Oleh: Nia Syifa'u Sa'adah

Mahasiswa AFI Semester 3


Jawa seperti kita lihat bahwa sebagian masyarakatnya tidak bisa lepas dari salah satu ritual yang biasa disebut slametan. Slametan adalah ritual makan bersama setelah doa-doa. Secara umum, tujuan slametan adalah menciptakan keadaan sejahtera, aman, dan bebas dari gangguan makhluk lain. Ritual slametan dapat digolongkan ke dalam empat macam menyesuaikan dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, slametan dalam lingkaran hidup seseorang, seperti kelahiran, sunatan dan sebagainya. Kedua, slametan yang berkaitan dengan bersih desa, pengolahan tanah pertanian, dan setelah panen. Ketiga, slametan yang berkaitan dengan hari dan bulan besar Islam. Keempat, slametan untuk kejadian tertentu, seperti tolak balak dan sebagainya.

Kupatan sendiri adalah slametan yang berkaitan dengan hari besar Islam. Tradisi kupatan merupakan warisan budaya leluhur yang masih dilestarikan oleh masyarakat Jawa. Tradisi ini telah dipraktikkan khususnya oleh subkultur mataraman. Salah satunya di daerah Durenan, Trenggalek, Jawa Timur. Kupatan dilakukan dengan cara open house. Namun saya kira tradisi semacam ini tidak hanya di selenggarakan di daerah Trenggalek saja, akan tetapi kemungkinan juga terdapat di wilayah lain.

Menurut Clifford Geertz, kupatan adalah tradisi slametan yang dilaksanakan pada hari ke tujuh bulan Syawal. Memang biasanya tradisi kupatan ini dilaksanakan pada hari ketujuh bulan Syawal, di tempat lain kemungkinan juga seperti itu. Akan tetapi ada juga masyarakat yang melaksanakannya di hari pertama bulan Syawal. Kupatan dilaksanakan dengan cara  menyajikannya dan dimakan bersama keluarga besar atau makan bersama seluruh masyarakat di suatu wilayah.

            Lalu bagaimana persepsi masyarakat atas tradisi ini? Pada jurnal yang saya baca, (Amin, 2017) masyarakat Durenan memaknai tradisi kupatan sebagai kegiatan sosial dalam usaha bersama untuk memperoleh keselamatan dan ketentraman bersama. Hal ini biasa dilakukan pada bulan Syawal. Untuk lebih jelasnya, kajian living hadith yang dipaparkan dalam jurnal (Amin, 2017) dapat dijadikan media untuk menggali dan menyikapi lebih dalam lagi mengenai makna tradisi kupatan.

Namun sebelumnya sedikit akan saya jelaskan berkaitan dengan living hadith. Ini adalah istilah untuk menggambarkan upaya penerapan hadis dalam berbagai konteks sosial, budaya, politik, ekonomi, dan hukum. Hal tersebut terkadang juga disebut sebagai bentuk hadis yang hidup di masyarakat. Lebih lanjut bahwa living hadith adalah tulisan, bacaan, dan praktik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu untuk upaya menerapkan Hadits Nabi Muhammad. Berdasarkan studi living hadith ditemukan bahwa suatu tradisi merupakan bentuk praktik masyarakat setempat atas ajaran Nabi Muhammad saw. Terdapat berbagai macam tradisi, adat, budaya, dan upacara keagamaan dapat ditemukan di Indonesia. Jika diperhatikan, hampir semua perayaan hari besar keagamaan dirayakan dengan cara atau tradisi yang berbeda-beda.

Tradisi

Tradisi berubah-ubah melalui pewarisan dari generasi ke generasi. Ini disebut sebagai invented tradition, tradisi tidak hanya diwariskan secara pasif, tetapi juga direkonstruksi dengan maksud untuk membentuk atau mewariskan ke orang lain. Oleh karena itu, hubungan antara Islam dan tradisi selalu dimaknai berbeda-beda tergantung konteksnya.

Menurut Schutz, pengetahuan tentang dunia sosial adalah pengetahuan indrawi, tidak sempurna dan tidak pernah utuh, karena indera manusia memiliki kemampuan yang terbatas untuk menyerap pengetahuan. Konsepsi Schutz tentang dunia sosial didasarkan pada adanya suatu kesadaran (consciousness) yang berhubungan antara seseorang dengan objek-objek di sekitarnya. Dari pandangan Schutz ini, setidaknya jelas bahwa praktik-praktik tradisional dilakukan secara turun-temurun, termasuk yang dilakukan oleh masyarakat desa Durenan. Setidaknya bisa diketahui adanya motif sebab dan motif tujuannya. Motif sebab berkaitan dengan alasan seseorang melakukan suatu tindakan. Sementara motif tujuan merupakan suatu pandangan terhadap faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan tertentu.

