Oleh Sungu Lembu [] Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Semester
IV; IAIN Tulungagung [] Staf Magang Verstehen Organik Philosophy
23 April 2019 - Hujan deras mengguyur Blitar sore itu. Meskipun demikian
tidak menyurutkan puluhan muda-mudi untuk berdatangan ke Miss June Cultural
Center di Jalan Mendut, Kota Blitar. Ada sosok yang akhir-akhir ini
diperbincangkan publik secara luas, Mas Dandhy Dwi Laksono namanya. Dia
memproduksi film yang membuat dua tim pemenangan calon presiden sibuk
menangkis cela junjungannya masing-masing di masa injury time menjelang
hari pencoblosan.
Film berjudul Sexy Killers berhasil menyedot perhatian banyak orang,
buktinya film ini dinobarkan di ratusan titik secara swadaya dalam rentang
waktu satu bulanan ini. Ketika dirilis ke kanal youtube pun, karya
dokumenter yang menyoal dark side bisnis batubara dilihat tidak kurang dari
delapan belas juta views dalam seminggu. Beberapa waktu yang lalu pun
beberapa komunitas di Tulungagung, yaitu LPM Dimensi, Dema FUAD, sadha.net,
Forum Perempuan Filsafat dan lainnya juga sempat menyelenggarakan nonton
bareng sekaligus mendiskusikan film ini.
Sehingga ketika mendapat info kedatangan mas Dandhy ke Blitar, kami
antusias menyambut kesempatan berdiskusi langsung dengan sang sutradara
Sexy Killers. Berbagai elemen masyarakat juga nampak hadir seperti beberapa
pengurus pers mahasiswa Blitar-Tulungagung, aktivis GMNI, HMI dan PMII,
aktivis lingkungan dan masyarakat sipil lainnya yang concern atau memiliki
irisan dengan isu ini.
Miss June, selaku tuan rumah menjadi moderator selama jalannya diskusi ini.
Ia mempersilahkan mas Dandhy memberikan pengantar lalu dilanjut tanya jawab
dengan audiens. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul sebagian seperti
pembantaian atas konten maupun hal-hal di belakang layar film
kontroversial, ia menanggapi dengan santai dengan berkelakar bahwa sudah
melakukan berbagai simulasi keadaan terburuk sebelum merilis filmnya dengan
kiritikus, aktivis bahkan pengacara bila sampai filmnya digugat secara
hukum.
Semisal pertanyaan yang mempermasalahkan soal sumber dana film ini karena
muncul desas-desus yang menyebut film ini disokong paslon tertentu. Mas
Dandhy dengan enteng menyebut saat ini aktivis terbiasa bekerja lewat skema
pengajuan proposal, sehingga tidak terbiasa dengan kerja-kerja berbasis
ideologi dan kepuasaan pribadi seperti yang ia lakukan. Ia bercerita bahwa
titik berangkat Ekspedisi Indonesia Biru, yang melahirkan salah satunya
ialah Sexy Killers, awalnya diniatkan liburan keliling Indonesia namun
akhirnya berujung serius dan menghasilkan 12 terabyte data video.
Dalam perjalannya selama setahun, ia seakan dibuka matanya terhadap
masalah-masalah nyata yang dihadapi masyarakat di daerah. Mereka menitipkan
suara mereka dalam film dokumenter WatchdoC, lembaga besutan mas Dandhy.
Suara orang Bali dalam Kala Benoa, suara orang Papua dalam The Mahuzes,
suara warga ibukota dalam Jakarta Unfair maupun Rayuan Pulau Palsu.
Meskipun kemudian film-film ini digunakan secara politis, ia malah
bersyukur ketimbang menggunakan film propaganda G-30S/PKI sebagai bahan
kampanye.
Pertanyaan lain, seperti kenapa memilih isu lingkungan dalam film-film
dokumenternya ia jawab dengan mengutip tulisan yang tertuang dalam bukunya,
Jurnalisme Investigasi (Circa, 2018), bahwa setiap isu memiliki mediumnya
masing-masing. Isu lingkungan sangat cocok menggunakan medium visual karena
kemegahan yang bisa disuguhkan. Ia menyebut isu-isu korupsi lebih tepat
disuguhkan lewat medium cetak karena berisi tumpukan data-data minim
visualisasi.
Ada pula yang menanyakan apakah ada kaitan film-film dokumenter WatchdoC
dengan isu transnasional. Mas Dandhy membenarkannya, ia mengatakan bahwa
isu ekologi tidak relevan apabila diperbincangkan dengan batas
negara-bangsa hari ini. Sampah orang Jawa yang dibuang ke laut akan sampai
ke Bali, asap kebakaran hutan di Kalimantan akan membuat sesak nafas orang
di Singapura. Sehingga isu ekologi tidak akan bisa dilihat melalui kacamata
nasionalisme sempit, jatuhnya nanti bisa seperti ungkapan salah satu
capres, “..daripada di kelola asing, mending saya yang kelola.” Padahal
sahamnya tercecer di berbagai bank asing.
Pertanyaan-pertanyaan baru terus mengalir hingga pukul tujuh malam. Salah
satu kalimat yang menggelitik dari mas Dandhy dalam kerja film
dokumenternya ialah, “...menyalakan kamera adalah hal paling mudah, yang
sulit melakukan riset dan membaca selama proses pembuatan”. Sosok mas
Dandhy relevan dengan ungkapan Mansoer Fakih, bahwa kerja intelektual bukan
hanya memberi makna pada gejala sosial. Namun, hal penting yang dilakukan
mas Dandhy ialah membangun pemikiran dan kesadaran kritis melalui
karya-karya jurnalistiknya, baik tulisan maupun melalui film-film
dokumenternya. [sz]
0 Komentar