Oleh Syafiq Saifulloh Fatah [] Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
Semester II; IAIN Tulungagung [] Staf Magang Verstehen Organic Philosophy
3 Mei 2019—Fakultas FUAD; Ushuluddin 2 mengadakan acara nonton bareng dan
diskusi bersama—Ontar-Ontran Demokrasi—oleh HMJ Sejarah Peradaban Islam.
Acara ini berjalan dan terlaksana dengan baik. Perdiskusian sebagai adat
fakultas FUAD tidak terlupakan, yaitu mengenai praktik santet di Banyuwangi
terjadi pada tahun 1998 sampai 1999. Pristiwa tersebut memberikan trauma
mendalam bagi masyarakat Banyuwangi. Banyak hal yang dapat ditangkap dari
perdiskusian tersebut, yang dipantik oleh Bapak Latif Kusairi dari IAIN
Surakarta.
Film Ontran-Ontran Demokrasi berisikan tentang praktik santet di Banyuwangi
terjadi pada tahun 1998-1999 memberikan efek trauma pada masyarakatnya.
Karena sering terjadinya pembunuhan yang bermotifkan santet. Cuplikan dari
film tersebut, menggambarkan bahwa praktik santet dilakukan oleh dukun,
tetapi adanya hasutan, agama juga diinisialir melakukan praktik santet.
Kala itu, terjadi ketika masa Orde Baru Soeharto yang berbarengan
terjadinya penjarahan dimana-mana.
Bapak Latif Kusairi menyampaikan, ada beberapa faktor yang memicu
pembunuhan dengan praktik santet ini. Pada saat itu, harga sembako dan
beberapa pupuk melambung tinggi. Muncul stigma bahwa ini bisa saja memiliki
keterkaitan antara rakyat-rakyat yang masih ingin menerapkan Orde Baru,
kemungkinan juga dipengaruhi PKI yang masih tersisa tahun 1965.
Pada pola pembunuhan dengan melakukan teror. Pelaku menandai tempat atau
korban dengan tanda silang merah. Pelaku pembunuhan selalu memakai pakaian
hitam dan bertopeng (Ninja). Pak Tri, guru MAN 1 Tulungagung mengatakan
bahwa mereka memang benar adanya, bahkan mereka bisa terbang. Ketika mereka
menarget korban, selalu memberikan sebuah tanda pada target.
Kegiatan santet di Banyuwangi sudah mendarah daging. Santet pertama kali
dikenal di Banyuwangi, sebelum kegaduhan santet dilakukan secara
kekeluargaan, contohnya “Jika A dipercaya membunuh Ayah si B, maka si B
akan membalasnya dengan membunuhnya juga”, Jadi hanya sebatas antar
permasalahan kekeluargaan. Namun setelah turunnya Soeharto dan berhentinya
rusaknya Orde Baru. Tokoh agama sudah tidak dipercaya, karena disinyalir
mengajarkan mantra dan pelaku santet. Oleh Banyuwangi selalu mendapat
stigma masyarakat luar.
Pak Latif megenai permasalahan ini merujuk buku karangan Aminuddin Kasdi
yang mengkaji Banyuwangi. Dalam bukunya, ia mengatakan bahwa pembunuhan di
Banyuwangi memiliki keterkaitan kelompok PKI yang tersisa. Selain itu, ada
juga pendapat dari Andre Beatty tentang penelitiannya di Pare dalam buku
Religion of Java bahwa tradisi santet berasal dari Tulungagung yang menjadi
pusat berguru tentang ilmu santet.
Jika diteliti, Banyuwangi memiliki 3 suku besar yang mendiaminya. Suku
besar tersebut adalah Suku Jawa, Suku Madura dan Suku Using. Suku using
adalah rakyat peninggalan kerajaan Blambangan. Tiga suku besar tersebut,
suku Uging yang sering terjadi tragedi santet-menyantet. Hal ini disebabkan
kedudukan kepala desa tidak terlalu bisa meredam masyarakat untuk tidak
menggunakan santet. Berbeda dengan suku Jawa dan Madura, lurah dan kyai
sebagai tameng untuk mengatasi masalah ini.
Dewasa ini Banyuwangi sudah tidak menggunakan santet sebagai cara untuk
membunuh. Santet di Banyuwangi sudah menjadi puisi-puisi yang digunakan
sehari-hari. Santet di Banyuwangu ada 4. Pertama Santet merah digunakan
untuk memikat lawan jenis, kedua santet kuning digunakan untuk penglaris.
Ketiga santet putih untuk perlindungan dari kejahatan, dan keempat santet
hitam untuk membunuh. Sejarang pengunaan santet putih dan hitam sudah
jarang digunakan, karena cara menguasainya begitu sulit. []
0 Komentar