Penulis:
 Rinaldy Rachmad Subekti
Mahasiswa AFI angkatan 2020
Ilustrasi:
 Nirina Lailatul Khomariah
Anggota HMPS Devisi Media

     Ulasan singkat ini merupakan review dari salah satu tulisan di dalam artikel ilmiah yang terbit pada tahun 2006 oleh Jurnal Perempuan edisi 48. Kumpulan artikel yang ditulis oleh para aktivis gerakan perempuan memakai tema “Metodologi Feminis”. Salah satu penulisnya ialah Rocky Gerung yang berjudul “Feminisme dan Universitas”. Ia menyoroti perihal paradigma feminis yang musti diterapkan di kampus.

Rocky Gerung, dalam dua paragraf pertama menjelaskan bagaimana pentingnya peran universitas dalam menjaga kesetaraan gender. Menurutnya, jika universitas tidak menjaga kesetaraan tersebut, alih-alih mengikis ketimpangan yang ada justru melipatgandakanya. Terutama dalam urusan perpolitikan nasional. Hal ini ia tegaskan dalam kalimat “olok-olok di kalangan akademisi kampus” terhadap persoalan-persoalan perempuan.

Untuk meminimalisir hal tersebut, Rocky menawarkan cara pandang mutakhir yang ia sebut sebagai “paradigma feminis” untuk diterapkan ke dalam kalangan akademisi kampus. Harapannya ialah tentu untuk mendegradasi ketimpangan gender. Jadi, melalui paradigma yang ia tawarkan krisis keadilan gender dapat dimulai di lingkungan perguruan tinggi. Namun, paradigma tersebut masih belum dipraktikkan secara masif. Imbasnya ialah berkeliarannya ketimpangan atas nama gender. Lantas mengapa sudut pandang tersebut masih belum laku di lingkungan universitas dan apa yang melatarbelakanginya?

Momok menakutkan yang pertama-tama harus dibasmi di kalangan universitas ialah kedangkalan berpikir. Pola pikir ini seperti halnya kebuntuan yang menular ke siapapun. Gerung mengklasifikasikan momok tersebut kedalam tiga hal: pertama, feminisme dianggap “aneh” oleh mereka yang kurang kuat menerima kerangka epistemologis baru. Kedua, bagi kalangan “anti-baratisme”, feminisme dipahami sebagai produk yang tidak relevan dipraktikan dalam budaya ke-Timur-an. Dengan kata lain, golongan ini menolak pengetahuan global. Terakhir, feminisme dijadikan sasaran pengkafiran dan dianggap “ajaran sesat” oleh kalangan konservatisme agama.

Kampus adalah tempat beradu gagasan. Tempat dimana terjadinya dialektika yang resiprokal itu dimungkinkan. Namun, poin ini dapat diimplementasikan jika perspektif yang dipakai memunculkan perbincangan intelektual. Gerung menggarisbawahi bahwa dalam dunia kampus “paradigma feminis” mengalami penolakan yang ekstrem dihadapan para pelaku konservatif beragama. Sebab, hal itu menjamin kemandekan dialog antar metodologi keilmuan. Terhambatnya dialog metodologis tersebut merupakan konsekuensi logis dari cara pandang beragama yang kaku.

Cara pandang demikian sangat mirip dengan yang dikatakan oleh para filsuf post-modern yang biasa disebut narasi besar (Grand Narative). Derrida misalnya, dikutip oleh Muhammad Al-Fayyadl, bahwa logosentrisme adalah sistem metafisika yang mengandaikan adanya logos atau kebenaran transendental yang mutlak di balik segala hal yang terjadi di dunia fenomenal (Al-Fayyadl, 2005). Derrida sendiri menyebut logosentrisme dengan “metafisika kehadiran”, didalamnya terselubung otoritas yang di patronkan. Meskipun logosentrisme ini identik dengan tradisi pemikiran filsafat barat, tetap saja memiliki pola kemiripannya. Yakni, adanya sesuatu yang dianggap supreme. Sadar atau tidak, patronase pada narasi besar mewujud dalam wajah konservatisme agama.

