Shakespeare


Oleh Wisanggeni Esmoyo [] Mahasiswa Jurursan Aqidah dan Filsafat Islam Semester IV; IAIN Tulungagung [] Staf Verstehen Organic Philosophy

Tulisan ini saya tujukan untuk mengobati rindu mendalam atas tokoh fenomonal Shakespeare. Ini seperti membangkitkan kembali romantisme lama dari kalangan sastrawan maupun pemikir era sekarang. Dimana pemikirannya selalu mengenai hakikat kehidupan dan ia wujudkan dengan penampilan di panggung pertunjukan. Sehingga saya rasa perlu kita mengenangnya sebagai refleksi history knowledge.

lahir di Stratford-upon-Avon, Inggris, pada bulan April 1564, sebagai putra John Shakespeare dan Mary Arden. Ayah William cukup kaya dan memiliki bisnis pembuatan sarung tangan, tetapi tidak berjalan lama ia menjadi miskin setelah menjual wol secara ilegal. Sayangnya Shakespeare tidak mengikuti jejak ayahnya.

Pada zaman itu, sekolah umum baru dimulai di Inggris. Sebelumnya, hampir semua anak tidak tahu cara membaca dan menulis, mereka hanya belajar suatu keterampilan atau bertani. Shakespeare memantapkan hati untuk pergi ke salah satu sekolah umum. Ia belajar Latin, yang merupakan bahasa semua kaum terpelajar, tidak peduli dari negara mana mereka berasal.

Ia sempat berkeliling dari London ke Lisbon, Aleksandria ke Konstantinopel, Tunis ke Yerusalem. Semua orang terpelajar yang ditemuinya berbicara bahasa Latin dan bahasa ibu mereka. Bahkan semua dokumen penting, baik dokumen negara, gereja, atau perdagangan, ditulis menggunakan Latin.

Shakespeare juga mempelajari karya-karya para penulis filosofer Yunani Kuno dan Romawi—lebih dari 100 tahun berlalu sejak Johannes Gutenberg memperkenalkan percetakan ke Eropa pada tahun 1452—Shakespeare dan orang Inggris lain yang dapat membaca─dan mampu membeli─buku. Sehingga ia menjadi akrab dengan kisah-kisah dari berbagai tempat; Italia, Prancis, Asia Minor, dan Afrika Utara.

Beberapa kisah-kisah ini menjadi dasar cerita-cerita terbesar Shakespeare. The Golden Ass karya Apuleius, sebuah kisah kuno dari Afrika Utara, kemungkinan merupakan kisah yang menginspirasikan Impian di Tengah Musim dibawakannya. Shakespeare juga menulis cerita Romeo dan Juliet. Karya ini merupakan terusan dari tulisannya Luigi da Porta; Italia abad 16, ia yang bersumpah bahwa cerita tersebut adalah berdasarkan cerita nyata.

Shakespeare hidup dengan susunan-susunan strata yang telah diterima secara umum. Hampir semua orang di Inggris adalah Kristen. Hal ini membuat hierarki terbawah; terdapat kaum pekerja, di atasnya para petani dan pedagang, lalu para pendeta dan pengawal, lalu naik lagi para kesatria, tuan tanah, uskup agung, dan para adipati. Sang monarki bertakhta di puncak tatanan sosial. Di Inggris, monarki tersebut adalah Ratu Elizabeth I.

Elizabeth I memerintah Inggris hampir selama hidup Shakespeare. Pada zaman tersebut tidak ada peperangan. Diplomasi sang ratu membuat kedua seterunya Prancis dan Spanyol terjaga seimbang. Perdagangan berkembang. London menjadi kota yang padat, ramai, dan penuh dengan peluang. Rumah-rumah sandiwara dibangun di London; teater-teater tersebut adalah tempat yang populer dikunjungi masyarakat.

