra.

      Kategori-kategori ini tidak lain dari kategori-kategori Putusan yang biasa dikenal dalam Ilmu Logika. Ada 12 bentuk konsep murni akal budi (kategori) yang terbagi ke dalam empat bentuk putusan, yakni bentuk putusan Kuantitas terdiri dari kategori, 1. Kesatuan, 2. Pluralitas, 3. Totalitas; bentuk putusan Kualitas terdiri dari kategori, 4. Realitas, 5. Negasi, 6. Limitasi; bentuk putusan Relasi terdiri kategori, 7. Inheren dan Subsisten, 8. Kausalitas dan Dependen, 9. Resiprokalitas antara Tindakan dan Objek Tindakan; bentuk putusan Modalitas terdiri dari kategori, 10. Kemungkinan dan Ketidakmungkinan, 11. Eksistensi dan Non-eksistensi, 12. Keniscayaan dan Kebetulan. Nah, semua penampakan yang diproses dalam pikiran selalu melibatkan sebagian dari kategori-kategori ini. Dan semua pengetahuan selalu diungkapkan dengan menggunakan salah satu dari kategori-kategori putusan ini (sitorus 2024).

    Kategori-kategori tersebut merupakan pikiran murni. kategori ini menjadi semacam forma/bentuk pikiran. Ini yang tadi kita sebut dengan pengetahuan a priori mengenai objek-objek. Kant menyebut pengenalan yang berpusat pada subjek ini dengan Revolusi Kopernikan. Bukan objek yang “menentukan“ subjek untuk ditangkap apa adanya, sebagaimana yang diilhami oleh kaum empiris, akan tetapi subjeklah yang menentukan objek tersebut (melalui kategori-kategori tersebut). Objek mengarahkan dirinya (dalam bentuk Penampakan) kepada subjek untuk diresepsi (secara pasif) dan kemudian subjek melakukan determinasi (secara aktif) atas Penampakan itu melalui kategori-kategori transendental tersebut. Aktivitas sintetis yang terjadi di antara kategori-kategori inilah yang disebut dengan berpikir.

Tahap-tahap proses pengetahuan

      Proses yang terjadi sejak subjek “bersentuhan” dengan objek pengetahuan hingga dapat menjadi pengetahuan, dapat diringkaskan demikian:

1. Penampakan (Erscheinung): Objek yang tampak/terberi kepada kita bukanlah objek itu sendiri sebagaimana ia pada dirinya sendiri, melainkan hanya Erscheinung objek itu, yakni objek sebagaimana tampak kepada kita melalui intuisi ruang dan waktu. Penampakan objek itulah yang terberi kepada kita, dan bukan objek itu sendiri. Objek itu sendiri, objek pada dirinya (an sich), tidak pernah kita ketahui. Kita tidak memiliki akses ke objek an sich. Penampakan itulah yang menjadi materi kasar yang kemudian diproses oleh subjek penahu (knowing subject).

2. Intuisi (Anschauung): Penampakan objek ketika pertama sekali „bersentuhan“ dengan subjek penahu, ketika penampakan itu terberi kepada kita. Misalnya, ketika kita melihat penampakan yang memiliki dinding, atap, jendela, pintu, bentuk, (dan kemudian setelah diproses oleh kategori-kategori transendental, kita kemudian mengatakan bahwa itu adalah sebuah rumah).

3. Persepsi (Wahrnehmung): kesan-kesan indrawi yang diperoleh/ditangkap oleh subjek penahu dan diproses oleh kategori-kategori transendental. Persepsi adalah intuisi yang telah disadari.

4. Pengalaman (Erfahrung): adalah pengetahuan indrawi. Ketika penampakan-penampakan di atas diungkapkan dalam bentuk putusan, misalnya “itu sebuah rumah” (sitorus 2024).

Proses sintesis

      Kemudian Kant menjelaskan tiga jenis sintesis yang mempunyai keterkaitan: proses sintesis ini dimulai dengan “sintesis pemahaman dalam persepsi,” melewati “sintesis reproduksi dalam imajinasi,” dan berakhir dengan “sintesis pengenalan dalam sebuah konsep” ([1781] 1998, 228–34). Bagi Kant, pemahaman dalam persepsi melibatkan penempatan objek dalam ruang dan waktu. Sintesis reproduksi dalam imajinasi terdiri dari penghubungan berbagai elemen dalam pikiran kita untuk membentuk sebuah gambar. Dan sintesis pengenalan dalam suatu konsep membutuhkan memori pengalaman masa lalu serta mengenali hubungannya dengan pengalaman sekarang. Dengan mengakui bahwa pengalaman masa lalu dan masa kini mengacu pada objek yang sama, kita membentuk konsep tentangnya. Mengenali sesuatu sebagai kesatuan objek di bawah suatu konsep berarti melekatkan makna pada persepsi. Keterikatan makna inilah yang disebut Kant sebagai apersepsi (Taufiqurrahman 2022).

      Apersepsi adalah titik persatuan diri (rasio murni) dan pengamatan empiris. Bagi Kant, kemungkinan apersepsi membutuhkan dua jenis kesatuan. Pertama, berbagai data yang diterima dalam pengalaman itu sendiri harus merepresentasikan subjek yang sama, yang memungkinkan data untuk digabungkan dan disatukan. Kedua, data harus digabungkan dan disatukan oleh diri yang bersatu atau yang disebut Kant sebagai “kesatuan kesadaran” atau “kesatuan persepsi”. Kant menyimpulkan bahwa karena kesatuan seperti itu, kita semua sama-sama mampu memahami objek publik yang sama dengan cara yang seragam berdasarkan pengalaman pribadi kita masing-masing. Artinya, kita berada dalam kesepakatan tak terucapkan mengenai dunia yang mandiri dari pikiran tempat kita hidup, yang difasilitasi oleh pengalaman subjektif kita tetapi diatur oleh struktur mental bawaan yang diberikan kepada kita oleh dunia. Singkatnya, teori Kant memungkinkan berbagi pengetahuan sintetik tentang realitas objektif.