Penulis :

Iqbal Athoillah

Mahasiswa AFI Angkatan 2019

 

Dr. Sir Allamah Muhammad Iqbal, Ph.D atau lebih dikenal dengan Sir Muhammad Iqbal merupakan filsuf muslim yang berasal dari Punjab, India. Beliau lahir di daerah Sialkot, Punjab, India pada 9 November 1877 dan wafat di Lahore, Pakistan pada 21 April 1938. Semasa hidup Iqbal diwarnai dengan pendidikan dan pengalaman religius yang intens sehingga Iqbal pada masa dewasa mampu menguasai keahlian dalam beberapa bidang seperti politik, sastra, keagamaan, bahasa, dan filsafat tentunya. Pada zaman itu Iqbal hidup diantara trend aliran-aliran filsafat yang dalam pandangannya terlalu ekstrem tentang manusia sebagai pusat dari segala persoalan. Bisa kita lihat di zaman itu materialisme, positivisme, eksistensialisme, dan madzhab psikoanalisis menjadi pembahasan utama sejarah umat manusia bagian barat.

Theosentris sudah usai, kemudian lahirlah antroposentris sebagai sajian perdebatan utama. Ilmu pengetahuan terpapar luas dan jelas telah mengilhami pikiran manusia. Yang dulunya memandang realitas alam semesta ini adalah Kuasa Tuhan, dan seluruh substansi ini bersumber langsung dengan Tuhan, dan ada suatu yang absolut tiada lain adalah ke-Maha-an Tuhan. Manusia pada fase antroposentris memilih untuk tidak memberi ruang terhadap Tuhan dan agama, mereka cenderung rasional dan empiris. Tidak berakhir sampai disitu, manusia mencari lagi tentang apa penyebab  pengetahuan itu ada, yakni manusia itu sendirilah penyebabnya. Lalu disusul polemik tentang kesadaran siapakah manusia itu sebenarnya dan bagaimana manusia memandang suatu realitas, serta bagaimana manusia mampu menghadapinya di waktu mendatang adalah sejumlah persoalan mendasar pada era itu.

Fokus pembahasan pada era tersebut adalah manusia. Secara langsung koherensi sesuatu yang paling melekat pada persoalan manusia selain pengetahuan adalah konsep agama. Iqbal hadir di dalam era dimana pemikiran-pemikiran Tuhan dan agama tak lagi penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Sebagaimana pemikiran Feuerbach tentang Tuhan hanya proyeksi manusia disaat dia lemah. Kemudian tradisi-tradisi positivistik ala Comte yang menolak sesuatu yang tidak faktual, secara tidak langsung penafian terhadap konsep metafisika dan supranatural. Lalu Marx yang datang dengan membawa wacana agama itu candu bagi masyarakat, karena ketidakmampuan manusia dalam melawan keterasingan dan pada akhirnya dibuat overdosis oleh agama. Narasi ‘Kematian Tuhan’ yang dilakukan oleh Nietzsche. Hal-hal tersebut merupakan tragedi penting yang didapati oleh Iqbal sebagai pemikiran-pemikiran dekonstruktif mengenai konsep Tuhan dan agama.

Hal itulah yang memancing gairah Iqbal untuk menangkal model pemikiran ateistik itu dengan kritikan, melalui karya tulisnya yang bertajuk “The Reconstruction of Religious Thought In Islam” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Rekonstruksi Pemikiran Religius Dalam Islam”. Walaupun lebih khususnya buku tersebut terbit untuk mengangkat tema-tema yang menjadi persoalan dalam agama Islam, namun Iqbal mencoba membangun ulang pemikiran religius tentang bagaimana agama secara umum seperti yang seharusnya. Karena bagi Iqbal agama akan selalu relevan sesuai perkembangan peradaban umat manusia.

          Muhammad Iqbal memandang Agama sebagai sebuah institusi yang menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, lebih-lebihnya menempatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia. Kemuliaan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, yakni berpikir menggunakan nalar logis. Agama juga merupakan konsep matang tentang standar moralitas masyarakat yang berisi tentang etika, norma, hukum, dan konsep baik-buruk. Selain itu, agama juga memuat gambaran umum dan khusus mengenai perkembangan kehidupan manusia dari awal mula alam semesta tercipta hingga kehidupan setelah kematian. Hal tersebut menjadikan agama sebagai sesuatu yang vital dalam perkembangan peradaban manusia.

Walaupun demikian, bukan berarti agama menjadi bebas kritik oleh manusia dan tidak memiliki persoalan-persoalan yang memicu keabsahan suatu agama. Dalam perkembangannya setidaknya ada beberapa dikotomi dalam memandang agama sebagai realitas yang koheren dalam kehidupan manusia. Yang pertama, pastinya datang dari umat beragama yang menjadikan agama mereka sebagai suatu jawaban final dalam memandang realitas hidupnya. Bagi mereka agama adalah konsep aktual tentang kebenaran dan manusia wajib memiliki kebenaran itu. Hingga pada akhirnya mereka terjerat tendensi kebutaan terhadap doktrin-doktrin dogmatis yang berlebihan, yang pada hasilnya tidak bisa berpikir kreatif dan cenderung konservatif. Pendapat kedua, menolak peran agama. Sejumlah filsuf seperti Feuerbach, Marx  dan Nietzsche, merupakan representasi dari kelompok kedua ini. Aktualisasi diri tidak akan maksimal apabila agama dijadikan acuan. Agama itu hanya merupakan suatu bentuk alienasi manusia dari dirinya sendiri. Agama akhirnya hanya sebagai pelarian manusia dari masalah sosial ekonomi yang tidak dapat diselesaikan. Manusia harus meninggalkan agama dan kembali kepada dirinya sendiri apabila ingin menjadi manusia yang sempurna. Manusia unggul hanya mungkin terwujud dengan ketiadaan Tuhan dan campur tangan agama.

