Oleh Ekka Zahra Puspita Dewi [] Mahasiswa Pascasarjana Tadris Bahasa
Inggris [] Penulis Muda Verstehen Organic Philosophy
Averroes, Nama salah satu filsuf Islam yang terkenal di kalangan akademisi.
Orang Barat biasa memanggilnya dengan sebutan Averroes, sedangkan Orang
Timur lebih mengenal beliau dengan nama Ibnu Rusyd.
Ibnu Rusyd memiliki nama lengkap; Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad
Ibn Ahmad Ibn Rusyd (Al-Ehwani dalam Wijaya). Abu al-Walid adalah nama
kunyah (panggilan, seperti al-Kubra dalam Khadijah al-Kubra), sedangkan
al-Hafidz adalah nama laqab (nama yang mengikuti di belakang, seperti
al-Amin dalam julukan baginda Muhammad al-Amin). Dengan adanya nama laqab
tersebut, beliau memiliki nama Ibnu Rusyd al-Hafidz.
Ibnu Rusyd terlahir di tahun 1126 M, di kota Cordoba, Andalus, (sekarang
Spanyol). Keluarga beliau merupakan kalangan bangsawan dan tergolong dalam
kaum cendekia dalam bidang intelektual. Ayah dan juga kakek beliau
merupakan hakim, sehingga intelektualitas sudah mendarah daging bagi
keluarga beliau.
Sedari kecil Ibnu Rusyd dikenal memiliki minat besar dalam bidang keilmuan.
Bahkan sejak dewasa, ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa beliau tidak
pernah absen dalam membaca serta hal-hal yang berkaitan dengan keilmuan.
Hal tersebut menunjukkan betapa beliau memiliki minat besar dalam bidang
keilmuan dan mampu mengantarkannya sebagai salah seorang cendekia Muslim.
Ilmu beliau masih dikaji hingga sekarang.
Ibnu Rusyd mengenyam pendidikan dasar di Kota Cordoba, tanah kelahiran
filsuf-filsuf muslim. Seperti kota Baghdad dan Kairo Timur di zamannya.
Ibnu Rusyd sendiri mempelajari tafsir, hadis, fikih, teologi, sastra Arab,
matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan juga bidang kedokteran
di Cordoba.
Pada tahun 1159 M, Ibnu Rusyd mendapatkan kesempatan untuk membantu
reformasi pendidikan di daerah Seville. Menjelang tahun 1169 M, filsafat
Yunani dipelajari dengan gigih di Andalus, dengan dorongan pimpinan
khalifah Abu Yakub Yusuf (1135-1184 M). Sekitar tahun 1105-1185 M, Ibnu
Rusyd dibawa oleh Ibnu Thufail dan diperkenalkan kepada khalifah.
Melalui persuaan itu, Ibnu Rusyd diberi tugas untuk memberikan ulasan dan
tanggapan terhadap pemikiran filsafat Aristoteles (384-322 SM). Hal ini
dikarenakan sang khalifah merasa bingung dalam memahami filsafat Yunani.
Kala itu masih minim terjemahan dari bahasa asli karya para filsuf serta
bahasa pertama khalifah. Beliau membutuhkan bantuan Ibnu Thufail untuk
mengatasi masalah tersebut, dan mengantarkan pertemuan khalifah kepada Ibnu
Rusyd.
1169 M, Ibnu Rusyd diangkat sebagai hakim di Seville. Beliau diangkat sebab
kemampuannya yang ulung dalam bidang hukum dan juga faktor kedekatan beliau
dengan khalifah kala itu. Ibnu Rusyd pernah didapuk sebagai satu-satunya
pakar hukum di bidang khilafiyah di zamannya. Salah satu bukti pendapukan
tersebut adalah melalui karya beliau Bidayah al-Mujtahid yang ditulis tahun
1168 M, dengan pokok bahasan sebab-sebab munculnya perbedaan dalam hukum
fikih dan alasannya.
Terbitnya karya beliau tersebut menandakan bahwa meski waktunya dipadatkan
oleh perkara-perkara hukum sebab profesi beliau kala itu, Ibnu Rusyd tetap
produktif dalam mengolah kemampuan intelektualnya dengan menghasilkan
karya.
Setelah menjadi hakim yang cukup lama di Seville, Ibnu Rusyd kemudian
diangkat sebagai salah satu hakim agung di Cordoba. Tidak berapa lama
kemudian, beliau menjadi pengganti Ibnu Tufail sebagai penasihat sang
khalifah di Marakesy, Maroko. Di posisi ini, Ibnu Rusyd menuangkan seluruh
fokusnya kepada bidang filsafat.
Ibnu Rusyd mendapatkan ujian berupa fitnah yang sangat besar, sehingga
kehidupan beliau berubah drastis. Beliau difitnah sebagai seorang yang
murtad dari agama. Sebab pada kala itu, pengaruh Ghazalian masih sangat
terasa kental.
Pada tahun 1195 M fitnah tersebut menyebar. Sebagai dampak dan hukuman
disebabkan dari fitnah tersebut, Ibnu Rusyd dibuang ke Lucena, sebuah pulau
di kepulauan Atlantik, dekat Cordoba. Karya-karya besar beliau dibakar di
depan umum. Pemikiran beliau tentang filsafat dan sains dilarang, sebab
dianggap tidak sesuai dengan doktrin Ghazalian tentang ketuhanan dan hukum
kausalitas yang gencar ditekankan oleh al-Ghazali. Hanya bidang kedokteran,
matematika dan juga ilmu falak (astronomi) saja yang diizinkan oleh pihak
pemerintah.