Sistem kelas pada zaman Shakespeare dapat saja sudah memiliki susunan-susunan, tetapi tidak statis. Orang-orang mulai berpikir tentang mereka sendiri. Shakespeare hidup di zaman Renaisans yang berarti "kelahiran kembali" yang terjadi pada abad ke-15 hingga abad ke-17 di Eropa.

Renaisans Eropa menghidupkan kembali pembelajaran klasik. Pada zaman tersebut terdapat gerakan kebangkitan minat terhadap seni, musik, dan arsitektur. Suatu dunia yang tua dan stagnan tiba-tiba berubah menjadi hidup dan vibran. Meskipun hampir semua orang percaya bahwa susunan matahari, bulan, bintang, dan planet memengaruhi nasib mereka, beberapa orang mulai mengubah cara berpikir mereka tentang diri mereka dan dunia yang mereka tinggali.

Mereka mulai memahami kekuasaan dan posisi pemerintahandiciptakan oleh manusiabukan ditentukan oleh Tuhan sejak lahir. Mereka menyadari bahwa kekristenan bukanlah satu-satunya agama di dunia. Karena banyak di antara mereka mulai dapat membaca, maka banyak juga yang tidak ingin tinggal di kelas sosial tempat mereka dilahirkan. Banyak petualang Renaisans menggunakan cara mereka sendiri-sendiri untuk mencari rezeki dan mengembangkan kehidupan mereka. Shakespeare adalah salah satu dari orang-orang tersebut.

Pada awal 1590-an, William Shakepseare mengokohkan dirinya sebagai seorang penulis sandiwara dan aktor di London. Selain itu, ia juga memiliki bagian dari rumah sandiwara tempat ia dan teman-temannya bermain. Itu merupakan sumber penghasilannya.

Shakespeare menikahi Anne Hathaway, yang delapan tahun lebih tua darinya, pada tanggal 28 November 1582 di Temple Grafton, dekat Stratford. Anne kala itu hamil tiga bulan. Bersama-sama mereka dikaruniai tiga anak: Susanna, dan si kembar Hamnet dan Judith.

Istri dan ketiga anaknya tinggal di Stratford, dan kemungkinan besar Shakespeare pergi mengunjungi mereka setahun sekali. Pada tahun 1596 Hamnet meninggal dunia. Karena hampir ada kemiripan nama istrinya, hal ini yang mengilhaminya untuk menulis The Tragical History of Hamlet, Prince of Denmark.

Shakespeare menjadi orang teater yang sangat terkenal, sangat populer, dan sangat kaya. Ratu Elizabeth I sangat menyukai karya-karyanya; begitu pula dengan Raja James I, penerusnya. Pada pemerintahan James I, Shakespeare dan kawan-kawan terkenal dengan sebutan "Orang-orang Raja" karena Raja James I adalah pengunjung mereka yang spesial. Shakespeare sering bermain di istana kerajaan; teater Globe dan teater Blackfriars. Untuk mendapatkan lebih banyak uang, mereka juga mengadakan tur keliling Inggris, terutama pada saat-saat wabah penyakit menjangkit Inggris.

Masyarakat zaman Elizabeth tidak memandang pemain atau penulis sandiwara adalah pekerjaan yang terhormat. Pergi ke teater pada zaman tersebut tidak sama seperti pergi ke teater pada saat ini, hal itu lebih seperti pergi menonton pertandingan sepak bola.

Teater-teater zaman Elizabeth berupa bangunan kayu yang bertingkat-tingkat. Para penonton duduk di ketiga sisi atau berdiri di tengah-tengah lantai. Bagian tengah teater terbuka atapnya, karena pada zaman itu belum ada penerangan buatan. Ribuan orang berjejalan di teater untuk pertunjukan sore hari. Para penonton berteriak-teriak di belakang para aktor. Teater Globe adalah tempat yang padat pengunjung, bising, dan berjejal-jejalan

Puluhan ribu orang yang memadati untuk melihat sandiwara Shakespeare akan dapat mendengar 1700 kata yang diciptakan oleh Shakespeare. Banyak kata-kata ciptannya yang saat ini masih digunakan. Contohnya: deafening (menulikan), hush, hurry (lekas), downstairs (di bawah), gloomy (sedih), lonely (sendirian), embrace (pelukan), dawn (senja).

