Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah (UIN SATU) telah usai menggelar acara TAWURAN (Tambah Akur Wulan Ramadhan) pada tanggal 14, 16, dan 18 Maret 2024. Acara ini merupakan diskusi dari HMPS AFI dengan menggandeng HMPS Tasawuf Psikoterapi (TP) dan HMPS Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT) yang mengusung tema besar “Memayu Hayuning Ramadhan”.
Pelaksanaan acara ini bertempat di kontrakan AFI ‘22, tepatnya di Dsn. Jabalan RT.04 RW.01, Ds. Jabalsari, Kec. Sumbergempol, Kab. Tulungagung. Acara berlangsung selama tiga hari merupakan bentuk upaya dari HMPS AFI untuk membangun relasi dengan HMPS lain yang ada di UIN SATU. Serta memberi ruang berkumpul bersama keluarga besar AFI.
Hari pertama acara TAWURAN dimulai tanggal 14 Maret ini HMPS AFI di isi dengan diskusi kolaborasi bersama HMPS TP. Kemudian hari kedua, tanggal 16 Maret kolaborasi bersama HMPS IAT. dan terakhir tanggal 18 Maret HMPS AFI berlangsung diskusi dengan internal AFI.
Acara yang berlangsung selama tiga hari ini mengusung tema besar “Memayu Hayuning Ramadhan”. tema tersebut memiliki makna: Memperindah Keindahan Ramadhan. Disetiap perdiskusian terdapat tema tersendiri. Kemudian tema tersebut di diskusikan lebih dalam perihal tema yang diangkat.
Hari pertama HMPS AFI kolaborasi dengan HMPS TPI (14/03). Diskusi mengangkat tema “Self Development Sebagai Peretas Mentalitas Miskin”. Diskusi di dipantik oleh Septiana dari prodi Tasawuf Psikoterapi dan Husein Ubaidillah dari prodi Aqidah dan Filsafat Islam. Perdiskusian dimulai menjelang buka puasa pada pukul 16.00 sampai 17.30 WIB.
Acara diawali dengan pemaparan materi dari Husein Ubaidillah. Ia memaparkan mentalitas miskin dan mentalitas kaya. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dalam mentalitas miskin. Kata “miskin” di sini bukan berarti miskin secara finansial saja, tetapi juga kemiskinan mental, kemiskinan intelektual, kemiskinan kesehatan, dan lain sebagainya. Ciri-ciri orang dengan mentalitas miskin adalah parasitisme, yaitu orang-orang yang menjadi benalu. Ciri lain dari mentalitas miskin adalah mereka tidak ingin keluar dari zona nyaman. Dalam hal ini bisa kita lihat bahwa banyak dari masyarakat termasuk mahasiswa tidak ingin keluar dari zona nyaman.
“Nah di sini kita membahas mentalitas miskin karena bisa kita lihat saat kita di kelas, kita tidak berani beropini, kita tidak berani untuk mengungkapkan argumen-argumen yang ada di pikiran kita”, jelas Husein saat memaparkan materi.
Materi selanjutnya disampaikan oleh Septiana. Ia memaparkan pengertian self development. Self development sendiri menurutnya, merupakan peningkatan serta pengembangan potensi yang ada dalam diri manusia. Hal ini bersifat fitrah dari Tuhan untuk membentuk kemampuan diri. Kemampuan ini bisa bersifat emosional atau sesuatu yang membuat diri manusia berkualitas. Hal tersebut dilakukan secara sadar.
“Jadi self development itu tidak hanya soal potensi atau bakat minat, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa mengarahkan emosional, kebiasaan, tingkah laku, serta akhlak untuk membentuk kepribadian”, imbuh Septiana dalam diskusi.
Septiana juga memaparkan bahwa ada lima hal dasar untuk mencapai self development tersebut. Salah satunya adalah melampaui keterbatasan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah melampaui keterbatasan diri kita. Terkadang diri kita menolak untuk melakukan hal yang tidak kita suka dan tidak kita bisa, padahal hal tersebut mungkin dapat menjadi pembelajaran baru bagi kita atau bahkan mengubah pola pikir kita.
Ia juga menambahkan bahwa suatu pribadi dikatakan baik ketika bisa menyelaraskan antara manusia sebagai makhluk personal, sosial, dan spiritual. Meneruskan apa yang disampaikan Septiana, Husein memberikan penjelasan lebih lanjut bahwa self development ini banyak macamnya, namun yang paling penting adalah basic self development, yaitu perihal menciptakan kesadaran diri.