Fitnah tersebut mereda, dan segera, khalifah menarik kembali beliau serta
mengembalikan nama baik beliau, meski hubungan beliau berdua tidak sebaik
sebelumnya.
Ibnu Rusyd wafat pada usia 72 tahun, di tahun 1198 M, dimakamkan di Kota
Cordoba. Cendekia Muslim ini meninggalkan beberapa karya dengan tema
logika, fisika, metafisika, teologi dan juga astronomi. Sumbangsih
pemikiran beliau sangat diagungkan di Barat. Bahkan bisa dikatakan beliau
asing di rumah sendiri (Islam), namun sangat akrab di rumah orang lain
(Barat).
Berbicara tentang pemikiran Ibnu Rusyd, tentu ada banyak sekali titik fokus
yang bisa dijabarkan. Menurut Jabiri dalam Wijaya, misi pemikiran Ibnu
Rusyd memiliki empat titik.
“Pertama, menghilangkan reduksi pemikiran Aristoteles. Kedua, menyingkap
penyimpangan yang dilakukan al-Farabi dan Ibnu Sina terhadap Aristoteles.
Ketiga, menyanggah kritik Al-Ghazali terhadap filsuf yang hanya mendasarkan
diri pada karya al-Farabi atau Ibnu Sina dan Keempat, melakukan
konseptualisasi teoritik literalisme sebagai penolakan terhadap metode para
ahli kalam, aliran dhahiriah dan sufi.”
Pembahasan kali ini akan lebih menukik di bagian kritikan Ibnu Rusyd
terhadap pemikiran al-Ghazali. Karya Ibnu Rusyd yang membantah pemikiran
al-Ghazali adalah Tahafut al-Tahafut, yang memiliki arti kerancuan dalam
kerancuan. Karya al-Ghazali yang beliau kritik adalah Tahafut
al-Falasafiyah dengan makna kerancuan para filsuf.
Ibnu Rusyd tidak sepakat dengan pendapat al-Ghazali dalam teori kausalitas
yang berujung sebuah anggapan di mana pemikiran filsuf seperti Ibnu Sina
dan al-Farabi tergolong dalam pemikiran yang bidah. Bagi Ibnu Rusyd,
al-Ghazali telah salah dalam memahami maksud para filsuf Muslim seperti
Ibnu Sina dan al-Farabi sebelum beliau. Bahkan, Ibnu Rusyd sendiri juga
memberikan kritik terhadap Ibnu Sina dan juga al-Farabi dalam memahami
pemikiran Aristoteles.
Bagi beliau, pemikiran dua ilmuwan Muslim tersebut masih belum tepat dalam
memaknai maksud dari Aristoteles. Hal ini tentu saja bisa dijumpai novelty
pada pemikiran beliau. Berangkat dari penemuan-penemuan dan kritisnya
pemikiran beliau, Henry Corbin (1993) menyatakan bahwa Ibnu Rusyd merupakan
filsuf Muslim terbesar di Barat. Nurcholis Madjid (1991) juga menyebutkan
bahwasanya dalam rangka harmonisasi antara filsafat dan agama, Ibnu Rusyd
memiliki kegigihan usaha melebihi Ibnu Sina dan al-Kindi.
Menurut pendapat Ibnu Rusyd, pemikiran al-Ghazali tentang hukum kausalitas
dapat menimbulkan dampak berupa melemahnya semangat intelektualitas Islam,
sedangkan dampak paling vitalnya adalah menurunnya tingkat intelektual
Islam pada masa pasca Ghazalian.
Melihat adanya indikasi tersebut, Ibnu Rusyd mengkritik pendapat
al-Ghazali, jika manusia tidak diizinkan untuk berpikir, mengolah akal
untuk mencoba menguak misteri semesta, maka sebenarnya hal tersebut
menentang kodrati manusia yang diciptakan Sang Pencipta. Dasar dari
pendapat beliau adalah ayat Alquran yang berarti “maka berpikirlah wahai
orang-orang yang berakal budi.” Dapat dijumpai kalimat“berpikirlah kalian.”
Selain itu dalam ayat “apakah mereka tidak memperhatikan segala yang ada di
langit dan bumi dan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah.”
Alquran (agama) mengajak manusia untuk menggunakan akalnya dalam rangka
mengupas segala sesuatu yang ada di seluruh semesta. Dengan mengenal alam,
akan mengantarkan manusia untuk mengenal Penciptanya. Ibnu Rusyd
berpendapat:
“Jika aktivitas filsafat adalah mempelajari semua yang ada (maujud) dan
merenunginya sehingga pada akhirnya pengetahuan itu mengantarkan seseorang
mengetahui adanya pencipta- yakni dari segi bahwa semua maujud ini adalah
ciptaan-Nya sehingga ia menjadi petunjuk adanya pencipta- maka semakin
sempurna pengetahuan tentang yang ada (maujud) semakin sempurna pula
pengetahuan tentang pencipta.
Akal menjadi sebuah alat untuk memahami maujud yakni ke-ada-an sesuatu di
alam. Sedangkan filsafat merupakan salah satu proses berpikir yang
menggunakan akal dengan metode dan telah memenuhi syarat-syarat pemikiran
logis. Pemikiran yang diejawantahkan oleh Ibnu Rusyd pada dasarnya filsafat
dan agama berdiri sendiri, namun keduanya saling menopang. Aksin Wijaya
menyatakan bahwa keduanya merupakan sahabat karib yang tidak bisa
dipisahkan sebab keduanya merupakan sarana kebenaran dan kebenaran tidak
bisa diurai sebab kebenaran itu satu.
0 Komentar