Dalam kehidupan manusia, berfikir adalah kegiatan yang niscahya terjadi dan tak terelakkan. Manusia berfikir disetiap keadaan dalam kesadarannya, kita bisa merasakan bahwa sejak bangun tidur sampai terlelap kita menjalankan fungsi otak tanpa henti. Mulai dari menciptakan ide atau gagasan, mengambil keputusan terhadap sesuatu, atau merangkai penalaran terhadap argumentasi.

Berfikir menjadi hal yang esensial dalam kehidupan manusia, maka dari itu, “berfikir” atau “thinking” menjadi bahan perbincangan berbagai cabang keilmuan, seperti filsafat, neuroscience, psikologi, dan lain-lain. Dalam filsafat, pembahasan “berfikir” salah satunya dikupas di dalam bidang logika (filsafat logika)  (Prof. I.R. Poedjawijatna,2002). Lantas bagaimana filsafat logika itu?

Sebenarnya kita tak asing juga dengan pembahasan logika, ucapan seperti: Alasan tersebut tidak logis, logikamu dipake dong!, kamu cacat logika! Sering terucap dan terdengar diperbincangan kita. Beberapa contoh tersebut adalah pembahasan logika dalam kehidupan sehari-hari. Lantas jika saya kembali bertanya pada kalian, dalam bahasa keseharian tersebut, logika itu apa sih?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebenarnya hal yang perlu dilakukan adalah meletakan logika sebagai kerangka pengetahuan tertentu. Perngetahuan tersebut yaitu filsafat atau ilmu. Untuk mewakilinya, pertanyaan yang tepat adalah “logika itu ilmu atau filsafat sih?”

Dalam tulisan ini, kita akan mengulas mengenai topik yang kerap kali dibahas dalam perbincangan logika, yaitu posisi logika dalam kerangka pengetahuan manusia. Topik ini menjadi penting untuk mempermudah kita ketika akan mendalami logika.

 

Filsafat dan ilmu

 

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai posisi logika, kita harus mengetahui hubungannya dengan filsafat dan ilmu. Maka dari itu mari kita sedikit menyelidiki filsafat, ilmu, dan sangkutannya dengan logika.

Sebenarnya, filsafat dan ilmu memiliki keterhubungan yang begitu mendasar, yaitu perihal “pengetahuan manusia”. Keduanya adalah unsur yang memiliki fungsi sebagai memproduksi pengetahuan.

Dalam hubungannya dangan logika, filsafat dapat diartikan sebagai titik tolak atau landasan dari pengetahuan (knowledge) manusia. Setiap pengetahuan, jika belum ditetapkan menjadi sebuah ilmu, pengetahuan tersebut adalah filsafat. Bayangkan dahulu ketika Albert Einstein sebelum merumuskan teori relativitas, teori tersebut belum beroprasional dan belum ditentukan.  Hal yang mungkin dilakukannya ialah melakukan beberapa pengandaian dan mengajukan pertanyaan dasar, “Bagaimana sebenarnya realitas dunia bergerak dalam ruang dan waktu?.” Pertanyaan tersebut tidak berangkat dari ruang kosong, dan pastinya atas dasar pergulatan konsep-konsep dalam pikiran (kegelisahan intelektual). Jika pertanyaan tersebut adalah landasan dari ilmu pengetahuan—lewat pertanyaan filosofis— maka hal itu menjadi “filsafat”.

Dari pertanyaan tersebut, Einstein mencoba mencari tahu jawaban atas pertanyaannya, yaitu lewat penalaran, penelitihan lapangan, uji coba, dan mengkoreksi ilmu sebelumnya yang bersangkutan. Sampai akhirnya, lewat berbagai tahap, Einstein bisa merumuskan teorinya dengan ketentuan, hukum, dan rumus yang ia ditetapkan. Jika ketetapan tersebut sudah terverifikasi, dari sebelumnya yang hanya pertanyaan filosofis (filsafat), akhirnya menjadi sebuah ilmu pengetahuan. Secara singkat, jika filsafat adalah titik tolak pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan yang sudah dioperasionalkan atau ditetapkan.

Dari filsafat lalu menjadi ilmu, tahapan selanjutnya­—yang bisa diselaraskan— adalah teknologi. Lewat pengetahuan yang sudah ditetapkan (ilmu), hukum relativitas dikembangkan dan menghasilkan berbagai produk ciptaan, salah satunya google maps. Google maps tersebut disebut sebagai teknologi. Jika filsafat adalah titik tolak pengetahuan hukum relativitas, ilmu adalah pengetahuan relativitas yang sudah dioperasionalkan atau ditetapkan, maka google maps adalah pengetahuan relativitas yang sudah diaplikasikan (Hidanul Ichwan Harun, 2014).

 

Apa itu logika ?

 

Dalam usahanya, manusia berfikir semata-mata adalah untuk menjangkau kebenaran, tak ada yang menginginkan hal sebaliknya terjadi. Namun kebenaran juga tidak secara konstan terjadi, beberapa aturan dan teknik harus ditetapkan. Oleh karena itu, berfikir disini juga sebuah proses untuk menangkap informasi dari objek fikir berdasarkan asas-asasnya (Alek Lanur OFM, 1983).