Dalam diskusi kolaborasi dengan HMPS TP kali ini. Kita memperoleh wawasan baru mengenai pengembangan diri. Mengingat masalah kepasifan yang terus menjadi problem kebanyakan dari kita sampai saat ini. Ketidakberaniaan kita menyampaikan opini serta mengungkapkan argumen, maka suatu pembahasan mengenai pengembangan diri menjadi penting sebagai upaya kita dalam mengatasi masalah-masalah di atas.
Hari kedua acara TAWURAN kolaborasi dengan HMPS IAT (18/03). Perdiskusian mengangkat tema “Islamphobia: Stigma Radikal Terhadap Agama Islam”. Diskusi kali ini menghadirkan dua pemantik yakni: Ahmad Rosyi Izzulhaq dari mahasiswa IAT semester 8 dan Ferdian Muhammad (Alumni AFI angkatan 2019). Perdiskusian dibuka Moderator oleh Hilmy Harist mahasiswa AFI semester 2.
Pmateri pertama yang disampaikan oleh Ferdian Muhammad, memaparkan makna radikal. Kata radikal perlu digaris bawahi. Sebab kata radikal mempunyai dua makna, yaitu kekerasan dan mengakar. kata radikal sendiri berasal dari kata radik. Kemudian membedahi makna Islamophobia. Islamophobia menurutnya, ternyata sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad, yaitu pada abad 6-7 M. Hal ini di indikasi melalui perlakuan orang-orang kafir yang menolak ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Hal serupa juga ditemukan dalam peristiwa revolusi protestan pada abad 15 M.
Revolusi yang dilakukan ini membuahkan gerakan kolonialisme yang memiliki impact kepada agama islam. Sebab paham kolonialisme ini mengutamakan 3 goal yaitu: gold, glory dan gospel. Tiga goal yang dijadikan pedoman ini sangat berlawanan dengan ajaran agama islam. Menurut kelompok kolonialisme, paham Islam menjadi salah satu faktor tidak tercapainya ke-tiga goal yang di yakininya.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami terdapat faktor polarisasi adanya stigma Islamophobia kepada agama Islam. Pertama, awal munculnya agama Islam di Indonesia, sudah mengindikasikan adanya bibit penolakan terhadap ajaran agama Islam yang baru masuk. Kedua, adanya revolusi Rotestan yang dilakukan pada abad 15 M. Revolusi Rotestan mempengaruhi dan memperluas paham Islamophobia. Sehingga stigma islamophobia menjadi umum di telinga masyarakat, termasuk masyarakat pemeluk agama islam.
Kemudian di susul dengan pendapat Ahmad Rosyi Izzulhaq. Ia menyampaikan stigma Islamophobia. Istilah Islamophobia terdapat kata Islam dan phobia. Phobia memiliki makna takut. Sehingga Islamophobia, menggambarkan wajah Islam yang takut. Hal tersebut disebabkan adanya ketakutan yang diterima oleh orang-orang selain Islam kepada oknum pemeluk agama Islam.
“Sebelum masuk lebih dalam, saya notice kepada isi piagam Jakarta yang dimana ada kalimat 'kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'. Hal tersebut menjadi sebuah tabir sendiri bagi negara Indonesia. Hal ini menjadi tolak ukur yang sangat fundamental dalam kenegaraan Indonesia. Sangat berbeda dengan minoritas muslim. stigma ini sangat mendasar dan tertuju kepada oknum muslim yang melakukan pengeboman di gereja. Ketakutan ini mengakar hingga ke Islam Indonesia. Padahal adanya gas elpiji yang meletus saja, dianggap sebagai bom”, jelas Rosyi saat memaparkan materi.
Menurut Rosyi, Islam di Indonesia ini sudah memiliki dua wajah. Ada yang memiliki paham kanan dan paham kiri. Adanya dua wajah ini menyebabkan terjadinya penafsiran mono-perspektif pada landasan agama Islam. Ia menggunakan dalih tafsir agama untuk memberikan dogma kepada pemeluk agama Islam. Penafsiran model seperti ini sangat menyalahi aturan yang dibuat oleh agama islam.
Dimana Islam sangat memperhatikan intelektualitas yang dimilki oleh penafsir. Sehingga penafsiran yang dibuat tidak merupakan hal yang mengikuti nafsu dari penafsir saja. Hal ini sudah menjadi kerak permasalahan bagi Islam di Indonesia, oleh karena itu, faktor ini adalah suatu hal yang perlu diperhatikan dan ditindak lanjuti untuk mengurangi impact dari hasil oknum agama Islam yang melenceng.
