Dalam Islam filantropi telah ada pada awal perkembangannya pada awal abad ke-15 sebagai salah satu bentuk ajaran agama Islam. Salah satu bentuk filantropi dalam agama Islam adalah perintah untuk saling tolong menolong sesama manusia yang sedang kesusahan. Tolong menolong disini bisa berupa bantuan materi, tenaga, maupun pikiran. Apa yang telah melandasi moralitas agama Islam telah termaktub dalam kitab suci agama Islam yakni Al Quran. Sumber lain yang menjelaskan filantropi dalam Islam juga tercatat dalam Hadits sebagai sumber hukum kedua agama Islam setelah Al Quran. Hal ini dirasa cukup meyakinkan bahwa agama Islam tidak asing dengan istilah filantropi dan pun alih-alih mendukung penuh tindakan yang semacam ini.
Bulan Ramadhan merupakan salah satu bulan yang mulia dalam agama Islam. Di dalam bulan ramadahan terdapat banyak kemuliaan diantaranya setiap kebaikan yang dilakukan akan dilipat gandakan pahalanya. Klaim tersebut disusul dengan beragam fenomena yang terjadi di bulan ramadhan seperti maraknya kebaikan yang tersebar melalui apa yang menjadi kultur kita di bulan ramadhan. Seperti contohnya berbagi takjil di sepanjang jalan-jalan yang kita lalui merupakan perwujudan dari kedermawaan itu sendiri. Bukan hanya itu, pada konsep megengan yang diberlaukan oleh masyarakat Jawa khususnya memiliki suatu makna tersirat daripada sebatas ritus yang dilakukan. Pengibadatan yang dilakukan umat muslim dalam bulan ramadhan maupun sebelum ramadhan dimulai memiliki struktur konsep didalamnya. Dalam setiap konsep-konsep perilaku beberapa ritus yang terdapati suatu kesamaan di landasan teorinya, yakni menghimpun amar ma’ruf nahi munkar.
Adalah benar jika mempraktikkan moralitas peri kemanusiaan merupakan hal yang profan. Akan tetapi ketika saat ada unsur dalil agama yang hadir dalam kegiatan itu maka tidak memungkinkan hal tersebut menjadi sebuah hal yang sakral. Sebagai contoh memberi makan orang lain adalah hal yang biasa kalau dilihat dari segi kebermanfaatan. Kemudian kita tarik pada fenomena filantropi di bulan ramadhan, maka yang terjadi adalah perintah mendermakan harta kepada yang membutuhkan dengan dalih mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Inilah yang dinamakan transisi dari yang profan ke yang sakral.
Kembali lagi ke kultur filantropi ramadhan, Pada bulan Ramadhan seperti sekarang ini, antusiasme masyarakat muslim Indonesia dalam berderma meningkat. Ada rutinitas yang tidak dilakukan di luar bulan suci ini. Sebut saja, misalnya, tradisi berkirim dan menerima bingkisan berupa paket yang dilakukan oleh sanak, famili, dan kerabat. Karena tradisi ini pula, anggaran kebutuhan rumah tangga membengkak, harga sembako dan barang-barang di pasar naik.
Berkirim bingkisan dengan sesama sebenarnya bukan hal baru bagi masyarakat kita. Ia sudah menjadi semacam tradisi, tidak saja pada hari-hari di bulan suci Ramadhan. Tetapi, di bulan Ramadhan biasanya animo masyarakat untuk berbagi kebahagiaan dengan membagikan kelebihan rezeki kepada orang lain menjadi meningkat, bahkan sampai agak dipaksakan.
