Penulis :
Risma Fadlilatul Iffah
Mahasiswa AFI Angkatan 2019


Istilah seksisme sering ditemukan dalam kajian feminisme. Seksisme merupakan bentuk diskriminasi terhadap seseorang berdasarkan jenis kelaminnya.  Istilah ini mulai dikenal pada saat Gerakan Pembebasan Perempuan (Women’s Liberation Movement) dari feminis gelombang kedua pada tahun 1960-an sampai 1980-an. Menurut Oxford Languages, sexism adalah prejudice, stereotyping, or discrimination, typically against women, on the basis of sex. 

Seksisme menjadi salah satu ideologi yang dapat melanggengkan sistem patriarki di masyarakat melalui penyuburan prasangka, penyematan stereotipe dan berujung diskriminasi. Sebagai manusia nomor “dua” setiap gerak yang dilakukan perempuan diduga akan memunculkan prasangka-prasangka. Stereotipe bahwa perempuan adalah makhluk domestic, manusia kedua, individu emosional, menjadikan perempuan sebagai objek diskriminasi baik dalam kehidupan rumah tangga sampai kehidupan karirnya. Perilaku seksisme menjadi alat bagi laki-laki baik secara individu ataupun kelompok untuk mempertahankan kuasanya. 

Perempuan sangat rawan mendapat perlakukan seksis dimanapun dia berada. Dalam fasilitas umum, perempuan kehilangan rasa aman. Di tempat kerja, sekolah, bahkan di lingkungan rumahnya perempuan masih saja tidak mendapat rasa aman atas tubuhnya. Ketika membuka sosial media, acara televisi, berita online dan berbagai tayangan lain, lagi-lagi menunjukkan perilaku seksis terhadap perempuan. Dan semakin mirisnya, hal ini tidak banyak disadari. Dalam kondisi tertentu, perempuan penerima perilaku seksis juga merasa tidak dirugikan. Bahkan, perempuan ikut berpartisipasi atas penindasan terhadap kelompok mereka sendiri. 

Seksisme menunjukkan bentuk-bentuk perilaku, praktik yang dilembagakan dan ideologi dimana dianggap sebagai disposisi dan kapasitas hanya berdasarkan jenis kelamin mereka. Ideologi ini mengakibatkan ketimpangan peran laki-laki dan perempuan. Salah satu jenis kelamin akan dinilai lebih unggul dari jenis kelamin yang lain. Penghakiman ketidakmampuan perempuan bukan didasarkan pada kecakapan yang dimiliki namun karena jenis kelaminnya sebagai “perempuan”. Perempuan terus dibayangi oleh perbedaan posisi kuasa dalam dunia patriarki sehingga akan mempengaruhi proses pengembangan diri perempuan itu sendiri. 

Bentuk-bentuk seksisme lazim ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah modernisasi, tindakan seksisme semakin beragam bentuknya. Salah satu tindakan seksis yang banyak ditemui berasal dari sosial media. Misalnya, dalam postingan seorang public figure perempuan, ditemukan ratusan komentar yang ditulis hanya untuk menilai penampilannya, menggoda bahkan tidak jarang menuliskan pesan tidak pantas. Tanggapan seksis berasal dari mereka yang identitasnya tidak diketahui. Perlakuan mereka terhadap public figure tersebut dapat menyebabkan tekanan, perasaan khawatir dan berujung pada kondisi mental yang tidak stabil. 

Catcalling merupakan contoh yang sering ditemukan dari bentuk seksisme atau diskriminasi terhadap perempuan. Catcalling dapat berbentuk verbal maupun non verbal. Catcalling verbal bisa berbentuk komentar vulgar, suara peluit atau pemilihan kata yang digunakan untuk merendahkan perempuan. Sedangkan silent catcalling seperti melirik, penggunaan intonasi yang berbeda dan mengedipkan mata untuk mengobjekkan perempuan. Catcalling adalah reproduksi seksisme yang dilembagakan (Kissling 1991; Tuerkheimer 1997). Perilaku catcalling tidak mendapatkan tindakan hukum, sehingga kelompok dominan sedikit pun tidak merasa bersalah ketika melakukanya. 