Dalam konteks tradisi kupatan, motif tujuan adalah tujuan yang ingin diraih oleh Masyarakat Durenan, antara lain untuk memperkuat silaturahmi, sebagai sarana, memberikan jamuan pada kerabat, saudara, dan tamu. Selain itu kupatan juga untuk memperkenalkan tradisi kepada generasi penerus dan kepada siapa saja yang hadir.

Living Hadith Terhadap Tradisi Kupatan

Living hadith dimaknai sebagai gejala yang nampak pada masyarakat, berupa pola-pola perilaku yang bersumber dari hadith Nabi Muhammad saw. Fokus kajian living hadith adalah pada satu bentuk kajian atas fenomena praktik, tradisi, ritual, atau perilaku yang hidup di masyarakat yang memiliki landasan pada hadith Nabi. Fenomena perilaku masyarakat yang disandarkan kepada hadith inilah yang disebut living hadith.

Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa masyarakat Durenan melakukan tradisi kupatan bertujuan untuk memperkuat tali silaturahmi. Tradisi ini juga diyakini sebagai wujud praktik ajaran hadith Nabi yang berkaitan dengan silaturahmi, sedekah, dan memuliakan tamu. Praktik kupatan dituangkan dalam bentuk buka rumah agar orang datang dan dijamu dengan makanan yang disebut kupat.

Mendasarkan pada motif masyarakat Durenan untuk mempraktikkan tradisi kupatan, kita dapat menyimpulkan bahwa hadis yang mendasari tradisi kupatan bisa dipaparkan sebagai berikut:

Puasa Syawal,“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka ia seolah-olah puasa setahun” (Imam Muslim). Hadith inilah yang pada dasarnya mendasari masyarakat Durenan untuk secara bersama-sama menjalankan puasa Syawal. Puasa enam hari di bulan Syawal ini merupakan bagian dari puasa sunnah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Meski puasa Syawal dapat dilakukan pada awal, pertengahan, atau akhir bulan Syawal, bahkan boleh pula dilaksanakan secara berurutan hari maupun terpisah-pisah. Kegiatan ini sudah menjadi bagian dari adat masyarakat Durenan sebelum menyambut datangnya hari kupatan, dan mereka biasanya melakukan puasa ini pada hari kedua bulan Syawal.

Silaturahmi,“Barangsiapa ingin dibentangkan pintu rizki untuknya dan dipanjangkan ajalnya hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi” (Imam Bukhari). Silaturahmi menjadi hal yang sangat diutamakan oleh masyarakat melalui praktik kupatan. Masyarakat meyakini bahwa tradisi kupatan akan memberkati kehidupan mereka. Melalui tradisi ini, mereka memberikan sedekah kepada pengunjungnya dalam bentuk makanan.

Sedekah,“Tidak ada hari dimana hamba-hamba Allah berada di waktu pagi melainkan ada dua malaikat yang turun, dimana salah satu di antara keduanya berdo’a: “Wabai Allah, berikanlah ganti kepada orang yang suka berinfaq”. Dan malaikat lain berdo’a:”Wahai Allah binasakanlah orang yang kikir” (Imam Bukhari). Hadith inilah yang dirujuk sebagai dasar bagi masyarakat desa Durenan dalam mempraktikkan tradisi open house saat acara kupatan.

Memuliakan Tamu,“Siapa yang percaya kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang percaya kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia tetangganya, dan barang siapa yang percaya kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya” (Imam Bukhari). Hadith ini juga dapat dijadikan sebagai rujukan dari fakta lapangan terkait tradisi kupatan. Mereka wujudkannya dalam bentuk sambutan hangat, serta senantiasa menampakkan kerelaan dan rasa senang atas pelayanan yang diberikan. Sikap ramah terhadap tamu jauh lebih mengesankan dalam pikiran mereka. Penyajian aneka masakan ketupat kepada tamu dimaknai sebagai sikap hormat terhadap tamu.

Karena itu tradisi kupatan merupakan tradisi yang perlu dilestarikan. Sebab melalui tradisi ini kita dapat mempererat tali silaturahmi antar sesama, kita dapat belajar bersedekah, dan belajar memuliakan tamu. Melalui semua itu, pastinya kita akan merasa hidup kita mendapat berkah karena kita juga melaksanakan ajaran-ajaran yang telah Rasulullah pernah lakukan.