Mengenalkan Filsafatnya Ibnu Arabi


Oleh M. Masroviki Maulana [] Mahasiswa Pascasarjana Jurusan IAT; IAIN Tulungagung [] Penulis Muda Verstehen Organic Philosophy


Muhammad Ibn ‘Alī Ibn Muhammad Ibn al-‘Arabī al-Tā’ī al-Hātimī, nama populernya Ibn Arabi. Ia dilahirkan pada 17 Ramadan 560 H/ 28 juli 1165 M1, di Mursia, Spanyol Tenggara, pada masa pemerintahan Muhammad Ibn Sa’id Ibn Mardanīsy.

Ia adalah sufi keturunan suku Arab kuno Tā’ī, Ia dikenal dengan Ibn ‘Arabī (tanpa al-) untuk membedakan Ibn ‘Arabī yang lainnya. Ada dua figur besar dalam dunia Islam yang menyandang nama Ibn ‘Arabī, keduanya berasal dari Andalusia yaitu Abū Bakr Muhammad Ibn ‘Abdallāh Ibn al-‘Arabī Al-Ma`āfirī. Dua gelarnya yang termasyhur adalah Muhyī al-Dīn (Penghidup Agama) dan al-Syaykh al-Akbar (Doctor Maximus, Syaykh Terbesar), ia juga mendapat gelar sebagai Ibn Aflatun (Putera Plato) atau Sang Platonis).

Dinasti Al-Muwāhiddīn menaklukan Mursia pada 567 H/1172 M, ia bersama keluarganya pindah ke Seville. Di Seville, Ia menerima pendidikan formalnya, di kota pusat pengetahuan itu, di bawah bimbingan guru-guru tradisional. Ia mempelajari Al-Qur’an dan
tafsir; hadits, fiqh, teologi, filsafat skolastik, tata bahasa dan komposisi bahasa Arab.

Seville adalah suatu pusat Sufisme yang penting dengan sejumlah guru sufi terkemuka di sana. Pada periode itu juga ia menikahi seorang wanita muda yang shaleha, Maryam. Seville menjadi tempat tinggal permanennya. Ibn ‘Arabī sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Ia juga mengunjungi Kordoba dan berjumpa seorang ahli hukum sekaligus filsuf besar; Ibn Rusyd (w.595 H/1198 M, bagi masyarakat Latin Barat dikenal dengan Avveroes).

Diantara guru-guru spiritual Ibn ‘Arabī terdapat dua wanita lanjut usia yaitu Yāsamīn, Marchena dan Fātimah, Kordoba. Di Tunis ia belajar Khal’al-Na’layn (melepas kedua sandal) oleh Ibn Qasī. Situasi religio-politik mengharuskan Ibn ‘Arabī meninggalkan kota kelahirannya, di Afrika Utara, para penguasa al-Muwāhiddīn mengecam akan menyiksa para sufi karena mereka di curigai menggerakkan tarekat yang berkeliling”.

Seandainya saja Ibn ‘Arabī tetap berada di Spanyol, mungkin ia mengalami nasib sama seperti Ibn Qasī (kepala sekte Muridin) yang dibunuh pada 546 H/1151M. Ibn ‘Arabī wafat pada 22 Rabī’ al-Tsāni 638 H/November 1240 M di Damaskus, ia dimakamkan di Sāhiliyyah, kaki Bukit Qāsiyūn, bagian Utara kota Damaskus. Ibn ‘Arabī mempunyai dua putera, Sa’du-dīn (w.656 H), seorang penyair terkenal, dan ‘Imādud-dīn (w.667 H), keduanya dimakamkan berdampingan dengan ayah mereka.

Karyanya kurang lebih 864 judul dari 700 judul, yang asli hanya tersisa 400 masih ada. Dua karya Ibn ‘Arabī yang paling populer dan terpenting ialah Futūḥāt al-Makiyyah dan Fuṣūṣ al-Ḥikam. Judul lengkap yang pertama ialah kitab Futūḥāt al-Makiyyah fī Ma’rifat al-Asrār al-Malikiyyah wa al-Mulkiyyah. Fuṣūṣ al-Ḥikam adalah karya Ibn `Arabī yang paling banya dibaca, paling banyak disyarah karena paling sulit, paling berpengaruh dan paling termasyhur. Disusun pada 627 H/1230 M, sepuluh tahun sebelum Ia wafat. Disamping dua karya utama diatas, karya-karyanya yang lain seperti berikut: Tafsīr Ibn ‘Arabi, Insyā’ al-Dawā’īr, dll.


Kesatuan Wujud/ Monisme Ibn `Arabī

Ia mengadopsi pemikiran lahūt dan nasūt al-Hallaj. Dalam hubungan al-Haqq dan al-Khalq, Ibn ‘Arabī menggunakan beberapa simbol diantaranya:

Simbol makanan (al-ghidhā) dan-yang-memakan (al-mutaghadhdhī). al-Haqq memakan al-khalq dari segi bahwa tidak ada penampakan bagi al-Haqq kecuali dalam bentuk kreatif perbuatan makanan dengan sifat-sifatnya. Tuhan adalah makanan spiritual yang memberikan hidup.

