Oleh Venella Yayank Hera Anggia [] Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam Semester II; IAIN Tulungagung [] Staf Verstehen Organic Philosophy
Hemat saya, istilah mudik sudah ada sejak era Majapahit dan sering digunakan oleh kaum petani. Mereka yang berada diperantauan kembali ke tanah kelahiran untuk berkumpul dengan sanak saudara. Tidak hanya itu saja, kepulangan ini sebagai bentuk hormat seorang putra kepada orang tuanya; geren, nyekar, membersihkan makam leluhur dan keluarga. Mudik era ini tidak ada kaitannya dengan hari raya Idhul Fitri.
Istilah mudik diambil dari bahasa Jawa Ngoko, yaitu mulih dan dilik. Artinya pulang sebentar. Dalam jarwadhosok (otak atik) masyarakat Jawa kata dilik bertrasformasi menjadi udik, yang berarti tanah kelahiran. Sehingga kata mudik sampai sekarang identik dengan pulang ke tanah kelahiran.
Ada pendapat lain juga mengenai mudik ini, yaitu oleh Niels Mulder seorang antropolog kelahiran Belanda tahun 1935. Menurutnya, mudik adalah simbol dari aktivitas migrasi suatu masyarakat. Saya rasa ini benar sebab dapat dilihat bahwa para petani Jawa yang pulang ke kampung halamannya.
Istilah mudik mulai populer pada tahun 1970an. Saat itu, Jakarta; kota metropolitan sebagai sektor perekonomian besar. Hal Inilah yang menarik minat para perantau untuk datang ke Jakarta. Mereka mencengkram harapan bisa merubah nasib agar lebih beruntung dari pada ketika masih di desa.
Pada saat lebaran tiba, mereka selalu menyempatkan waktu untuk mengunjungi keluarga di kampung halaman. Mereka menganggap bahwa ketika lebaran haruslah berkumpul bersama sanak saudara. Ini menjadi alasan kenapa mudik dilakukan ketika lebaran.
Selain itu, media masa juga sering menayangkan berita mengenai mudik. Melihat hal ini, mudik menjadi ciri khas lebaran dikalangan masyarakat. Tanpa sadar mereka dijadikan mudik sebuah tradisi wajib. Inilah yang mempengaruhi bahwa mudik menjadi tradisi kebudayaan tersendiri di masyarakat Indonesia.
Jika dilihat pada masa Majapahit, tradisi mudik dilakukan oleh masyarakat menengah ke bawah. Tapi dalam perkembangan saat ini, calon pemudik lebih terlihat seperti masyarakat menengah ke atas.
Buktinya, banyak masyarakat mudik menggunakan transportasi seperti pesawat, bus, kereta api, dan lain sebagainya. Selain itu para petinggi negara, seperti pejabat setinggi menteri dan presiden pun ikut larut dalam tradisi ini.
Semakin ke sini, mudik menjadi sebuah kebutuhan primer tahunan para masyarakat urban. Walaupun mudik selalu berkaitan dengan hari raya umat Muslim, nyatanya mudik juga melibatkan seluruh masyarakat Indonesia. Tanpa terkecuali juga non-Muslim.
Menurut Giddens (Sholihah, 2018: 5), istilah mudik berhubungan dengan konsep rutinisasi. Rutin merupakan hal apapun yang dilakukan berdasarkan kebiasaan. Ini merupakan elemen dasar yang penting dalam kehidupan bersosial sehari-hari.
Rutinisasi ini menjadi candu yang kemudian dilanggengkan dalam aktivitas kehidupan bersosial. Jadi, mudik menjadi tradisi di masyarakat Indonesia karena sudah menjadi rutinitas yang dilakukan setiap lebaran.
Menurut Giddens mudik juga dijadikan sebagai ajang untuk menunjukkan kesuksesan diri. Mereka akan menunjukkan diri melalui berbagai tingkah laku dan dari segi penampilan. Dari penampilan, mereka akan membanggakan busana-busana yang sedang trendi di kota metropolis.
Selain itu, mereka akan menceritakan bagaimana hidup mereka selama di perantauan dalam meraih kesuksesan tersebut. Mulai dari pahit, manis, asin kehidupan dan semua rasa dari pengalaman yang mereka dapatkan di kota.
Terlepas dari itu semua, tanpa disadari mudik juga menjadi pengenalan produk modern dari kota kepada masyarakat desa. Para perantau kota ketika mudik pasti membawa produk-produk yang menurut mereka perlu dikenalkan kepada saudara di kampung halaman.
Produk tersebut dapat berupa makanan cepat saji atapun produk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini akan membuat wawasan saudara di kampung halamannya mengenai modernisasi menjadi bertambah. Secara tidak langsung, para perantau ini menjadi duta kota.
Hal tersebut membuat para pengusaha juga mendapatkan keuntungan. Sebab dengan adanya pengenalan produk ini, dapat meningkatkan kebutuhan konsumtif masyarakat. Dengan begitu, ini akan meningkatkan laba dan omset pengusaha.
Tidak hanya pengenalan produk, para pembisnis juga memanfaatkan mudik sebagai pendekatan. Hal ini untuk meningkatkan hubungan pengusaha dengan pelanggannya, yaitu para perantau. Pengusaha akan memberikan mudik gratis bagi para perantau yang berguna untuk promosi dan meningkatkan image perusahaannya.
Selain para pembisnis, mudik juga menguntungkan bagi negara. Sebab dengan banyaknya perantau yang mudik, transportasi umum menjadi ramai. Bahkan kenaikan penggunaan kendaraan umum dapat meningkat drastis.
Lucunya, para perantau tidak jarang harus rela berdesak-desakan demi mendapatkan tiket (misal pesawat, kereta api, dll) demi bisa mudik. Ini membuktikan bahwa tradisi mudik memanglah sangat berarti bagi mereka.
Mudik juga sering menimbulkan kemacetan hinga perkiraan kecelakaan tinggi di kota-kota. Anehnya, persoalan-persoalan ini tidak membuat semangat mudik perantau menjadi luntur. Mereka menerima kemungkinan resiko yang terjadi demi dapat bertemu dengan keluarga di kampung halaman.
0 Komentar