Kosmologi Tembang Mocopat: Kesejatian Jawa


Oleh Wisanggeni Esmoyo [] Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Semester IV; IAIN Tulungagung [] Staf Verstehen Organic Philosophy

Manusia memerlukan pendidikan sebagai kebutuhan primeh yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan manusia tidak bisa mengapai cita-cita untuk maju dan sejahtera. Hal ini seperti yang diutarakan Noor Syam (1986) pendidikan merupakan proses perkembangan secara teologis. Tujuan pendidikan secara ilmiah untuk bertumbuh menuju ketingkat kedewasaan dan kematangan.

Pendidikan membantu manusia mentrasfer ilmu kebudayaan supaya dimengerti dan dikuasai berbagai khalayak. Pendidikan memiliki sistem yang mampu memberikan pembelajarab bagi masyarakat. Hal ini tidak terbatas pada hak dan kewajiban masyarakat untuk menja warisan budayanya. Melainkan memupuk kesadaran bahwa sumber-sumber warisan budaya dalam pengelolaan masyarakat itu sendiri.

Pendidikan memberikan kontribusinya pada masyarakat bahwa pentingnya tradisi sebagai sumber ilmu pengetahuan. Tradisi dengan keunikan lokal sebagai identitas masyarakat Jawa. Bukti warisan budaya yang berkembang di masyarakat Jawa adalah Tembang Macapat. Hal ini sudah terasa asing di telinga kaum muda, yang sebenarnya memiliki kesempatan untuk mengembangkan nilai-nilai positif.

Setiawan (2010) menurutnya Tembang macapat merupakan tembang klasik Jawa. Tembang ini mulai buming kembali pada era Wali Songo. Mereka mengunakan Tembang Macapat sebagai media dakwah dan megenalkan Islam. Tokoh-tokoh wali yang terkenal suka menembang; Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat dan Sunan Kudus merekalah sebagai pelestari Tembang Macapat pada masyarakat Jawa.

Sedangkan menurut Poerwadarminta (dalam Darusuprapta, 1989) macapat merupakan nama dari jenis tembang digunaka dalam gubahan puisi, sebagai karya sastra Jawa baru. Kata macapat berarti maca (membaca) papat-papat (empat-empat). Macapat merupakan karya puisi tradisional Bhujanga Jawa baru, yang dilagukan dengan konvensi bunyi. Hal ini diperlihatkan adanya guru gatra (jumlah larik tiap baris), guru wilangan (jumlah suku kata dalam larik) dan guru lagu (bunyi suku kata pada akhir larik).

Tembang Macapat mempunyai ciri khas dan makna sendiri-sendiri sesuai dengan tujuan pengubahnya. Bedasarkan jenis dan urutan Tembang Macapat memiliki benang merah yang sama; perjalanan hidup manusia, tahap-tahap kehidupan dari ruh suci sampai menyatu dengan Illahi. Tembang Macapat memiliki ciri khas, makna dan tujuan sebagai berikut.

Mijil: merupakan ilustrasi dari proses kelahiran manusia. Kata mijil berasal dari bentukan mbrojol, mencolot sebagai bentuk kelahiran jabang bayi manusia. Sedangkan Kinanthi: merupakan masa pembentukan jatidiri dan menapakkan jalan mengapai cita-cita. Manusia mulai menata kehidupan. Sinom: melukiskan masa-masa muda, masa indah yang penuh dengan harapan dan angan-angan kebajikan.

Asmarandana: mengambarkan masa-masa dirundung asmara. Manusia sudah memiliki hasrat biologi sebagai penyempurnaanya. Dhandhanggula: manusia sudah mencapai kemapanan sosial, kesejahteraan, tercukupi sandang, papan dan pangan.

Gambuh: berasal dari kata jumbuh (bersatu). Tembang ini memiliki komitmen untuk menyatukan cinta keluarga, sosial dan alam. Hal ini merujuk akan kehidupan manusia yang tidak terlepas dari ketiga unsur tersebut. Maskumambang: “Buah hati bagaikan emas segantang”. Anak manusia menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tuanya. Hal ini mengambarkan seorang anak kelak bisa berbakti kepada orang tua, negara dan bangsanya.

Durma: merupakan tembang wujud rasa syukur manusia kepada Tuhan. Kata durma serapan dari darma (perilaku kebajian). Manusia diperuntukan untuk berbuat kebajikan ke sesama mahluk ciptaan-Nya. Pangkur: sebuah tembang untuk mengambarkan menyingkirnya nafsu angkara murka. Kata pangsur serapan dari mungkur (mengendalikan nafsu buruk). Hal ini menjadikan manusi sebagai insan yang harus bersifat positif dalam setiap prilaku.

Megatruh: masyarakat Jawa biasa mengartikannya megat roh (ruh yang terlepas dari jasad). Keterlepasan ini bisa berbagai macam penyebabnya. Masyarakat Jawa sering mengabungkannya dengan sangkan paraning dumadi, pulangnya manusia ke asalnya. Pucung: tembang ini biasanya dipakai untuk menceritakan hal-hal yang jenaka, tekateki dan kehidupan. Masyarakat Jawa seing mengunakannya sebagai alat mendidik putra mereka, terlebih sering disenandungkan sebelum tidur.

Setiap Tembang Macapat memiliki tema dan watak. Penggunaannya hasus sesuai, selaras dan serasi dengan isinya. Sehingga ketika dilagukan akan menciptakan keindahan pada tembang yang dilantunkan. Pembagian watak dan tema bisa dilihat sebagai berikut.

Mijil (terharu, melayang jauh), Kinanthi (senang, gembira, kasih sayang), Sinom (gembira, berwibawa), Asmarandana (sedih, rindu, prihatin), Dhandhanggula (manis, indah, gembira), Gambuh (polos, jelas, apa adanya), Maskumambang (susah, sedih, terharu, prihatin), Durma (bersemangat, keras, galak), Pangkur (bergairah, gagah, perkasa), Megatruh (kecewa, sedih, prihatin), Pucung (sedih, gembira).

Masyarakat Jawa tidak bisa terlepas dari Tembang Macapat. Hal ini bisa dilihat masih diselengarakannya pembacaan Tembang Macapat (macapatan). Biasanya berwujud acara kemasyarakatan; kelahiran bayi, pendirian lembaga dan hari-hari khusus. Tembang Macapat bagi masyarakat Jawa memiliki fungsi khusus; sebagai olah seni dan olah rasa. Olah seni berkaitan dengan penembangan macapat, dan olah rasa merupakan peresapan makna baik tersurat maupun tersirat.

Posting Komentar

0 Komentar