Oleh Hamim Mustofa [] Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Semester IV; IAIN
Tulungagung [] Staf Magang Vertehen Organic Philosophy
Rabi'ah al-Adawiyah adalah sufi wanita di dunia tasawuf. Sufi wanita ini
mengenalkan konsep cinta (mahabbah). Kata mahabbah berasal dari kata
ahabba, yuhibbu, mahabbatan berarti mencintai secara mendalam, dan hubb
berarti lawan al-Bugd yakni cinta (cinta dan benci). Begitu juga memiliki
makna al-Wadud yang artinya cinta, kasih sayang, persahabatan.
Paham ini merupakan kelanjutan dari tingkat kehidupan zuhud yang
dikembangkan oleh Hasan al-Basri, yaitu takut dan pengharapan, yang
kemudian dinaikkan oleh Rabi’ah menjadi zuhud karena cinta. Cinta yang suci
murni itu lebih tinggi dari pada takut dan pengharapan.(Nasution, 1979:
79).
Mahabbah adalah sebuah konsep pendekatan diri kepada Tuhan atas dasar
kecintaan, bukan karena takut akan siksa neraka ataupun mengharap surga.
Cinta Rabiah merupakan cinta tanpa mengharap balasan, konsep ini memiliki
derajat lebih tinggi dari konsep Hasan al-Basri tentang khauf (takut) dan
raja’ (pengharapan).
Rabiah adalah seorang zahidah sejati. Beliau dikenal sebagai The Mother of
The Grand Master. Ia pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total
kepada Allah dan dikenal sebagai ibu para sufi. Hakikat tasawufnya adalah
al-hubb al-ilallah (mencintai Allah swt.). Cinta Ilahi (al-hubb al-ilallah)
merupakan nilai tertinggi dalam kehidupan sufi.
Bahkan, kedudukan mahabbah dalam maqamat sufi setara dengan maqam ma’rifat.
mahabbah dan ma’rifat diibaratkan kembar tak bisa dipisahkan. (Wasalmi,
Sulesana(Vol. 9, No. 2, 2014: 81)
Sejarah perkembangan tasawuf, mahabbah merupakan konsepsi baru dikalangan
para sufi pada masanya. Mengenai mahabbah Rabiah ditanya pendapatnya
tentang batasan konsepsi cinta, “Cinta berbicara dengan kerinduan dan
perasaan. Cinta muncul dari keazalian (azl) dan menuju keabadian (abad)”
Ada dua batasan cinta yang sering dinyatakan Rabiah, yaitu: Pertama,
sebagai ekspresi cinta hamba kepada Allah, maka cinta itu harus menutup
selain sang kekasih (Allah). Kedua, kadar cinta kepada Allah harus tanpa
pamrih apapun. Artinya, seseorang tidak dibenarkan mengharapkan balasan
dari Allah, baik ganjaran (pahala) maupun pembebasan hukuman. (Arroisi,
Jurnal Tsaqafah, Vol. 14, No. 2, November 2018: 121).
Melalui konsep cinta Rabiah jiwa mencpi manunggaling kawula gusti tasawuf
al-Hallaj kesempurnaan penyatuan manusia dengan Tuhan. Sehingga dalam
kehendaknya itulah manusia akan menemui maha dekamaian sesunggunhnya.
Cinta Rabiah kepada Allah melebihi kecintaan kepada sesuatu yang lain.
Cinta Rabiah memang sudah semata-mata mengorbankan hidupnya untuk mencintai
Allah. Selama hidupnya sampai wafatnya, Rabiah tidak pernah manikah
(Wadat). Rabiah sepenuhnya menyerahkan kehidupannya hanya dzikir, dilawat,
dan wirid.
Besarnya kadar cinta Robiah terhadap Tuhannya bisa diketahui dari
jawabannya atas pertanyaan: Ketika Rabi’ah ditanya; “Apakah kau cinta
kepada Tuhan yang Maha Kuasa? ‘ya’. Apakah kau benci kepada syeitan?
‘tidak’, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku
untuk rasa benci kepada syeitan.”
Seterusnya Rabiah menyatakan: “Saya melihat Nabi dalam mimpi, Dia berkata:
Oh Rabiah, cintakah kamu kepadaku? Saya menjawab, Oh Rasulullah, siapa yang
menyatakan tidak cinta? Tetapi cintaku kepada pencipta memalingkan diriku
dari cinta atau membenci kepada makhluk lain.” (Wasalmi, Sulesana(Vol. 9,
No. 2, 2014: 83)
Rabiah menganggap cinta kepada Tuhan alam semesta merupakan cinta yang
agung, tulus, mulia, dan damai. Bagaimana kita tidak mencintai Allah,
sementara Dia telah memberikan kenikmatan, anugerah tiada tara. Dia Maha
Tinggi lagi Luhur, yang keputusan-Nya sangatlah adil dan bijaksana,
syariat-Nya merupakan rahmah, semua ciptaan-Nya indah, karunia-Nya luas,
serta sifat-sifat-Nya baik.
Dia tidak memiliki kecacatan, semuanya sempurna tidak ada kekurangan dalam
mengatur kehidupan. Karena Tuhan merupakan suatu kebijaksanaan yang tidak
ada penghalangnya. Ciptaan-Nya dari awal hingga akhir semuanya adalah yang
terbaik.
Melalui konsep mahabbah inilah, seseorang senantiasa menyadari akan
kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Kesadaran melakukan banyak kesalahan
berarti mengkhianati cinta sang kekasih. Hal ini tidak boleh dilakukan oleh
pecinta sejati.
0 Komentar