Diskusi kemudian ditutup oleh moderator, Hilmy Harits. Ia juga memberikan kesimpulan di akhir perdiskusian. Ia memberikan kesimpulan bahwa kita menemukan sudut pandang baru mengenai Islamophobia. Dari awal diterangkan mengenai perkembangan Islamophobia itu sendiri. Hingga sampai dari bagaimana Islamophobia dalam konteks Indonesia.
“Yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai agama Islam dan nilai-nilai dari Alquran. Sehingga keduanya bisa melekat di hati kita sebagai umat Islam. Tentunya Alquran bukan hanya saja untuk dihafal dan dibaca tetapi juga dilakukan”, imbuh Hilmy menutup perdiskusian.
Diskusi kolaborasi kali ini berlangsung cukup kondusif dan mendapat respon cukup baik dari salah satu peserta yang berpartisipasi mengikuti diskusi.
“Untuk hari ini keren sih mbak acaranya, dari teman-teman AFI juga sudah menyiapkan sejak lama dan persiapannya juga sudah matang, termasuk pemateri dan lain sebagainya. Ya mungkin itu sih, untuk hari ini keren mbak. Untuk rangkaian acara 3 hari juga keren sih mbak, bagaimana AFI menggandeng HMPS lain sebagai narasumber atau kolaborasi lebih tepatnya. Dari pemaparan materi pada hari ini saya juga mendapat pandangan baru terkait Islamophobia, bagaimana dari pandangan AFI dan Tafsir juga kan, dari kedua itu saya mendapat pandangan baru juga sih”, ungkap Wahyu mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Hari terakhir acara TAWURAN, disusul dengan diskusi internal AFI dengan menghadirkan pemateri Bapak Saiful Mustofa M. Ag, dosen UIN SATU Tulungagung (18/03). Acara ini mengangkat tema “Agama, Stagnasi Akal, dan Dekadensi Moral”. Rizki Pratama selaku moderator pada diskusi kali ini membuka acara yang kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi dari Bapak Saiful Mustofa.
Bapak Saiful Mustofa memulai memaparkan definisi agama, stagnasi akal, dan dekadensi moral. Menurutnya, agama adalah sebuah kepercayaan atau sistem kepercayaan yang berpusat pada keyakinan dan kekuatan spiritual. Kekuatan adikodrati yang identik pada Tuhan atau realitas yang lebih tinggi.
Setelahnya ia menjelaskan makna stagnasi akal. menurutnya, stagnasi akal adalah kondisi pemikiran atau pengetahuan yang tidak mengalami kemajuan atau bahkan tidak juga mengalami kemunduran. Sedangkan makna dekadensi moral adalah penurunan moralitas atau nilai-nilai etika dalam suatu masyarakat.
Jika berbicara agama dalam perspektif filsafat. Banyak tokoh yang mempertanyakan peran agama dalam kehidupan manusia. Misalnya mulai dari Platon sampai Hegel. Ada banyak pandangan tentang bagaimana agama mempengaruhi pikiran dan moralitas manusia. Ketika kita bicara tentang moralitas dan tentang akal pikiran tentu kita tidak pernah bisa lepas dari kategori agama.
“Karena bagaimanapun agama itu lahir beserta dengan perkembangan manusia itu sendiri, mulai dari agama yang sangat primitif sampai agama yang kita kenal saat ini”, imbuh Bapak Saiful.
Bapak Saiful juga memaparkan contoh beberapa filsuf yang setidaknya pernah membuat kontroversi dengan tema agama. Salah satu tokoh tersebut adalah Nietzsche. Filsuf tersebut terkenal dengan konsep kematian Tuhan. Kematian Tuhan dalam konteks Nietzsche, yaitu ketika agama-agama Abrahamik telah kehilangan relevansinya dalam era modern. Sebab melihat agama sebagai sarana kontrol penekanan terhadap kebebasan individu. Sehingga Nietzsche menyarankan kepada manusia untuk menciptakan nilai-nilai baru berdasarkan pada kebebasan kreativitas. Keberanian untuk menghadapi realitas tanpa bantuan dari konsep-konsep agama yang menurutnya sangat tradisional.