Ejaan yang digunakan Shakespeare berbeda dari zamannya. Masyarakat zaman Elizabeth mengeja kata-kata seperti yang tertulis, seperti Latin dan Indonesia. Tidak ada cara yang benar untuk mengeja. Masyarakat menulis suatu kata seperti ejaan yang mereka inginkan. Jika ingin menulis me (saya) tapi ingin memberikan penekanan pada kata tersebut, maka kata tersebut akan dituliskan mee. Jika sang penulis ingin kata tersebut dibaca seperti orang berteriak dari atap rumah, maka kata tersebut akan dituliskan Meee.

Tulisan dalam karya Shakespeare akan dijumpai kata stayed (tinggal) dieja stay'd, karena Shakespeare ingin mengucapkan kata tersebut sebagai satu suku kata (baca: steid). Seperti ejaan bahasa Inggris sekarang, bukan dua suku kata (baca: 'stei-ed'). Bahasa Inggris modern banyak menggunakan penulisan dari zaman dahulu namun dengan menggunakan ejaan yang baru.

Contohnya kata knight (kesatria) dulunya dieja sama seperti tulisannya (baca: k-ni-gh-t ada 4 suku kata). Budaya oral seperti zaman Shakespeare, masyarakat memedulikan detail intonasi, nada suara, dan bunyi yang ditimbulkan pada waktu mereka berbicara. Sehingga bahasa lisan yang digunakan lebih kaya pada zaman dahulu daripada zaman sekarang.

William Shakespeare menulis selama dua puluh lima tahun, menciptakan tiga puluh enam hingga tiga puluh sembilan karya yang diketahui hingga saat ini. Topik yang dicakup beragam mulai dari roman komik hingga perang saudara, dari permainan domestik hingga kejadian politis yang menggegerkan dunia. Ada tiga hal yang mendasari seluruh karyanya adalah pertanyaan-pertanyaan: Apa artinya untuk hidup? Bagaimana cara kita hidup? Apa yang harus kita lakukan?

Bagi Shakespeare manusia haruslah bisa memaknai setiap kehidupannya. Ritme kehidupan merupakan ajang pengenalan diri. Ia mengambarkan kehidupan ini sebagai negeri deongeng yang dipenuhi naskah suci. Naskah suci adalah buatan manusia. Sehingga setiap ilmu yang lahir di dunia harus berkontribusi besar kepada manusia itu sendiri.

Sandiwara Shakespeare menawarkan pemahaman yang mendalam terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Itulah sebabnya mengapa ahli-ahli literatur mempelajari karyanya, politikus-politikus mengutipnya, filosofer-filosofer menemukan cara berpikir yang baru dari membaca ulang karyanya.

Mempelajari Shakespeare adalah seperti mempelajari hidup dari berbagai sudut pandang: psikologis, politis, filosofis, sosial, spiritual. Ritme yang digunakannya dalam kata-katanya terefleksi dalam ritme tubuh kita. Memainkan peranan sandiwara Shakespeare di panggung membuat seseorang menyadari seberapa dalam seseorang harus menarik napas supaya suaranya dapat terdengar sampai ujung ruangan.

Shakespeare berhenti menulis pada tahun 1611 dan meninggal dunia beberapa tahun kemudian pada 1616. Sampai wafatnya ia tetap menikah dengan Anne. Pada batu nisannya tertulis: Blest be the man who cast these stones, and cursed be he that moves my bones. Terbekatilah ia yang menaruh batu-batu ini, dan terkutuklah ia yang memindahkan tulang-tulangku. []

Posting Komentar

0 Komentar