Berfikir (thinking) disini adalah suatu proses rohani atau metafisis, yang melipu tiga unsur dasar, diantaranya: pengertian (ide, gagasan), pernyataan (keputusan, statement), penalaran (jalan fikir, reasoning) (Hidanul Ichwan Harun, 2014). Karena berfikir adalah gerak rohani, maka secara formal pengertian disebut term, pernyataan disebut proposisi, dan penalaran disebut argumentasi.

Salah satu bentuk formal berfikir adalah bahasa, untuk mempermudah pembagian diatas, maka term bisa diwakilkan dalam bentuk kata, proposisi sebagai kalimat, dan argumentasi adalah penyampulan (Alek Lanur OFM, 1983).  Untuk memahami pembagian tersebut, lihat peta dibawah.

Dari tiga unsur berfikir tersebut, penalaran adalah pokok paling utama dan paling penting dalam logika. Namun tak dipungkiri bahwa unsur yang lain juga berpengaruh, tanpa pengetahuan tentang kedua unsur yang lain, sulit juga untuk menjangkau penalaran atau penyimpulan dengan benar.

 

Posisi logika

 

Setelah mengetahui penempatan filsafat dan ilmu sebagai pengetahuan manusia, dan juga mengetahui posisi logika dalam berfikir, lalu dimanakah posisi logika dalam pengetahuan manusia? Dia termasuk dalam filsafat yang berperan memproduksi ilmu pengetahuan, atau dia sebagai ilmu yang beroprasional.

Untuk menempatkan logika dalam posisinya, kita harus mengetahui dua macam logika, yaitu logika mayor dan logika minor. Logika mayor adalah tinjauan filosofis tentang metode-metode untuk memperoleh pengetahuan. Sedangkan logika minor adalah teknik berfikir yang tepat, runtut, dan teratur untuk mendapatkan kesimpulan yang benar.

Dari situ kita dapat melihat bahwa logika memiliki dua macam bentuk yang memiliki posisi tersendiri terhadap filsafat dan ilmu. Seperti yang sudah kita ulas di atas, bahwa filsafat adalah titik tolak ilmu pengetahuan, logika mayor dapat diidentifikasi didalamnya—sebagai kerangka epistimologi atau asas-asas ilmu pengetahuan. Jika melihat kedekatannya, kita tak kesulitan memprediksi hal tersebut. Untuk berfilsafat kita diharuskan untuk mencari sebab segala seusatu secara mendalam, dengan menggunakan pemikiran dan akal yang bebas, terbuka, dan logis. Oleh karena itu logika adalah elemen penting dalam filsafat.

Sedangkan dalam kerangka ilmu pengetahuan kita dapat mengidentifikasi logika melalui logika minor. logika minor ini yang biasa kita sebut sebagai “logika” saja, atau disebut logika keseharian, atau juga disebut sebagai “logika formal”, yaitu logika yang membahas keilmuan tentang teknik yang tepat dan teratur agar memperoleh kesimpulan yang benar dan konsisten.

Dalam proses penalaran sehari-hari, kita kadang terlena menggunakan penalaran yang salah, oleh karena itu logika diproyeksikan untuk membantu dalam menyusun proposisi, premis, atau argumentasi yang benar tanpa menyalahi aturan atau asas dalam berfikir. Disini kita dapat melihat bahwa logika bukan suatu kerangka dari pembentukan ilmu secara epsitimologis, namun sebagai kerangka keilmuan yang sudah ditetapkan sebagai asas yang harus ditaati untuk sekedar berfikir secara teratur, lurus, dan tepat dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kerangka yang tidak begitu ketat, logika disini juga menjadi praktik keilmuan dan filsafat secara bersamaan. Dengan menerapkan kerangka berfikir yang lurus, tepat, dan sehat menurut asas-asas yang sudah ditentukan, kita tak hanya sekedar memahami teori belaka, namun juga ketrampilan untuk menerapkan teori tersebut secara praktik. Maka, logika dapat dipahami sebagai ilmu berfikir, dan disisi lain logika juga dipahami sebagai tindakan filsafat secara praktis.

Setelah sedikit mengulas topik diatas, kita dapat mengatakan bahwa logika adalah sebuah entitas yang menjembatani filsafat dan ilmu, namun esensinya bergantung pada bagaimana kita memahaminya. Sebagai alat analisis filsafat, logika membimbing pemikiran kita melalui konsep-konsep mendasar, membuka jendela ke dalam realitas abstrak. Di sisi lain, sebagai ilmu, logika memberikan struktur dan metode dalam menyusun argumen yang kuat dan konsisten. Keduanya saling melengkapi, menciptakan landasan bagi pemahaman yang holistik.

 

Penulis:
Muhammad Iksan
Mahasiswa AFI angkatan 2021 

Editor:
Ahmad Abdul Manan
Staf Buletin Verstehen

Ilustrator gambar:
Wahyu Budi Raharja
CO Devisi Media

 

Daftar Pustaka

                Harun, Hidanul I. (2014). Logika Keilmuan: Pengantar Silogisme dan Induksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

                Lunar, Alex. (1983). Logika Selayang Pandang. Yogyakarta: Kanisius.

                Poedjawijatna I.R. (). Logika: Filsafat Berfikir. Jakarta: PT Rineka Cipta.