Senin, 20 Maret 2023—Himpunan Mahasiswa Program Studi (HM-PS) Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah (UIN SATU) sukses menggelar acara diskusi momentual dengan tema “Ekofeminisme: Peran Perempuan dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kelestarian Lingkungan Hidup”. Diskusi ini diadakan dalam rangka memperingati Internasional Women’s Day dan Internasional Forest Day.

Pelaksanaan perdiskusian berlokasi pada salah satu tempat yang ada di kampus UIN SATU Tulungagung, yakni Di-bawah Pohon Rindang (DPR) yang terletak di belakang gedung rektorat. Respon dari beberapa mahasiswa yang berpartisipasi dalam acara diskusi, lokasi tersebut cukup nyaman untuk dijadikan tempat bertukar pikiran. Untuk suasananya enak dan sejuk, jadi tidak melulu diskusi di warung, kelas, dan teras, ungkap Cut Hillary mahasiswa Tasawuf Psikoterapi.

Kegiatan diskusi dimulai dari jam 15.00 hingga 18.00 WIB yang berlangsung cukup kondusif. Untuk diskusi kali ini, HM-PS AFI menghadirkan dua pemantik, Dian Meiningtias yang merupakan salah satu penulis dari Nggalek.co dan Rizka Hidayatul Umami (koordinator GUSDURIAN Bonorowo). Acara diawali dengan pembukaan dari moderator, Ainun Komarullah. Kemudian dilanjutkan dengan materi yang dibawakan oleh Umami yang memaparkan mengenai gerakan ekofeminisme.

Umami memaparkan bahwa semangat gerakan ekofeminisme berakar dari sebuah keprihatinan para tokoh feminisme terhadap lingkungan hidup yang kian hari semakin kacau. Manusia dalam hal ini merasa dirinya superior, artinya mereka melakukan upaya eksploitasi secara berlebihan. Ia juga menyinggung salah satu tokoh ekofeminisme yang berasal dari India yaitu Vandana Shiva. “Di India perempuan tidak bisa lepas dengan alam, perempuan yang pertama kali merasakan dampak dari eksploitasi alam besar-besaran, dikarenakan perempuan lebih dominan mengurus bagian domestik”, ucap Umami dalam diskusi.

Dalam penjelasannya, Umami juga membahas tentang gerakan Chipko yang muncul di India. Semangat gerakan ini muncul pada tahun 1970-an dalam upaya menanggapi eksploitasi lingkungan yang ada di India. Istilah Chipko dalam pengertian etimologi berarti “memeluk” atau “melekatkan”. Sehubungan dengan hal itu, istilah tersebut mendeskripsikan bagaimana orientasi dari gerakan Chipko yang menjawab  upaya untuk melindungi serta merangkul kekayaan alam dari adanya penebangan liar dan eksploitasi berlebihan di wilayah Uttar Pradesh, India.

Pada masa kini, gerakan Chipko bergerak dengan upaya melakukan perlawanan terhadap kesewenangan para elit politik India maupun kaum kolonial Inggris yang menetap di sana demi merampas sumber daya masyarakat lokal. Sekali lagi, Umami juga menegaskan bahwa eksploitasi yang dilakukan oleh kapitalis merupakan sebuah produk patriarki. Ia juga menambahkan bahwa ekofeminisme merupakan sebuah jalan untuk menyelamatkan alam dari eksploitasi yang dilakukan melalui upaya memeluk pohon. Sebab, memang benar bahwasanya perempuan dan alam saling berkesinambungan satu sama lain.

Kesinambungan antara perempuan dan alam terletak pada penempatan keduanya sebagai objek dalam realitas. Alam (serta perempuan) dalam tatanan masyarakat itu masih dinilai sebagai objek. Jadi, ora kok menghargai alam itu sebagai entitas yang punya nyawa” (jadi, alam tidak dihargai sebagai entitas yang memiliki nyawa), tambah Umami.

Materi dilanjutkan oleh Dian dengan memaparkan mengenai peran perempuan yang dibentuk oleh sosial kultural. Peran perempuan yang seringkali dimarjinalkan sebatas pada ranah domestik meliputi kasur, sumur, dan dapur. Persoalan tersebut acap kali timpang jika dijajarkan pada kebutuhan mendasar manusia. Erat kaitannya dengan hal tersebut, terdapat hal yang lebih penting menyoal kehidupan manusia yakni bagaimana manusia tidak bisa memisahkan dirinya dengan air sebagai simbol kehidupan. Hal ini kemudian menimbulkan beberapa pertanyaan mendasar mengenai air sebagai komoditas terpenting dalam kehidupan.

Dian menambahkan dalam materinya mengenai kesinambungan antara air dan kehidupan “Misale masak, mencuci, terus memenuhi kebutuhan bayi. Nah, keresahan semacam itu, mungkin oleh laki-Laki jarang dirasakan. Oiyo, lek alam iki rusak perempuan akan terperosok. Saiki awake masak mencari air, sesok-sesok  wes kangelan golek banyu.” (misalnya, ketika memasak, mencuci, dan memenuhi kebutuhan bayi. Keresahan semacam itu mungkin jarang dirasakan oleh laki-laki. Jika alam ini rusak, perempuan yang akan mengalami kesulitan. Saat ini seluruh sendi kehidupan seperti memasak butuh air. Namun, jika alam rusak akan kesulitan mencari air). Dari pengandaian tersebut jelas bahwasanya perempuan bisa dikatakan korban pertama atas kerusakan lingkungan yang disimbolkan dalam bentuk air sebagai komoditas terpenting dalam kehidupan.

Menanggapi apa yang disampaikan oleh Dian mengenai manusia yang tidak dapat dipisahkan oleh air sebagai komoditas terpenting dalam kehidupan. Umami memberikan tambahan juga bahwa lingkungan yang rusak tidak dapat disematkan hanya kepada laki-laki saja, namun kita sebagai manusia memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjaga keutuhan alam ini. “Jadi kita tidak bisa menempatkan kesalahan krisis yang terjadi saat ini hanya pada satu individu atau satu kelompok  atau satu entitas saja. Semua itu adalah masalah kita bersama”, imbuh Umami menutup materinya.

Diskusi ini merupakan serangkaian kegiatan yang diadakan oleh HM-PS AFI dalam rangka merespon adanya dua momen  besar pada bulan Maret kali ini yakni Internasional Women's Day dan Internasional Forest Day. Sebuah perayaan atau peringatan momentual yang seringkali tidak dilihat dari segi kebutuhan akan perlunya kesadaran untuk memahami kajian ekofeminisme dalam upaya merawat dan melestarikan lingkungan hidup  terlebih di lingkungan akademis.

Agenda ini secara penuh bukan hanya ditujukan untuk mahasiswa AFI saja, namun terbuka bagi seluruh mahasiswa UIN SATU. Ainun Komarullah sebagai moderator acara juga mengharapkan hasil diskusi kali ini dapat memberikan wawasan dan kesadaran melalui kesetaraan gender dan kepedulian terhadap ekologi, demi mewujudkan lingkungan hidup yang lebih baik.


Reporter: Binti Latifatur Rohmah dan Muhammad Ainun Naim Majidi
Penulis: Muhammad Ainun Naim Majidi
Editor: Nur Atika Diah Ayu Nadya