Tindakan seksis memberikan dampak begitu besar bagi perempuan. Dari segi mental, tindakan seksis membuat korban merasa tidak aman. Hal ini dikarenakan tindakan seksis bisa dianggap sebagai permulaan adanya kejahatan seksual yang lain seperti pemerkosaan, pelecehan, bahkan pembunuhan. Tindakan ini dinormalisasi oleh pelaku maupun masyarakat. Tanpa disadari penormalan seksisme adalah salah satu upaya melanggengkan budaya patriarki. Ketika laki-laki melakukan tindakan seksis terhadap perempuan, laki-laki merasa menempati posisi kuasa atas perempuan. Mereka menjadikan perempuan sebagai objek. Diskriminasi gender bermula dari perasaan ini. 

Perbuatan seksis juga memberi dampak pada karir perempuan. Ketika mendapat tindakan seksis dari orang sekitar, perasaan tidak nyaman dan tidak tenang akan menganggu konsentrasi korban dalam kesehariannya. Korban dipaksa untuk terus bertemu pelaku misalnya di tempat kerja atau sekolah. Korban tindakan seksis tidak memiliki pilihan lain mengingat posisinya sebagai perempuan yang sering di stereotipkan lemah dan tidak berdaya. Sedangkan pelaku seksis tidak menyadari bahwa perbuatannya telah menganggu bahkan mengancam korban. Korban tindakan seksis tidak diberi perlindungann dengan menjauhkannya dari pelaku. Namun, korban dipaksa terus berhubungan dengan pelaku. Hal ini dapat menyebabkan kinerja korban dalam pekerjaan maupun pendidikannya menurun. Terlebih karena posisi perempuan dengan stigmanya membuat perempuan dibudayakan takut akan kesuksesan

Seksisme merupakan ideologi struktural dan sistemik. Menyelesaikan masalah seksisme memerlukan kontribusi dari berbagai pihak. Laki-laki sebagai mayoritas pelaku seksisme harus menyadari perilakunya. Perempuan bukan objek. Dalam kesehariannya, perempuan seharusnya mendapat rasa aman. Begitu juga dengan perempuan, ia seharusnya menyadari bahwa dirinya mendapat tindakan seksis. Bukan hanya menyadari, perempuan perlu melakukan perlawanan setidaknya melakukan penolakan ketika mendapat tindakan seksis baik dari orang disekitarnya maupun orang asing.

Perilaku dan tindakan seksis harus segera diselesaikan. Menyalahkan pakaian perempuan, tubuh perempuan, dan tempat mereka berada bukan solusi dari permasalahan seksis. Adanya tindakan seksis bukan hanya didasari dari pakaian perempuan dan segala pernak-pernik di tubuhnya. Keberadaan perempuan baik dalam kondisi apapun sudah menyebabkan tindakan seksis. Baik laki-laki maupun perempuan harus mendapat pengetahuan mengenai perilaku seksis. Sesuatu dianggap wajar karena sudah tertanam sangat dalam.  Masyarakat perlu diingatkan bahwa perkataan, tulisan, perilaku maupun tindakan yang mereka lakukan yang menyebabkan adanya diskriminasi terhadap salah satu jenis kelamin bukan suatu yang wajar dan harus dirubah. Pengetahuan seksis masih dianggap tabu oleh masyarakat sehingga penyampaian pengetahuan ini harus terus dilakukan.



Daftar Pustaka :
1. Arrivia, Gadis. Filsafat Berperspektif Feminis, Yayasan Jurnal Perempuan, 2003.
2. Ochoa, Melissa Kumari. SYSTEMIC SEXISM IN OUR LIVES, Texas A&M University, 2020.