Dengan menyebut nama entitas terhebat yang selalu terlibat dalam cakrawala keseharian karena betapa sibuknya Ia merawat manusia dan mendengarkan selalu doa-doanya, membangun langit dan bumi untuknya, dan susah-susah menciptakan segalanya agar manusia segera beriman kepadanya. Maka sesungguhnya semua itu omong kosong dan dari sini tulisan akan dimulai.
Tuhan dan agama selalu melekat dalam benak setiap orang, kedua hal tersebut sangat familiar dan nyaris mustahil tidak ada yang mengetahuinya. Seolah-olah kedua hal tersebut adalah bagian dari alam semesta yang memang absolut dalam cerita yang dituliskan di kitab-kitab suci tertentu sebagai entitas terkuat yang disebut Tuhan. Belum lagi bagaimana kemudian lembaga formalitas mengkhususkan agar hidup seimbang dengan moralitas baik-buruk yang disebut agama. Persoalan umum tentang agama sangat lazim, dan poin tulisan ini akan membahas tentang fenomena dan anomali Tuhan, agama, serta manusia si hamba penganut yang selalu setia terhadap keduanya.
Fenomena umum terhadap agama adalah apakah agama merupakan bagian dari alam? Mari menelisik melalui ajaran Darwinian. Teori evolusi menegaskan adanya seleksi alam dimana seleksi tersebut berlangsung setiap detik melalui genetik yang secara gradual. Teori ini juga menjelaskan bahwasanya apapun yang tidak dibutuhkan dan tidak memberi manfaat kepada alam maka hal tersebut akan hilang, karena seleksi akan menghanguskan bentuk-bentuk boros dari yang tidak dibutuhkan tersebut. Sehingga pertanyaan selanjutnya adalah apakah agama sangat penting bagi organisme? Karena jika tidak sepertinya agama tidak akan ada hingga sekarang.
Menurut filsuf Daniel Dennet, agama sama seperti sebuah fenomena batuk pilek yang umum menjangkiti umat manusia namun kita tidak beranggapan hal tersebut memiliki manfaat. Kemudian menurut Richard Dawkins, agama adalah produk sampingan dari malfungsi irasionalitas yang pada awalnya berfungsi sebagai cara untuk bertahan hidup. Sebagai contoh cinta merupakan bentuk irasionalitas karena adanya perilaku rindu maupun cinta pada pandangan pertama, namun suatu irasionalitas tersebut bermanfaat bagi organisme yang melakukannya. Rindu terasa membara karena itulah produk evolusi jutaan tahun yang berfungsi sebagai reproduksi manusia agar segera bertemu dan menikah, sedangkan fenomena jatuh cinta pada pandangan pertama dimana organisme tersebut memang diharuskan untuk sesegera mungkin melakukan reproduksi agar keturunan berlanjut. Meskipun irasionalitas, cinta akan selalu ada dalam suka dan duka karena memiliki manfaat yang krusial bagi kelestarian spesies. Termasuk pada saat pasangan meninggal dan cinta tetap mempertahankan kita untuk tetap mendidik anak tanpa harus mencari pasangan lagi.
Sesuatu bisa dianggap irasionalitas karena hal tersebut tidak secara empirik hadir. Suatu irasionalitas cinta yang menjangkiti seseorang merupakan bagian dari alam dan sudah semestinya hal itu berlangsung selamanya. Lantas bagaimana dengan Tuhan? Kepercayaan ataupun cinta pada Tuhan berangkat dari malfungsi yang alami dari sebuah cinta pada seseorang. Katakanlah seseorang yang sedang mencintai maka akan timbul kerinduan atas sebab melihat fotonya maupun simbol-simbol dari individu yang dicintai. Hal tersebut akan umum dijumpai pada cinta terhadap Tuhan yang juga terwujud pada simbol-simbol Tuhan seperti ritus, rumah ibadah, dan kepercayaan terhadapnya secara mutlak dan absolut. Fenomena yang terjadi terhadap Tuhan maupun agama adalah malfungsi. Dan sama sekali tidak memberi manfaat terhadap organisme kecuali hanya pada idealismenya.
