Oleh Sungu Lembu [] Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Semester IV; IAIN Tulungagung [] Staf Verstehen Organik Philosophy
Di Indonesia, banyak kasus yang menimpa perempuan dan menggunakan dalil agama sebagai pembenar perilaku ketidakadilannya. Belum luput dari ingatan kita, Aceng Fikri, Bupati Garut, yang menceraikan istrinya setelah 4 hari menikah secara siri. Timbul persepsi dalam sudut pandang Islam seakan hal tersebut diperbolehkan dalam Islam, sehingga perempuan memiliki nilai tawar yang rendah dalam hubungan pernikahan. Ini mengakibatkan mereka rentan terhadap upaya-upaya yang merugikan. Kita juga belum lupa pada kejadian yang menimpa istri mantan Mensesneg era Soeharto. Dia tidak mengakui anak yang dikandung mantan istrinya tersebut dan menelantarkannya. Karena pernikahan keduanya dilakukan secara siri sehingga tidak tercatat di negara. Pun, usaha melakukan tes DNA ditengarai tidak mendapatkan justifikasi hukum Islam karena dianggap tidak ada dalilnya.
Banyak tafsir mendiskreditkan perempuan, salah satunya yang paling terkenal adalah tujuan penciptaan perempuan. Seringkali timbul anggapan bahwa perempuan diciptakan hanya untuk melengkapi laki-laki. Memang benar Hawa diciptakan setelah Adam, tapi kalimat “untuk melengkapi” tidak ditemukan dalam Alqur’an.
Feminisme dalam Islam bukanlah pemberontak terhadap Islam, Alquran maupun Sunnah. Tapi, pemahaman ini berangkat dari kesadaran bahwa tidak mungkin Allah dan Nabi secara sengaja memposisikan perempuan sebagai manusia kelas dua. Dari kesadaran ini timbul upaya melakukan pembaruan pembacaan terhadap teks-teks keislaman supaya tidak ada lagi bias patriarki dalam tafsir dan pemahaman Islam.
Hal ini perlu ditekankan agar tidak muncul anggapan bahwa feminisme dalam Islam anti terhadap Alqur’an maupun Sunnah. Hanya saja, Feminisme melihat problem-problem yang dihadapi perempuan disebabkan oleh pembacaan nash yang bias laki-laki. Semisal ayat yang dijadikan argumentasi poligami, An-Nisa’ ayat 3; “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” . Karena laki-laki yang menafsirkan ayat ini, seakan-akan terdapat anjuran laki-laki untuk beristri 4 padahal bila kita mengerti bahasa ayat ini menunjukkan apabila laki-laki mampu berbuat adil maka dia boleh menikahi 2, 3, atau maksimal 4 perempuan, bahkan karena adil itu berat maka cukup satu saja. Tentu rasanya beda dengan tafsir yang menyatakan anjuran berpoligami, seakan-akan merupakan perintah Allah. Itu pun konteksnya bukan berlomba punya banyak istri, namun untuk menolong anak yatim.
Semangat dari ayat tersebut bisa jadi tidak sesuai dengan semangat pembacaan yang didominasi oleh kepentingan laki-laki. Apabila kita menggali konteks turunnya ayat tersebut pada zaman Nabi SAW, perempuan nasibnya sangatlah mengenaskan. Ketika turun ayat yang membatasi laki-laki hanya boleh menikahi 4 perempuan itu bukan upaya meminggirkan perempuan, malahan semangat ayat tersebut adalah mengangkat derajat perempuan. Karena sebelumnya perempuan dianggap setara dengan properti dan tidak memiliki hak waris. Laki-laki mengumpulkan perempuan sebanyak apapun yang dia inginkan dan bisa mewariskannya ke anaknya atau dijadikan harta rampasan perang.
Hal ini membuat orang Arab gelisah ketika memiliki anak perempuan, sehingga timbul budaya mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Bukan karena mereka orang barbar yang tidak memiliki belas kasihan, tapi karena orang tuanya merasa iba karena mereka hidup dalam suku kecil dan masih harus melindungi para perempuan, bahkan ketika sukunya kalah perang mereka akan dijadikan harta rampasan yang derajatnya setara dengan budak. Dengan logika seperti itu, mereka membenarkan praktik menguburkan bayi hidup-hidup ketimbang anak perempuannya menderita nantinya.
Maka ketika Nabi Muhammad datang dengan membawa ajaran Islam seperti membatasi jumlah perempuan yang boleh dikawini, hal ini merupakan upaya memanusiakan perempuan karena sebelumnya posisinya tidak setara dengan laki-laki, serupa properti. Sehingga, cara kita hari memahami ajaran Islam dalam Alqur’an dan Sunnah seharusnya menggunakan semangat memanusiakan perempuan. Itulah yang kemudian dijadikan sasaran kritik feminisme dalam Islam, salah satu tokohnya adalah Fatima Mernissi. Dia bersama tokoh feminis Islam lainnya berupaya melacak dasar-dasar Islam bagi kesetaraan gender.
Fatima Mernissi dikenal sebagai seorang feminis Islam awal. Sejak kecil dia terkungkung dalam budaya patriarki, hidup di lingkungan yang terkungkung hingga menjadi buku berjudul Hareem Within. Dia hidup dalam lokal khusus yang isinya perempuan karena dianggap dilarang agama, atau disebut Hareem. Muncul keresahan dalam dirinya, apakah Islam itu sesadis itu dalam Alqur’an? Apakah itu benar-benar ajaran Allah, Rasul atau hanya konstruk sosial masyarakat saja? Pertanyaan ini menjadi kegelisahan besar Fatima Mernissi. Dia banyak prihatin pada fenomena budaya orang Islam yang meminggirkan perempuan, dia tidak yakin Nabi Muhammad yang penyayang dan sangat lembut mampu “sesadis” itu terhadap perempuan. Dia beranggapan perlu membongkar dan melakukan kritik hadis yang dianggap bermasalah.
Feminisme bukanlah hal yang perlu untuk dimusuhi dalam tradisi intelektual Islam, malahan orang Islam perlu memakai kacamata feminisme untuk menemukan pemahaman yang benar-benar menjadi tujuan diturunkannya agama Islam di dunia yaitu rahmat di seluruh alam semesta. Tidak hanya rahmat bagi laki-laki saja.
0 Komentar