Kedua pemahaman tentang konsep agama di atas kurang representatif dan tidak proporsional apabila diletakkan dalam konteks pembangunan manusia seutuhnya. Kedua pandangan itu membatasi atau bahkan menghalangi upaya aktualisasi potensi manusia secara optimal. Pemahaman tentang agama yang representatif dan lebih manusiawi sangat penting bagi upaya aktualisasi diri manusia untuk menjadi manusia yang ideal. Dalam hal ini, Muhammad Iqbal merepresentasikan fenomena tersebut untuk dikaji lebih dalam. Iqbal hadir dan mengejawantahkan keterasingan manusia dalam menghadapi realitas. Dalam hal ini Iqbal berupaya merekonstruksi pemikiran religius serta meluruskan kembali pemahaman-pemahaman yang keliru jalur, dalam rangka aktualisasi potensi diri.

Dalam pandangan Iqbal, agama tidak didefinisikan berangkat dari struktur eksistensial saja. Maksudnya agama tidak diukur melalui kajian keber-ada-an sebagai suatu realitas objektif. Lebih dari itu agama didefinisikan sebagai struktur intelektual dan struktur etika yang mana agama ada sebagai ajaran-ajaran yang harus diterapkan dalam kehidupan manusia. Bagi Iqbal, agama tidak hanya ditinjau dari konsep normatif yang mana memberikan penjelasan norma-norma sebagai suatu kebenaran. Namun, agama lebih tinggi daripada itu memiliki konsep intelektual fungsional yang berarti dalam mengaktualisasikan potensi diri melalui ajaran agama, dan manusia berperan dalam menemukan dan memaparkan  pengetahuan untuk direalisasikan menjadi suatu amal perbuatan.

Kritikan Iqbal terhadap tuduhan bahwa agama merupakan kesalahan neurotis atau gangguan kesadaran yang dikemukakan oleh paham psikoanalisa, kesalahpahaman mereka menganggap agama tidak dapat menghubungkan kesadaran ego dalam melihat realitas objektif di luar ambang sadar manusia, agama hanya sebagai pelindung etis struktur masyarakat. Agama bagi Iqbal, bertujuan untuk membangun ego yang fana dengan membuatnya berinteraksi dengan proses kehidupan yang abadi dan dipahami menjadi suatu konsep metafisika. Agama tidak tepat bila disebut sebagai pelarian dari keterasingan manusia ketika menghadap sesuatu yang tidak menyenangkan dan menciptakan khayalan semata-mata mengobati luka hati manusia. Agama bukanlah respon dari fantasi otak. Ia merupakan reaksi dari suasana baru yang mengekstraksi seluruh potensi manusia, baik itu berwujud antusiasme, eksistensial, spiritual, hingga peradaban baru.

Iqbal berpendapat dunia pada saat ini membutuhkan pembaharuan. Dunia yang tidak terlalu positivistik sekuler seperti di dunia Barat, dan tidak terlalu mistis konservatif seperti di dunia Timur. Adalah agama merupakan alternatif satu-satunya yang dapat mempersiapkan manusia menanggung beban berat itu, karena mayoritas manusia pastinya beragama namun tidak begitu intens terhadap ajaran agamanya. Membangun pribadi yang teguh, menaruh perhatian penuh di atas fondasi iman yang kuat, kesadaran intelektual, dan pengakuan potensi diri merupakan prasyarat untuk menjawab tantangan pembaharuan itu. Agama merupakan upaya yang penuh pertimbangan matang dalam menetapkan prinsip terakhir dari nilai, karenanya agama mampu mengintegrasikan kekuatan-kekuatan tersebut dalam diri seseorang.  Agama, adalah ekspresi seluruh kemampuan kemanusiaan dalam mengaktualisasikan potensi diri.

Agama dalam manifestasinya yang lebih lanjut bukanlah tentang dogma, bukan pula tentang pangkat hierarki keilmuan, dan bukan pula sebatas ritual tanpa esensi. Agama secara etis tidak lain adalah spirit yang mampu membangun dan menyiapkan manusia memikul tanggung jawab besar yang menyangkut kemajuan ilmu pengetahuan dan dapat menjadi titik kembali kepada sikap keimanan, kemudian mampu menciptakan suatu kepribadian dalam kehidupan saat ini dan selanjutnya.

 

 

 

Daftar Pustaka :
1.      Iqbal, Muhammad, Rekonstruksi Pemikiran Religius Dalam Islam. Bandung, Mizan Pustaka, 2016. 
2.  Budi Hardiman, Fransisco, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004.
3.      Anshori Lidinillah, Mustofa, Agama dan Aktualisasi Diri dalam Pandangan Filsafat Muhammad Iqbal. Jakarta, Jurnal Filsafat Vol. 31 Halaman 244-255, 2000.
4.     Ahmad, Maghfur, Agama dan Psikoanalisa Sigmund Freud. Pekalongan, RELIGIA Vol. 14 No. 2 Halaman 277-296, 2011.