Penulis:
Kelvin Ferdinan Rhomadhona
Mahasiswa AFI Angkatan 19

I.
Orang-orang ada
Didepan layar kaca!
Menggunakan jemari untuk berpetualang
Menghabiskan waktu luang
Sekejap banyak waktu yang hilang.

Tumpukan pustaka tak lagi melekat dikepala
Disimpan rapi dalam daftar digital
Dikunjungi saat lari dari alpha
Manusia tak mau lagi ribet dengan yang manual!
Perwujudan empati dan simpati,
Dapat dimanifestasikan melalui jejaring sosial
Meski tak sedikit juga yang ikut membual
Dan kita hanyalah kumpulan sesat dalam hitungan!
Yang abadi dalam kefanaan.

Inilah zaman baru
Dimana manusia tertunduk dihadapan yang palsu
Ya, peradaban baru, peradaban kaum tertunduk
Tak ada yang mengelak
Terdoktrin kenyataan semu.

II.
Sedari pagi hingga malam berganti
Kami memakamkan diri kami sendiri
Ditengah suasana sunyaruri
Sambil menebarkan aroma wangi
Melengkapi seperangkat peribadatan sepi.
Tapi saat semua terdiam
Ada hati yang remuk redam
Tersisihkan hening yang menolak padam.
Dikanan…dikiri…diseluruh ruangan!
Hening menguasai peradaban
Dan manusia tetap naif berpengharapan.

Angan-angan tak lebih dari hal kosong
Menunggu antrian tersaring kemudian terbuang
Sia-sia, terhapus dan hilang!

III. 
Kami berduka
Membunuh fakta
Menggores luka
Mengumpulkan bangkai-bangkai puisi yang tercecer disana-sini.
Sepertinya dimasa depan, kita tidaklah lebih dari rasa dan hati yang terpatri hanya karena instalasi.

Gusti,
Aku menghampiri pada sepi
Yang paling puisi.

Sehelai puisi ini dilahirkan bukan karena alergi terhadap peradaban, juga dalam proses kelahirannya tidak sama sekali menjaga jarak dengan kemajuan, apalagi turut berpartisipasi dalam mendorong kemunduran. Bukan. Puisi ini lahir dari sebuah kesadaran yang harusnya dimiliki setiap manusia yang bernyawa, bahwasannya tidak setiap perubahan akan selalu mendatangkan hal-hal baik.