Perrnyataan Nietzsche tentang agama demikian. Sebenarnya berdasarkan pada realitas sosial yang terjadi pada saat itu. Ketika agama dianggap sebagai sebuah medium penting untuk membebaskan manusia dari segala belenggu-belenggu masalah duniawi. Tetapi usahanya itu ternyata gagal. Oleh karena itu Nietzsche menyebut agama kehilangan relevansinya dalam era modern. Kemudian Nietzsche juga mengatakan kemana Tuhan ketika terjadi dekadensi moral dan ketika terjadi berbagai permasalahan sosial yang luar biasa. Dimana kontribusi agama dalam menjawab permasalahan-permasalahan itu? Kenapa agama justru absen? oleh sebab itu Nietzsche mengatakan Tuhan telah mati.
“Bukan berarti Tuhan secara entitas mati, tapi mati karena Tuhan dianggap gagal dalam memberikan kontribusi terhadap kebutuhan-kebutuhan dan permasalahan yang terjadi di dalam sosial masyarakat. Oleh karena itu ia menyebut dengan istilah 'Tuhan telah mati'. Pernyataan kemanakah Tuhan itu sebenarnya merupakan kritik. Saya melihat sebenarnya ini kritik satir Nietzsche kepada orang-orang agama yang mengklaim dirinya orang-orang suci pada saat itu. Tetapi usahanya gagal merespon dan memberi kontribusi positif terhadap berbagai persoalan yang ada di realitas masyarakat”, ujar Bapak Saiful.
Kemudian mengenai stagnasi akal. Bapak Saiful menjelaskan bahwa ketika kita membicarakan tentang stagnasi akal. Ada beberapa tokoh yang membicarakan stagnasi akal, misalnya Immanuel Kant. Immanuel Kanta berpikiran tentang bahaya mengikuti otoritas tanpa pertimbangan rasional yang kritis. Terutama otoritas agama yang memang berbahaya jika kita menelan mentah-mentah terhadap agama atau dogma agama tanpa rasa kritis. Maka kita bisa terjebak pada hal-hal yang bisa jadi negatif. Dalam hal dekadensi moral. Seringkali agama digunakan untuk mengatur perilaku dan moralitas masyarakat. Ketika agama dipolitisasi, maka kemungkinan dapat terjadi dekadensi moral.
“Kalau ngomong dekadensi moral dalam konteks agama tentu salah satu penjaga gawang tentang moral itu agama. Karena agama membuat misi menjaga moralitas dan etika meskipun kita mengenal ilmu tentang etika. Tetapi kalau sudah agama di politisasi yang sekarang juga marak terjadi. Fungsi agama sudah tidak lagi dapat menjadi penjaga moral tapi justru menimbulkan dekadensi moral. Jean Paul-Sartre menjelaskan pemikirannya. Bahwa politisasi agama adalah ketika agama atau simbol-simbol agama digunakan sebagai legitimasi dan deligitimasi lawan politiknya”, Imbuh Bapak Saiful.
Hubungan atau relasi antara agama, stagnasi akal dan dekadensi moral dalam banyak kasus mengenai stagnasi akal. Serta dekadensi moral dapat terkait erat dengan penggunaan agama sebagai alat kontrol sosial. “Jadi saya pikir wacana diskursus tentang agama dalam kaitannya dengan politisasi dan kontrol sosial itu akan masih terus relevan ketika fenomena yang terjadi dalam konteks masyarakat beragama di Indonesia ini terutama masih terus terjadi”, ujar Bapak Saiful sebagai penutup diskusi.
Acara TAWURAN ini merupakan serangkaian kegiatan yang diadakan oleh HMPS AFI berbentuk diskusi kolaborasi dengan menggandeng HMPS lain yang ada di UIN SATU dengan maksud membangun perdiskudian di bulan Ramadhan, sehingga dapat terjalin juga relasi antara HMPS AFI dengan HMPS lain yang ada di UIN SATU.
Acara ini secara utuh bukan hanya ditujukan untuk mahasiswa AFI saja, namun terbuka bagi seluruh mahasiswa UIN SATU. Muhammad Rizki selaku ketua HMPS AFI juga turut menanggapi berjalannya acara ini. “Agenda diskusi kolaborasi ini sangat menarik dan berjalan dengan baik, kita bisa menambah relasi dengan HMPS dari prodi lain melalui acara ini, ditambah lagi wawasan kita juga bertambah dengan mengikuti diskusi ini, sukses pokoknya”. Tutur Rizki saat diwawancarai perihal acara TAWURAN.
Penulis: Sita Rismanda dan Wahyu Ilham
0 Komentar