Dr. Sir Allamah Muhammad
Iqbal, Ph.D atau lebih dikenal dengan Sir Muhammad Iqbal merupakan filsuf
muslim yang berasal dari Punjab, India. Beliau lahir di daerah Sialkot, Punjab,
India pada 9 November 1877 dan wafat di Lahore, Pakistan pada 21 April 1938.
Semasa hidup Iqbal diwarnai dengan pendidikan dan pengalaman religius yang
intens sehingga Iqbal pada masa dewasa mampu menguasai keahlian dalam beberapa
bidang seperti politik, sastra, keagamaan, bahasa, dan filsafat tentunya. Pada
zaman itu Iqbal hidup diantara trend aliran-aliran filsafat yang dalam
pandangannya terlalu ekstrem tentang manusia sebagai pusat dari segala
persoalan. Bisa kita lihat di zaman itu materialisme, positivisme,
eksistensialisme, dan madzhab psikoanalisis menjadi pembahasan utama sejarah
umat manusia bagian barat.
Theosentris sudah usai,
kemudian lahirlah antroposentris sebagai sajian perdebatan utama. Ilmu
pengetahuan terpapar luas dan jelas telah mengilhami pikiran manusia. Yang dulunya memandang realitas alam semesta ini adalah Kuasa Tuhan, dan seluruh substansi ini bersumber langsung dengan Tuhan, dan ada suatu yang absolut tiada lain adalah ke-Maha-an Tuhan. Manusia pada fase antroposentris memilih untuk tidak memberi ruang terhadap Tuhan dan agama, mereka cenderung rasional dan empiris. Tidak
berakhir sampai disitu, manusia mencari lagi tentang apa penyebab pengetahuan itu ada, yakni manusia itu sendirilah
penyebabnya. Lalu disusul polemik tentang kesadaran siapakah manusia itu sebenarnya dan
bagaimana manusia memandang suatu realitas, serta bagaimana manusia mampu
menghadapinya di waktu mendatang adalah sejumlah persoalan mendasar pada era itu.
Fokus pembahasan
pada era tersebut adalah manusia. Secara langsung koherensi sesuatu yang
paling melekat pada persoalan manusia selain pengetahuan adalah konsep agama. Iqbal
hadir di dalam era dimana pemikiran-pemikiran Tuhan dan agama tak lagi penting
bagi keberlangsungan hidup manusia. Sebagaimana pemikiran Feuerbach tentang
Tuhan hanya proyeksi manusia disaat dia lemah. Kemudian tradisi-tradisi positivistik
ala Comte yang menolak sesuatu yang tidak faktual, secara tidak langsung
penafian terhadap konsep metafisika dan supranatural. Lalu Marx yang datang
dengan membawa wacana agama itu candu bagi masyarakat, karena ketidakmampuan
manusia dalam melawan keterasingan dan pada akhirnya dibuat overdosis oleh
agama. Narasi ‘Kematian Tuhan’ yang dilakukan oleh Nietzsche. Hal-hal tersebut merupakan tragedi
penting yang didapati oleh Iqbal sebagai pemikiran-pemikiran dekonstruktif
mengenai konsep Tuhan dan agama.
Hal itulah yang memancing
gairah Iqbal untuk menangkal model pemikiran ateistik itu dengan kritikan,
melalui karya tulisnya yang bertajuk “The Reconstruction of Religious
Thought In Islam” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Rekonstruksi
Pemikiran Religius Dalam Islam”. Walaupun lebih khususnya buku tersebut terbit
untuk mengangkat tema-tema yang menjadi persoalan dalam agama Islam, namun
Iqbal mencoba membangun ulang pemikiran religius tentang bagaimana agama secara umum seperti yang seharusnya. Karena bagi Iqbal agama akan selalu relevan sesuai
perkembangan peradaban umat manusia.
Muhammad Iqbal memandang Agama sebagai sebuah institusi
yang menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, lebih-lebihnya menempatkan
kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia. Kemuliaan yang tidak dimiliki
oleh makhluk lain, yakni berpikir menggunakan nalar logis. Agama juga merupakan
konsep matang tentang standar moralitas masyarakat yang berisi tentang etika,
norma, hukum, dan konsep baik-buruk. Selain itu, agama juga memuat gambaran
umum dan khusus mengenai perkembangan kehidupan manusia dari awal mula alam
semesta tercipta hingga kehidupan setelah kematian. Hal tersebut menjadikan
agama sebagai sesuatu yang vital dalam perkembangan peradaban manusia.
Walaupun demikian, bukan
berarti agama menjadi bebas kritik oleh manusia dan tidak memiliki persoalan-persoalan
yang memicu keabsahan suatu agama. Dalam perkembangannya setidaknya ada
beberapa dikotomi dalam memandang agama sebagai realitas yang koheren dalam
kehidupan manusia. Yang pertama, pastinya datang dari umat beragama yang
menjadikan agama mereka sebagai suatu jawaban final dalam memandang realitas
hidupnya. Bagi mereka agama adalah konsep aktual tentang kebenaran dan manusia
wajib memiliki kebenaran itu. Hingga pada akhirnya mereka terjerat tendensi
kebutaan terhadap doktrin-doktrin dogmatis yang berlebihan, yang pada hasilnya
tidak bisa berpikir kreatif dan cenderung konservatif. Pendapat kedua, menolak
peran agama. Sejumlah filsuf seperti Feuerbach, Marx dan Nietzsche, merupakan representasi dari
kelompok kedua ini. Aktualisasi diri tidak akan maksimal apabila agama
dijadikan acuan. Agama itu hanya merupakan suatu bentuk alienasi manusia dari
dirinya sendiri. Agama akhirnya hanya sebagai pelarian manusia dari masalah
sosial ekonomi yang tidak dapat diselesaikan. Manusia harus meninggalkan agama
dan kembali kepada dirinya sendiri apabila ingin menjadi manusia yang sempurna.
