M. Faiz Alfaghrizi || Mahasiswa AFI Semester 4 || Ketua HMJ AFI
Jum’at,
21 Februari 2020 Himpunan Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat Islam (HMJ AFI)
melaksanakan agenda diskusi rutin mingguan, yakni (SKAF) di ruangan U37 gedung
KH Arif Mustakhim, IAIN Tulungagung. Diskusi
kali ini mengusung tema “Lembaga Eksekutif
Kampus: Katanya Emansipasif Tapi Malah Misoginis”. Pemateri merupakan Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Institut
(DEMA-I), yaitu Doni Yusuf dan Fitria Rizka Nabelia sebagai perwakilan dari mahasiswi Aqidah dan Filsafat
Islam. Serta dimoderatori
oleh M. Rafhi Setiawan, mahasiswa Aqidah
dan Filsafat Islam semester empat.
Tema diskusi SKAF berkaitan
dengan kasus yang sedang viral di media sosial, yakni akun BEM FT UNJ yang
mengeblurkan foto semua penggurus perempuannya. Maklum saja jika isu
ini menjadi booming serta memicu
banyak kontrovesi di kalangan para aktivis perempuan maupun para feminisme.
Sebab konteksnya menyangkut lembaga eksekutif kampus. Banyak yang menyatakan apabila sikap BEM
FT UNJ dianggap sebagai sikap misoginis. Alhasil,
setelah kritikan menghujaninya, pihak
BEM
FT UNJ beralibi bahwa foto
tersebut merupakan keinginan dari para penggurus perempuannya sendiri.
Permasalahan
ini menimbulkan bias tafsiran. Sebab
obyek yang dipersoalkan hanya sebuah foto. “Para aktivis perempuan pun
mempertanyakan, mengapa semua perempuan dalam foto tersebut baik berjilbab
maupun tidak menjadi sasaran blur juga? Kalau
dasarnya atas nama solidaritas, kenapa hanya perempuannya saja yang diblur
sedangkan laki-lakinya tidak? Jika memang salah satu dari penggurusnya tidak
mau mengekspose fotonya, sekalian juga semuanya tidak diekspose demi
kekompakkan katanya. Mungkin bisa mengubahnya dengan mencantumkan struktur
kepenggurusannya saja toh sudah cukup.” jelas Nabelia.
Sebenarnya
apa sih misoginis itu? Menurut
KBBI, misoginis merupakan
orang yang membenci perempuan. Sedangkan secara harfiah misoginis itu berasal
dari bahasa Yunani, terdapat dua suku kata misos dan gynist. Misos yang artinya
rasa benci dan gynist bermakna wanita, jadi misoginis merupakan kebencian
terhadap perempuan. Akan tetapi bukan sekedar benci pada segi fisik atau sifat
personal seorang perempuan, melainkan suatu sikap yang tidak memberi
kepercayaan terhadap perempuan untuk setara atau bahkan lebih unggul dari
laki-laki.
Perkara
misoginis sebenarnya telah
terjadi ratusan tahun yang lalu. Kurang
lebih pada abad ke-18. Apabila
dilihat dari sejarah filsafat Barat khususnya filsafat Yunani Klasik,
perempuan dianggap
sebagai setengah binatang. Sebab tidak menggunakan
akalnya dengan baik. Inilah yang
membuat perempuan tidak diakui sebagai manusia.
“Ada beberapa hal yang
dapat membentuk Ideologi mosoginis dalam diri seseorang. Pertama, faktor
traumatik seorang anak lelaki terhadap ibu. Anak lelaki yang sering melakukan
kesalahan akan dimarahi sampai dipukul ibunya, sehingga anak tersebut akan
mengalami fase trauma dan memiliki rasa dendam terhadap perempuan. Kedua,
misoginis itu bisa terjadi melalui budaya patriarki yang sudah terbentuk. Tidak hanya itu, kontruksi sosial
seperti kultur pragmatis juga menjadi sebab awal tumbuhnya misoginis. Ketiga, sejak kecil kita sering
di asupi doktrin-doktrin misoginis.
Misalnya,
ayah pergi ke kantor dan
ibu pergi ke pasar.”
tutur Nabelia.
Ideologi
misoginis dapat berdampak pada deskrimintif, pelecehan terhadap perempuan, dan
cenderung meremehkan. Sehingga perempuan dianggap sebagai obyek yang lemah.
Tanpa disadari konsepsi misoginis ternyata sering kita jumpai dalam organisasi
kampus. Seperti lebih banyaknya
pemimpin ataupun penggurus laki-laki dari pada perempuan. Dilihat dari
prosentase mahasiswa maupun mahasiswi IAIN
Tulungagung,
70 % adalah perempuan dan sisanya 30 % merupakan laki-laki. Namun, dalam praktiknya
bertolak belakang dengan representasi perempuan dalam lembaga eksekutif kampus.
Terbatasnya jumlah pengurus perempuan dalam lembaga eksekutif
kampus bukan berarti misoginis, “Dari 70 % mahasiswi
tidak semua ikut berproses dalam organisasi.
Kurangnya pengalaman dan keberanian untuk bersaing
menjadi salah satu alasannya. Namun DEMA I memberi wadah bagi perempuan untuk
mengutarakan aspirasinya dengan wujud adanya
kementerian
pemberdayaan perempuan.” tutur Doni.
Misoginis
tidak akan ada jika tidak ada budaya patriarki yang menungganginya. Sebab,
perempuan itu tampak tapi tidak boleh terlalu nampak dari laki-laki adalah konsepsi
patriarki. Sudah seharusnya kita mendukung penuh segala pencegahan misoginis di
kampus IAIN Tulungagung.
0 Komentar