Jadi, universitas sebagai wadah untuk mewujudkan hajat hidup perempuan yang lebih seimbang dalam hal ini belum tercapai. Proses take and give of knowledge yang lebih ramah gender sulit dibayangkan. Dominasi yang bersifat patriarkis menjadi berlipat ganda. Relasi yang ada di kampus menjadi relasi yang dominatif. Dan ketimpangan gender semakin langgeng. Lalu, bagaimana para akademisi yang telah menggunakan paradigma feminis menaggapi persoalan ini?

Paradigma Feminis

Rancang bangun metodologi keilmuan universitas telah dibanjiri dengan apa yang Gerung sebut sebagai “bias positivism”. Bias ini yang kemudian menjadi bapak kandung ketimpangan gender. Saya memilih istilah ‘bapak’ bukan tanpa sebab. Pertama, feminisme psikoanalisis telah menghajar habis-habisan Sigmund Freud dalam oedipus complex-nya yang dianggap sangat patriarkis serta meletakkan perempuan dalam kondisi yang inferior (tunduk dalam dominasi ayah). Kedua, pondasi keilmuan itu dibangun dari pengalaman, gagasan, dan pikiran laki-laki, alias andosentrisme. Tentu, pondasi ini tumpang tindih dan mengabaikan pengalaman maupun gagasan perempuan.

Kendati demikian, Rocky Gerung menunjukkan optimismenya terhadap dua mahasiswi yang menggunakan perspektif feminis dalam ujian skripsi. Mereka adalah Ikhaputri dan Herlly Primadewi. Penelitian skripsi ini sangat penting, setidak-tidaknya mengikis bias gender dalam ilmu dan juga berkontribusi pada pengetahuan yang lebih ramah.

Ikhaputri mengkaji novel kontroversial karya Dan Brown yang berjudul The Da Vinci Code. Novel ini juga telah diadaptasi menjadi film yang rilis tahun 2006, disutradarai oleh Ron Howard. Yang menarik dari penelitian ini ialah definisi ulang dari ‘history’ ke ‘herstory’. Melalui kacamata Pierce dan Kristeva, Ikhaputri menjungkir balikkan pengetahuan yang androsentris. Ini adalah wujud nyata dari paradigma feminis.

Sementara Herlly Primadewi mengkaji film serial televisi Amerika Serikat buatan Marc Cherry yang berjudul Desperate Housewives. Ia melihat ketimpang perempuan dalam hubungan keluarga. Levi Strauss dalam antropologi strukturalnya mencatat ketimpangan tersebut berpindah dari laki-laki A (ayah) ke laki-laki B, yaitu suaminya (Octavio, 1997). Sedangkan Mansour Fakih (1996) menyebut sumber domestifikasi dan beban ganda dari keluarga. Melihat ini, Gerung mendapati bahwa pernikahan adalah institusi yang melembagakan ketidakadilan gender.

Konsep kunci yang ditampilkan dari dua skripsi tersebut ialah menjadikan perempuan sebagai sumber rujukan utama dalam mengkonstruk ilmu pengetahuan. Rocky Gerung menyebutnya sebagai “standpoint”, yaitu prinsip bahwa pengetahuan yang paling bermakna adalah yang memperlihatkan kondisi dan kepentingan mereka yang tersisih dari relasi sosial. Politik standpoint tidak jauh berbeda dengan victim’s view atau subjek pont of view. Bagi saya, sudut pandang ini lebih ramah gender, sebab titik pijak keberangkatannya ialah pengalaman, gagasan dan pikiran perempuan. Metodologi feminis dengan demikian merupakan kacamata yang dipakai untuk berpihak kepada korban serta menjadikannya subjek yang berdaya. Inilah paradigma feminis. Inilah sistem pengetahuan yang musti diterapkan oleh universitas.