Ulasan singkat ini merupakan review dari salah satu tulisan di
dalam artikel ilmiah yang terbit pada tahun 2006 oleh Jurnal Perempuan edisi 48.
Kumpulan artikel yang ditulis oleh para aktivis gerakan perempuan memakai tema “Metodologi
Feminis”. Salah satu penulisnya ialah Rocky Gerung yang berjudul “Feminisme dan
Universitas”. Ia menyoroti perihal paradigma feminis yang musti diterapkan di
kampus.
Rocky Gerung, dalam dua paragraf pertama menjelaskan
bagaimana pentingnya peran universitas dalam menjaga kesetaraan gender.
Menurutnya, jika universitas tidak menjaga kesetaraan tersebut, alih-alih
mengikis ketimpangan yang ada justru melipatgandakanya. Terutama dalam urusan
perpolitikan nasional. Hal ini ia tegaskan dalam kalimat “olok-olok di kalangan
akademisi kampus” terhadap persoalan-persoalan perempuan.
Untuk meminimalisir hal tersebut, Rocky
menawarkan cara pandang mutakhir yang ia sebut sebagai “paradigma feminis”
untuk diterapkan ke dalam kalangan akademisi kampus. Harapannya ialah tentu
untuk mendegradasi ketimpangan gender. Jadi, melalui paradigma yang ia tawarkan
krisis keadilan gender dapat dimulai di lingkungan perguruan tinggi. Namun,
paradigma tersebut masih belum dipraktikkan secara masif. Imbasnya ialah
berkeliarannya ketimpangan atas nama gender. Lantas mengapa sudut pandang
tersebut masih belum laku di lingkungan universitas dan apa yang
melatarbelakanginya?
Momok menakutkan yang pertama-tama harus
dibasmi di kalangan universitas ialah kedangkalan berpikir. Pola pikir ini
seperti halnya kebuntuan yang menular ke siapapun. Gerung mengklasifikasikan
momok tersebut kedalam tiga hal: pertama, feminisme dianggap “aneh” oleh mereka
yang kurang kuat menerima kerangka epistemologis baru. Kedua, bagi kalangan “anti-baratisme”,
feminisme dipahami sebagai produk yang tidak relevan dipraktikan dalam budaya
ke-Timur-an. Dengan kata lain, golongan ini menolak pengetahuan global.
Terakhir, feminisme dijadikan sasaran pengkafiran dan dianggap “ajaran sesat” oleh
kalangan konservatisme agama.
Kampus adalah tempat beradu gagasan. Tempat
dimana terjadinya dialektika yang resiprokal itu dimungkinkan. Namun, poin ini
dapat diimplementasikan jika perspektif yang dipakai memunculkan perbincangan
intelektual. Gerung menggarisbawahi bahwa dalam dunia kampus “paradigma
feminis” mengalami penolakan yang ekstrem dihadapan para pelaku konservatif
beragama. Sebab, hal itu menjamin kemandekan dialog antar metodologi keilmuan.
Terhambatnya dialog metodologis tersebut merupakan konsekuensi logis dari cara
pandang beragama yang kaku.
Cara pandang demikian sangat mirip dengan yang
dikatakan oleh para filsuf post-modern yang biasa disebut narasi besar (Grand
Narative). Derrida misalnya, dikutip oleh Muhammad Al-Fayyadl, bahwa logosentrisme
adalah sistem metafisika yang mengandaikan adanya logos atau kebenaran
transendental yang mutlak di balik segala hal yang terjadi di dunia fenomenal (Al-Fayyadl,
2005). Derrida sendiri menyebut logosentrisme dengan “metafisika kehadiran”, didalamnya
terselubung otoritas yang di patronkan. Meskipun logosentrisme ini identik
dengan tradisi pemikiran filsafat barat, tetap saja memiliki pola kemiripannya.
Yakni, adanya sesuatu yang dianggap supreme. Sadar atau tidak, patronase
pada narasi besar mewujud dalam wajah konservatisme agama.
