Ketika Filosof Bermain Cinta, Semua Kenikmatan Menjadi Sirna

Oleh Wisanggeni Esmoyo [] Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Semester IV; IAIN Tulungagung [] Staf Verstehen Organic Phiosophy

#1

Ketika kutemui seorang gadis jelita dan kumohon padanya agar sudi pergi denganku. Ia berlalu tanpa mengucap sepatah kata pun, yang kuartikan sebagai; “Kau bukan seorang pangeran yang masyhur, juga bukan pria Jawa yang pemurah. Malah dirimu mirip indian berkulit merah dengan pandangan mata yang tenang. Kamu telah dipijat oleh hembusan angin padang rumput dan sungai-sungai yang mengalir. Kau belum sekalipun berpetualang ke danau besar dan menjelajahinya, dimana pun tempat itu berada dan dapat ditemukan dengan tepat, maka kenapa wanita jelita seprti diriku hendak berjalan denganmu?”

Kau lupa bahawa tak ada sebuah mobil mewah pun yang membawamu berayun-ayun menyusuri jalan; tak ada kulihat seorang pria terhormat sebagai pendamping di sisimu, mengenakan setelan jasnya yang ketat membalut tubuhnya. Berjalan dibelakangmu sambil membisikkan rayuan-rayuannya; dadamu dengan rapi terpencet rapi di balik korset yang kau kenakan. Namun paha dan pinggulmu bebas tanpa himpitan, kau pakai gaun tafeta yang dihiasi lipatan, seperti gaun-gaun yang telah menggembirakan semua orang di musim gugur tahun lalu. Meski demikian dengan bahaya mematikan yang sebenarnya tersembunnyi dalam dirimu, kau tersenyum sedap saat.

Benar, kita berdua sama-sama benar; dan untuk menjaga dari hal-hal yang hanya menyebabkan perbantahan, maka sebaiknya bila kita berjalan pulang sendiri-sendiri. Karena kita seperti batang-batang pohon di atas salju. Tampaknya, mereka terletak dengan licin di atas permukaan dan degan dorongan lembut saja kita akan mampu memindahkannya. Tidak, itu tidak bisa, karena mereka sangat melekat dengan bumi. Tetapi lihat, itu juga jelas.
********

Posting Komentar

0 Komentar