Lihat saja, hampir setiap hari di bulan Ramadhan kita bisa menjumpai acara buka bersama (bukber) sampai santap sahur bersama. Belum lagi pembagian sembako, zakat fitrah, dan seperangkat busana muslim-muslimah. Kegiatan ini tidak hanya dilakukan individu yang merasa mampu, tetapi juga dilaksanakan lembaga dan perusahan, seperti perkantoran, institusi pendidikan,sampai kementerian negara. Dengan demikian, aktivitas filantropi masyarakat muslim di Indonesia pada hari-hari di bulan Ramadhan meningkat tajam. Meningkatnya jumlah masyarakat filantropis di bulan Ramadhan dipicu oleh keyakinan umat Islam, bahwa bersedekah di bulan Ramdhan akan memperoleh balasan pahala yang berlipat ganda bila dibandingkan dengan hari biasa di luar Ramadhan. Karena itu, mereka enggan melewatkan kesempatan yang datangnya setahun sekali ini. Diperkirakan ada dana miliaran rupiah yang berputar di tengah masyarakat kita sejak menjelang puasa hingga hari raya tiba. Pertanyaannya, adakah dampak bagi berkurangnya angka kaum berkurang-mampu di Indonesia?
Menurut hemat saya, fenomena ini layak menjadi renungan bersama. Bangsa kita memiliki event tahunan yang bisa menghasilkan sumber dana miliaran bahkan mungkin triliunan rupiah.Tetapi hal ini tidak berpengaruh bagi lahirnya civil society (masyarakat mandiri-beradab) dan turunnya angka kemiskinan. Hal ini karena sebagian besardana yang disumbangkan masyarakat dipahami secara konsumtif dan diorientasikan berjangka pendek. Apabila sumber dana ini bisa dikelola dengan baik, tidak mustahil manfaat yang lebih besar dirasakan bangsa ini. Caranya dengan mengarahkan dana yang disumbangkan masyarakat pada hal-hal yang produktif dan berorientasi untuk melahirkan masyarakat berdaya. Zakat fitrah, misalnya, sudah saatnya dikelola dengan manajemen modern, sehingga efeknya lebih besar untuk pembangunan masyarakat di Indonesia. Seluruh dana yang diperolehdari aset zakat harus dikelola dan disalurkan dengan baik, sehingga tidak habis begitu saja. Pemberian kredit modal kerja bagi para pedagang kaki lima, misalnya, dapat dijadikan contoh terbaik bagi penggunaan dana filantropi ini. Semua itu dilakukan demi menciptakan lapangan pekerjaan baru sehingga ke depan angka pengangguran dapat ditekan dan akhirnya mampu mengurangi angka kemiskinan.
Sudah saatnya, berderma di bulan Ramadhan jangan dipahamai sekadar beramal atas dasar ibadah. Niat beribadah itu memang harus, tetapi yang juga tidak kalah penting adalah motivasi untuk berfilantropi demi membangun bangsa. Apabila hal ini terjadi, maka kekuatan filantropi secara individual akan mudah di satukan dan dikelola menjadi kekuatan besar untuk mewujudkan mimpi menghadirkan masyarakat yang mandiri dan berdaulat. Sejauh ini, tradisi kesadaran berderma kaum muslim Indonesia masih didominasi motivasi spiritual. Sementara kesadaran memberikan hak kaum miskin masih terbatas pada penunaian kewajiban agama, belum menyentuh kesadaran atas kewajiban sosial untuk melahirkan keadilan sosial. Kesadaran ritualistik ini menjadi dasar bagi pola berderma antar pribadi dan berbasis charity (rasa iba).
Akibatnya, sumber dana filantropi yang ada tidak dapat dimaksimalkan untuk mendukung lahirnya civil society, meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang secara sosial ekonomi kurang beruntung. Atas dasar ini, ada kebutuhan mendesak untuk mengubah ajaran kuno filantropi Islam yang menekankan rasa iba kepada filantropi Islam yang lebih konstruktif, berdasarkan pemenuhan hak kaum miskin. Ini bukan berarti menafikan motif ibadah dan spiritual, karena ia menjadi legitimasi dan memberikan konteks keagamaan yang khas bagi kegiatan filantropi Islam. Apabila pemahaman terhadap makna bulanRamadhan sebagaimana di atas berhasil ditransformasikan kepada masyarakat muslim, maka image bulan puasa yang tadinya identik dengan naiknya anggaran biaya rumah tangga akan berubah menjadi bulan kepekaan dan kedermawanan. Ini sekaligus akan mengembalikan esensi bulan Ramadhan sebagai bulan filantropinya umat Islam.
0 Komentar