Kemudian apakah jika agama dan Tuhan hanyalah sebuah malfungsi maka kenapa kepercayaan kepada keduanya sangat umum terjadi dan tidak dapat dicegah? Apakah manusia memang dirancang oleh seleksi alam agar mempercayai agama dan Tuhan? Dan apakah evolusi jutaan tahun memberi perubahan di lobus otak tertentu sehingga psikologis seseorang cenderung tertarik kepada ide-ide keagamaan, atau merasa tenang ketika menyembah Tuhan? Semua jawaban adalah tidak. Daniel Dennet menjelaskan tentang tiga perspektif yang terjadi pada diri seseorang, yaitu sudut pandang fisis, rancangan, dan intensional. Kepercayaan kepada Tuhan memang cenderung terjadi karena sejak kecil manusia condong untuk menganut perspektif intensional.
Contoh dari ketiga perspektif tersebut bisa dilihat dari proses evolusi yang memang sangat mempengaruhi manusia dalam bertindak serta berpikir. Saat di sebuah hutan ada seekor singa, seseorang tidak akan berdiam diri lalu memperhitungkan fisiologi dari hewan tersebut berupa bentuk tubuhnya, dan tidak ada waktu juga untuk memperhatikan rancangan dari tubuh singa tersebut melalui taring, ekor, dan cakarnya, sehingga yang sangat memungkinkan bagi seorang manusia untuk bertahan hidup di alam adalah segera mengambil perspektif intensional yang berupa larilah karena itu singa, dan dia akan memangsamu. Seleksi alam telah membentuk pengalaman dan pola pikir manusia menjadi seperti itu, dan hal ini justru sangat mudah terjadi pada anak-anak.
Anak-anak bertahan hidup dengan mengandalkan kepercayaan dan kepatuhan kepada tetua suku, atau orang tua di keluarga karena dengan cara tersebut anak-anak bisa bertahan hidup. Entah di alam liar maupun di masa sekarang. Pikiran anak dirancang agar mematuhi apa yang dibicarakan oleh orangtua kepada mereka berupa larangan tertentu agar sikap ceroboh si anak tidak mencelakakan dirinya sendiri, alam mengetahuinya dan mewariskan kepatuhan tersebut dalam norma budaya maupun genetik sehingga kepatuhan dari seorang anak adalah hal yang wajar dan memang harus terjadi. Hal tersebut menjadikan anak memiliki kecenderungan menganut teleologi, yaitu menjadikan segala sesuatu memiliki tujuannya masing-masing.
Memang kecenderungan untuk mengenali Tuhan maupun agama sangat mudah terjadi, itu memang umum meski seberapa kental monisme intelektual pada diri seseorang. Seorang Biolog bernama Lewis Wolpert dalam buku Six Impossible Things Before Breakfast, pernah mengajukan suatu hipotesis yang dapat dipandang sebagai suatu generalisasi ide irasionalitas yang konstruktif. Maksudnya yaitu keyakinan irasionalitas yang kuat merupakan suatu pertahanan terhadap keplin-planan pikiran: “jika kepercayaan yang berpotensi menyelamatkan nyawa tidak dipegang teguh, maka alih-alih menguntungkan, hal tersebut justru merupakan suatu besar dalam hambatan evolusi. Misalnya orang akan terus berubah pikiran dalam berburu maupun saat membuat perkakas.” Implikasi dari hipotesis Wolpert adalah setidaknya dalam kondisi tertentu, lebih baik berpegang teguh pada suatu kepercayaan irasional daripada bimbang.
Selanjutnya dalam The Magic of Reality, Richard Dawkins menyeru tentang sains sebagai produk unggulan yang indah dan mengagumkan dibanding ajaran maupun produk lain seperti agama. Beliau menjelaskan ada tiga jenis sihir yaitu sihir supranatural, sihir panggung, dan sihir puitis. Sihir supranatural adalah jenis sihir yang bisa ditemukan dalam mitos maupun dongeng dimana di beberapa kisah dalam kitab suci, agama sebagai faktor pendukungnya. Yang kedua adalah sihir panggung yang umum dijumpai dalam kasus pesulap yang bisa menciptakan seekor kelinci hanya dari secarik kain sutra (seolah-olah seperti itu) dan hal tersebut hanyalah ilusi pandangan/mata. Kemudian yang terakhir adalah sihir puitis, yang diungkapkan sains karena hal tersebut adalah nyata dan terlepas dari kepercayaan yang taklid serta hegemonik hal tersebut sangatlah indah, mengagumkan, dan menggetarkan perasaan.
Daftar Pustaka
Dawkins, R. (2020). The God Delusion. Manado: Global Indo.
Dawkins, R. (2021). The Magic of Reality. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
0 Komentar