Jadi, universitas sebagai wadah untuk
mewujudkan hajat hidup perempuan yang lebih seimbang dalam hal ini belum
tercapai. Proses take and give of knowledge yang lebih ramah gender sulit
dibayangkan. Dominasi yang bersifat patriarkis menjadi berlipat ganda. Relasi
yang ada di kampus menjadi relasi yang dominatif. Dan ketimpangan gender
semakin langgeng. Lalu, bagaimana para akademisi yang telah menggunakan
paradigma feminis menaggapi persoalan ini?
Paradigma
Feminis
Rancang bangun metodologi keilmuan universitas
telah dibanjiri dengan apa yang Gerung sebut sebagai “bias positivism”. Bias
ini yang kemudian menjadi bapak kandung ketimpangan gender. Saya memilih istilah
‘bapak’ bukan tanpa sebab. Pertama, feminisme psikoanalisis telah
menghajar habis-habisan Sigmund Freud dalam oedipus complex-nya yang dianggap
sangat patriarkis serta meletakkan perempuan dalam kondisi yang inferior
(tunduk dalam dominasi ayah). Kedua, pondasi keilmuan itu dibangun dari
pengalaman, gagasan, dan pikiran laki-laki, alias andosentrisme. Tentu, pondasi
ini tumpang tindih dan mengabaikan pengalaman maupun gagasan perempuan.
Kendati demikian, Rocky Gerung menunjukkan
optimismenya terhadap dua mahasiswi yang menggunakan perspektif feminis dalam
ujian skripsi. Mereka adalah Ikhaputri dan Herlly Primadewi. Penelitian skripsi
ini sangat penting, setidak-tidaknya mengikis bias gender dalam ilmu dan juga
berkontribusi pada pengetahuan yang lebih ramah.
Ikhaputri mengkaji novel kontroversial
karya Dan Brown yang berjudul The Da Vinci Code. Novel ini juga telah
diadaptasi menjadi film yang rilis tahun 2006, disutradarai oleh Ron Howard.
Yang menarik dari penelitian ini ialah definisi ulang dari ‘history’ ke ‘herstory’.
Melalui kacamata Pierce dan Kristeva, Ikhaputri menjungkir balikkan pengetahuan
yang androsentris. Ini adalah wujud nyata dari paradigma feminis.
Sementara Herlly Primadewi mengkaji film
serial televisi Amerika Serikat buatan Marc Cherry yang berjudul Desperate
Housewives. Ia melihat ketimpang perempuan dalam hubungan keluarga. Levi Strauss
dalam antropologi strukturalnya mencatat ketimpangan tersebut berpindah dari
laki-laki A (ayah) ke laki-laki B, yaitu suaminya (Octavio, 1997). Sedangkan
Mansour Fakih (1996) menyebut sumber domestifikasi dan beban ganda dari
keluarga. Melihat ini, Gerung mendapati bahwa pernikahan adalah institusi yang
melembagakan ketidakadilan gender.
Konsep kunci yang ditampilkan dari dua
skripsi tersebut ialah menjadikan perempuan sebagai sumber rujukan utama dalam mengkonstruk
ilmu pengetahuan. Rocky Gerung menyebutnya sebagai “standpoint”, yaitu prinsip
bahwa pengetahuan yang paling bermakna adalah yang memperlihatkan kondisi dan
kepentingan mereka yang tersisih dari relasi sosial. Politik standpoint tidak
jauh berbeda dengan victim’s view atau subjek pont of view. Bagi
saya, sudut pandang ini lebih ramah gender, sebab titik pijak keberangkatannya
ialah pengalaman, gagasan dan pikiran perempuan. Metodologi feminis dengan
demikian merupakan kacamata yang dipakai untuk berpihak kepada korban serta
menjadikannya subjek yang berdaya. Inilah paradigma feminis. Inilah sistem
pengetahuan yang musti diterapkan oleh universitas.
0 Komentar