Oleh Venella Yayank Hera Anggia [] Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Semester II; IAIN Tulungagung [] Staf Verstehen Organic philosophy
Cinta bisa mempengaruhi manusia. Pengaruh cinta ini akan merubah seseorang
melalui pola pikir maupun tindakan. Secara tidak sadar seseorang akan mulai
berpikir bahwa cinta itu harus memiliki bukti berupa seksualitas, walaupun
di luar legalitas. Selain itu, pikiran akan mampu mengelola dirinya sebaik
mungkin dihadapan pasangan. Pengelolaan diri ini bermaksud untuk memberi
kesan baik dan menyembunyikan kesan buruk dihadapan pasangan. Hal seperti
ini biasanya disebut dramaturgi.
Makna cinta dalam dramaturgi sebenarnya hanya sebagai stabilitas saja.
Peran dramaturgi selalu terkait dengan life presented in action. Peranan
aksi itu memunculkan nilai cinta terkait dengan perspektif seseorang
terhadap pasangannya. Hal ini nantinya menjadi alat komunikasi, karena
peran dramaturgi tidak jauh dari peranan acting sebuah komunikasi.
Dramaturgi terdapat dua bagian, yaitu panggung depan dan panggung belakang.
Panggung depan merupakan tempat dimana seseorang akan memainkan peran
sesuai skenario agar dilihat dan mendapatkan perhatian pasangan. Panggung
belakang merupakan tempat seseorang menunjukkan segala ekspresi dan
emosinya tanpa harus khawatir dinilai buruk oleh orang lain. Hal ini karena
tidak akan ada orang lain yang melihatnya kecuali dirinya sendiri.
Kasus dramaturgi mengenai seksualitas di luar legalitas ini terjadi pada
semua orang. Seperti seorang yang religius bisa saja memiliki dorongan
seksual yang terpendam terhadap pasangannya. Sebelum berinteraksi dengan
pasangan, dia akan mempersiapkan perannya terlebih dahulu yang ingin
ditangkap oleh pasangannya.
Kondisi seperti itu hampir sama dengan dunia theater, yaitu breaking
character. Konsep dramaturgi dan permainan peran telah dia ciptakan, maka
akan membentuk suasana-suasana dan kondisi interaksi sehingga memberikan
makna tersendiri. Selanjutnya dia akan menjaga kesan yang diinginkan agar
selalu sesuai dengan kehendaknya (front stage)
Tampilan panggung depan dia memulai peran dramaturgi dengan memberi kesan
selalu berwibawa. Hal itu agar tetap dipandang sebagai seorang bermoral
tinggi oleh pasangan dan keluarga pasangan. Dia akan berperan seolah-olah
pantas untuk diberi kepercayaan. Oleh karena itu, menyembunyikan dorongan
seksualnya merupakan suatu keharusan dan akan ada waktunya sendiri untuk
ditampilkan.
Tahap berikutnya dia akan membungkus keinginan seksualnya dengan kata-kata
cinta dan janji-janji. Selain mencari perhatian dengan kata-kata cinta, dia
juga akan menggunakan pengetahuannya tentang agama untuk dijadikan alat
pendekatan. Pengetahuan tentang agama yang dimaksud disini seperti ajakan
atau hanya sebatas mengingatkan untuk melaksanakan ibadah. Hal-hal seperti
inilah yang sering kali diterima atau menjadikan peran yang dia kelola
mendapat respon baik.
Peran semacam itu sesuai dengan tujuan yang diinginkan olehnya, seperti
ungkapan Goffman (Ritzer&Goodman, 2009: 400) bahwa sisi depan cenderung
untuk dipilih, bukan diciptakan. Orang mencoba menyajikan gambaran ideal
atas dirinya sendiri dalam pertunjukan panggung depan maka niscaya mereka
merasa harus menyembunyikan berbagai hal dalam pertunjukan yang mereka
lakukan. Front stage seorang yang religius juga tidak hanya sekedar peran
yang dia mainkan, tapi juga meliputi pakaian yang dia kenakan.
Pakaian dan penampilan akan dia kelola sebaik mungkin menambah kesan yang
lebih baik dan sopan pada dirinya. Sebenarnya dia tahu bahwa penampilannya
hanya sebatas front stage, karena untuk memenuhi keinginan berseksualnya.
Berpijak dari sini, Goffman menganalogikan dunia naskah sebuah panggung
sandiwara dimana individu-individu menjadi aktor pemegang peran dan
hubungan sosial sebagai representasi ketundukan aturan yang telah baku.
Membuat kesan realitas kepada sesamanya supaya bisa meyakinkan gambaran
citra yang hendak diberikannya kepada orang lain (Anthony Giddens, Daniel
Bell, Michael Forse, etc, 2004:124).
Dramaturgi itu akan terus dia lakukan selama dia bersama pasangannya.
Dramaturgi yang dia susun secara sistematis akan benar-benar menutupi
maksud dan tujuan aslinya, hingga pasangannya tidak sadar. Sampai pada
akhirnya si pasangan akan terpengaruhi untuk memenuhi keinginan seksualnya.
Konsep permainan peran seperti itu sebenarnya adalah realitas secara
ilmiah, berkembang sesuai perubahan yang sedang berlangsung dalam diri
seseorang.
Permainan peran ini akan berubah-ubah sesuai kondisi dan waktu keinginan
pelaku. Faktor utama dalam permainan peran terletak pada aspek psikologis
dalam diri pelaku. Jika dilihat dari kasus di atas, ternyata religiusitas
tidak menghalangi seseorang melakukan dramaturgi untuk memenuhi keinginan
seksualitasnya. Permainan peran begitu sistematis inilah menjadikan
sulitnya mengetahui seseorang sedang melakukan dramaturgi atau tidak. Oleh
karena itu, dramaturgi bisa bersifat berbahaya dan tidaknya tergantung
tangan pelakunya.
0 Komentar