Manusia unggul hanya mungkin terwujud dengan ketiadaan Tuhan dan campur tangan
agama.
Kedua pemahaman tentang
konsep agama di atas kurang representatif dan tidak proporsional apabila
diletakkan dalam konteks pembangunan manusia seutuhnya. Kedua pandangan itu
membatasi atau bahkan menghalangi upaya aktualisasi potensi manusia secara
optimal. Pemahaman tentang agama yang representatif dan lebih manusiawi sangat
penting bagi upaya aktualisasi diri manusia untuk menjadi manusia yang ideal.
Dalam hal ini, Muhammad Iqbal merepresentasikan fenomena tersebut untuk dikaji
lebih dalam. Iqbal hadir dan mengejawantahkan keterasingan manusia dalam
menghadapi realitas. Dalam hal ini Iqbal berupaya merekonstruksi pemikiran
religius serta meluruskan kembali pemahaman-pemahaman yang keliru jalur, dalam
rangka aktualisasi potensi diri.
Dalam pandangan Iqbal,
agama tidak didefinisikan berangkat dari struktur eksistensial saja. Maksudnya
agama tidak diukur melalui kajian keber-ada-an sebagai suatu realitas objektif.
Lebih dari itu agama didefinisikan sebagai struktur intelektual dan struktur
etika yang mana agama ada sebagai ajaran-ajaran yang harus diterapkan dalam
kehidupan manusia. Bagi Iqbal, agama tidak hanya ditinjau dari konsep normatif
yang mana memberikan penjelasan norma-norma sebagai suatu kebenaran. Namun,
agama lebih tinggi daripada itu memiliki konsep intelektual fungsional yang
berarti dalam mengaktualisasikan potensi diri melalui ajaran agama, dan manusia
berperan dalam menemukan dan memaparkan
pengetahuan untuk direalisasikan menjadi suatu amal perbuatan.
Kritikan Iqbal terhadap
tuduhan bahwa agama merupakan kesalahan neurotis atau gangguan kesadaran
yang dikemukakan oleh paham psikoanalisa, kesalahpahaman mereka menganggap
agama tidak dapat menghubungkan kesadaran ego dalam melihat realitas objektif
di luar ambang sadar manusia, agama hanya sebagai pelindung etis struktur
masyarakat. Agama bagi Iqbal, bertujuan untuk membangun ego yang fana dengan
membuatnya berinteraksi dengan proses kehidupan yang abadi dan dipahami menjadi
suatu konsep metafisika. Agama tidak tepat bila disebut sebagai pelarian dari
keterasingan manusia ketika menghadap sesuatu yang tidak menyenangkan dan menciptakan
khayalan semata-mata mengobati luka hati manusia. Agama bukanlah respon dari
fantasi otak. Ia merupakan reaksi dari suasana baru yang mengekstraksi seluruh
potensi manusia, baik itu berwujud antusiasme, eksistensial, spiritual, hingga
peradaban baru.
Iqbal berpendapat dunia
pada saat ini membutuhkan pembaharuan. Dunia yang tidak terlalu positivistik
sekuler seperti di dunia Barat, dan tidak terlalu mistis konservatif seperti di
dunia Timur. Adalah agama merupakan alternatif satu-satunya yang dapat mempersiapkan
manusia menanggung beban berat itu, karena mayoritas manusia pastinya beragama
namun tidak begitu intens terhadap ajaran agamanya. Membangun pribadi yang
teguh, menaruh perhatian penuh di atas fondasi iman yang kuat, kesadaran
intelektual, dan pengakuan potensi diri merupakan prasyarat untuk menjawab
tantangan pembaharuan itu. Agama merupakan upaya yang penuh pertimbangan matang
dalam menetapkan prinsip terakhir dari nilai, karenanya agama mampu
mengintegrasikan kekuatan-kekuatan tersebut dalam diri seseorang. Agama, adalah ekspresi seluruh kemampuan
kemanusiaan dalam mengaktualisasikan potensi diri.
Agama dalam
manifestasinya yang lebih lanjut bukanlah tentang dogma, bukan pula tentang
pangkat hierarki keilmuan, dan bukan pula sebatas ritual tanpa esensi. Agama
secara etis tidak lain adalah spirit yang mampu membangun dan menyiapkan
manusia memikul tanggung jawab besar yang menyangkut kemajuan ilmu pengetahuan dan
dapat menjadi titik kembali kepada sikap keimanan, kemudian mampu menciptakan
suatu kepribadian dalam kehidupan saat ini dan selanjutnya.
0 Komentar