Simbol cermin, al-khalq adalah cermin bagi al-Haqq dan al-Haqq adalah cermin bagi al-khalq. Al-Haqq dan al-khalq, keduanya adalah subyek dan juga obyek secara serentak, keduanya adalah satu, mempunyai peran yang sama, akan tetapi al-Haqq mempunyai wujud dan peran mutlak. Sedangkan al-khalq mempunyai wujud dan peran yang relative.

Simbol matahari, cahaya dan simbol pelangi yakni; melukiskan bahwa cahaya matahari seperti nyala api lilin yang seolah-olah tetap ada ketika menyala. Mata kita tertipu karena sebenarnya nyala api muncul dan lenyap, setiap ada nyala yang baru, yang kemudian hilang dan di susul oleh nyala api yang lain pula, begitu seterusnya.

Seperti halnya alam, wujudnya; datang-dan-menghilang, menjadi dan hancur, secara terus-menerus. Karena al-muhdathāt dengan berbagai bentuk tidak mempunyai wujud, yaitu wujud hakiki, karena satu-satunya wujud hanyalah wujud al-Haqq.

Symbol tempat muncul dan tempat kembali. Hal ini merupakan adanya dualitas dari wujud. Pertama adalah sumber tempat muncul dan tempat kembalinya (yang banyak). (yang banyak) itu bagi yang satu seperti sebuah tempat di dalam keberadaan esensi-Nya.

Emanasi Tuhan

Ia membedakan dua tipe utama emanasi yang saling berurutan, yaitu ‘emanasi paling suci’ (al-fayḍ al-aqdas) dan dilanjut ‘emanasi suci’ (al-fayḍ al-muqaddas). Dalam tipe pertama al-Ḥaqq menampakkan diri-Nya kepada diri-Nya sendiri dalam taraf awan tebal (al-amā’).

Kemudian ia menampakkan etintas-etintas permanen-Nya (al-a’yān al-thābita) dari dunia pikiran (akal) menuju dunia indra. Pada taraf ini Dia menampakkan diri-Nya dalam berbagai bentuk tidak terbatas dari (yang banyak) dalam wujud yang konkrit.
Dengan demikian, entitas-entitas permanen menyebarkan dirinya dalam segala sesuatu yang inderawi, sehingga alam inderawi selalu dalam aktualitas.

Oleh karena segala sesuatu adalah penjelmaan Tuhan, maka manusia sempurna (insān kāmil) adalah manusia yang merealisasikan kesatuan zatnya dengan Tuhan. Alam semesta sudah terangkum dalam dirinya sebagai wujud mikrokosmos. Karena ia merupakan kesatuan hakiki dari alam, ia memiliki hubungan langsung dengan al-Ḥaqq, dan karenanya hanya Tuhan sendiri dan manusia sempurna yang berhak menyatakan bahwa dirinya Allah (Tuhan).

Tuhan: Sosok yang Imanen Sekaligus Transenden

“Laysa ka mithlihī shay’un, wa Huwa al-Samī’ al-Baṣīr”. “Tidak ada sesuatu-pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Yang Maha mendengar, Maha Melihat”. Menurut Ibn ‘Arabī, kalimat “Laysa ka mithlihī shay’un” merupakan tanzīh atau transendensi Tuhan.

Sedangkan kalimat “ wa Huwa al-Samī’ al-Baṣīr” merupakan tashbīh atau imanensi Tuhan. Konsep ini memang menjadi paradok tersendiri dalam pemikiran Ibn ‘Arabi, Tuhan adalah Transenden sekaligus Imanen. Bukan berarti alam adalah Tuhan dan sebaliknya, karena keduanya adalah entitas yang berbeda. Namun Tuhan meliputi segala sesuatu. Dan alam adalah gambaran dari Tuhan itu sendiri.

Pandangan-pandangan Ibnu ‘Arabi terhadap waḥdat al-wujūd ini konsisten terbukti dalam menafsiri surat al-Baqarah ayat 163 ia menggunakan pemafsiran yang mendukung konsepnya tersebut.

Sesungguhnya melalui ayat ini Allah berbicara kepada kaum Muslim bahwa orang yang menyembah selain Allah dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya sebetulnya mereka menyembah Allah juga. Ingatlah, mereka berkata: kami menyembah benda-benda ini tidak lain agar mendekatkan kami kepada Allah. Selanjutnya Allah berkata: Sesungguhnya Tuhanmu dan Tuhan orang-orang musyrik yang dijadikan sesembahan mereka adalah sama. (Ibn ‘Arabi, Futūḥāt al-Makiyya, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyya, 1999), Juz 7, 156-157).

Untuk memahami pernyataan Ibn ‘Arabi di atas, kehati-hatian sangat diperlukan agar tidak terjerumus mendekati syirik. Dalam memahaminya diperlukan pengetahuan mengenai teori Tuhan konseptual, yaitu Tuhan yang dikonsepsikan dan dipersepsikan dalam pengetahuan manusia, sedangkan Tuhan yang sebenarnya tidak dapat diketahui seperti apa. Penyembahan atas Tuhan juga berbeda, namun ada hal yang membuat penyembahan sama adalah semua agama menyarankan agar penyembahan didasari oleh kerelaan hati (ikhlas).

Posting Komentar

0 Komentar