The Prophet Of Rasionalism

Maulifatur Rohmah || Mahasiswa AFI Semester 2 || Sekretaris II HMJ AFI


Jum’at, 28 februari 2020 Himpunan Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat Islam (HMJ AFI) telah melaksanakan kegiatan diskusi rutin mingguan yang dinamakan SKAF (Study Club Aqidah Filsafat). Pada pertemuan kali ini hmj afi mengangkat tema “The Prophet Of Rasionalism”. Pemateri berasal dari mahasiswa aqidah filsafat islam semester 4, yaitu Anggun Sintiya dan dimoderatori oleh M. Rafhi Setiawan.

Memasuki pembahasan, Anggun Sintiya menerangkan tentang aliran Rasionalisme. Beliau mengatakan bahwa rasionalisme adalah paham filsafat yang menganggap bahwa akal adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan, atau bisa diartikan dengan menyembah kepada akal. Menurut aliran ini, suatu  pengetahuan dapat diperoleh dengan cara berfikir.  Ada 3 tokoh dalam aliran ini, tokoh pertama ialah Rene Descartes, selanjutnya Spinoza dan Leibniz.

Metode pemikiran tokoh pertama, yakni Rene Descartes (1596 – 1650) yang merupakan filsuf matematikawan Prancis atau sering disebut sebagai bapak filsafat modern. Descarte menggunakan metode analisis kritis ini dengan melalui keraguan dalam pencarian akan kebenaran, yaitu meragukan akan keberadaan benda-benda disekitarnya. Tidak hanya itu, ia  bahkan juga meragukan dirinya sendiri. Keragu-raguan Derscartes adalah keragu-raguan metodis yang dipakai sebagai alat untuk menguji penalaran dan pemikiran dengan tujuan untuk mendapatkan kepastian. Dalam pernyataannya Descartes mengatakan “Cagito Ergo Sum” yang artinya aku berfikir maka aku ada. Ini merupakan pola analisis Descartes akan keadaan dirinya dengan metode skeptis.

Selain Cagito Ergo Sum, Descartes juga mempunyai karya yang lebih terkenal, yaitu Discourse de la Methode dan Maditationes de prima philosophia. Ada 3 ide dalam diri manusia yang dibedakan oleh Descartes sendiri. Pertama innate ideas, ialah ide atau pemikiran bawaan manusi sejak ia lahir. Kedua Adventitious idea, ialah ide yang berasal dari luar manusia itu sendiri. Ketiga Fctitious idea, yaitu ide yang dilahirkan oleh fikirannya sendiri. Menggunakan metode itulah segala sesuatu harus dipecahkan dengan rasio (akal).

Descartes  mungkin takut bahwa dengan adanya berfikir tidak akan membawa kepada kebenaran, tapi malah kepada kesalahan. Artinya, pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa  kepada kebenaran, melainkan kepada kesalahan. Tapi, Ia tetap berfikir meskipun ada yang mengontrol pikirannya yang selalu mengarahkan ke jalan yang salah.

Tokoh yang kedua, Spinoza (1632 – 1677) yang merupakan filsuf keturunan Yahudi – Portugis lahir dan besar di Belanda. Pikiran Spinoza ini berakar dalam tradisi Yudaisme. Pemikiran Spinoza yang terkenal adalah ajaran mengenai substansi tunggal Tuhan atau alam. Ia mengatakan bahwa Tuhan dan alam semesta adalah satu dan Tuhan juga mempunyai bentuk yaitu seluruh alam jasmaniah. Karena ia berfikiran seperti ini, Spinoza akhirnya disebut sebagai penganut panteisme-monistik. Spinoza selalu dipengaruhi oleh Descartes dan mulai meninggalkan ajaran-ajaran kuno. Dia adalah seorang yang menekankan persoalan kebebasan  berfikir.

Spinoza mengartikan substansi sebagai sesuatu yang ada dalam pikirannya sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri. Artinya setiap satu konsep itu tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya. Jadi substansi ialah apa yang berdiri sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri. Sifat-sifat  dari substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak yang berati tidak tergantung kepada yang lainnya. Spinoza mengatakan bahwa hanya ada satu yang memenuhi semua arti ini, yaitu Allah. Hanya Allah yang mempunyai sifat abadi, tidak terbatas, mutlak, satu, dan utuh.

Pemikiran Spinoza ini menjadi sangat menarik karena menggunakan metode geometri. Spinoza mengatakan bahwa tuhan adalah sesuatu yang difikirkan. Oleh karena itu tidak harus langsung dibenarkan ataupun disalahakan. Jika statemen Spinoza seperti itu, maka itulah yang harus ia yakini. Pada dasarnya manusia memang mempunyai keterbatasan indera. Oleh karenanya sangat tidak  mudah untuk menangkap perwujudan tuhan secara langsung. Itu hanya akan memberikan stimulus bahwa tuhan hanya ada didalam pikiran.

Tokoh yang terakhir, Leibniz lahir pada tanggal 1 Juli tahun 1646 di Leipzig. Ia adalah putra dari seorang profesor. Leibniz banyak membaca karya-karya klasik, skolastika, dan puisi-puisi kuno pada masa ia muda dulu. Ia meraih gelar doktor pada usia dua puluh tahun. Leibniz berfikir ada banyak substansi yang disebut dengan monad, (Monas : satu, monad : satu unit). Apabila dalam ilmu matematika yang terkecil adalah titik dan dalam ilmu ilmu fisika disebut atom, maka dalam metafisika disebut dengan monad.

Menurut pendapat Leibniz monad lebih kecil dari pada atom, sehingga yang dimaksud dengan monad-monad ialah bukan sebuah benda, melainkan substansi atau kenyataan mental yang terdiri dari presepsi dan hasrat, hasrat dan presepsi muncul selalu dipengaruhi oleh lingkungannya. Leibniez menggunakan konsep seperti ini, sebelum menulis La Monadologie. Monas sendiri berasal dari kata monos yang artinya satu. Monad adalah suatu konsep mengenai kesadaran diri tertutup. Setiap Monad memiliki sifat yang tidak terbatas jumlahnya dan mencerminkan alam semesta. Monad sendiri tidak mempunyai kualitas, karena hanya tuhanlah yang mengetahui akan setiap monad-monad itu. Hal ini disebabkan karena monad-monad itu berbeda satu dengan yang lainnya.

Monad itu adalah sebutan substansi terkecil dalam metafisika, yang tidak saling berinteraksi dengan substansi-substansi yang lainnya. Pada dasarnya substansi itu bukan benda jasmaniah, ia memang murni spiritual-mental. Monad sendiri bersifat abadi, tidak bisa dibagi, tidak beruang dan berwaktu, tidak bisa dihasilkan ataupun dimusnahkan, ia bersifat individual atau berdiri sendiri sehingga tidak ada monad yang identik dengan monad yang lainnya. Karena sifat-sifat inilah Leibniz mengartikan monad sebagai atom-atom sejati dari alam dan hanya apabila monad tersebut ada dalam jasad-jasad organik, monad-monad itu akan menjadi prinsip kehidupan.

Apabila diambil kesimpulan, berfikir rasional berati mendasari pikiran dengan akal dan logika. Rasionalisme adalah paham yang menganggap bahwa pikiran dan akal merupakan dasar satu-satunya untuk memecahkan kebenaran. Para tokohnya seperti Descartes, Spinoza, dan Leibniz berusaha menjelaskan bagaimana suatu pengetahuan didapatkan dari rasio yang ada pada diri manusia.

Posting Komentar

0 Komentar