Bangunkan Aku Pada Pukul 6 Pagi
Dalam sebuah dunia yang fana,
ada satu makhluk yang benar nyata adanya
namanya adalah rindu
warnanya entah apa, mungkin hanya siluet hitam pekat
bentuknya entah apa, mungkin seperti labirin bersekat-sekat
ia kerap kali muncul saat tuannya bersentuhan dengan jarak
atau saat tuannya terpenjara dalam dinding berserak
parahnya, ia akan mencabik-cabik isi kepala tuannya
saat yang dirindunya telah bersemayam pada dimensi yang berbeda
akulah pemilik rindu itu
yang hanya bisa berbisik pada malam yang tuli
dan berbincang pada senja yang bisu
mataku memang jalang
selalu iri pada anak yang dengan lelakinya tak terpisah ruang
otakku memang bebal
selalu menyalahkan takdir yang kuanggap gagal
maka dari itu,
biarkan aku terlelap semalam saja
menikmati candramawa malam yang penuh derita
esok saat jam dinding sudah menunjukkan pukul 6 pagi, bangunkan aku
aku akan bangkit
dan menemui candu dari segala rinduku
memeluknya erat-erat dan menangis di dada bidangnya
meski ia sudah dibalut lembaran kain putih
dan ditali seperti gula-gula favorit anak kecil
aku tak peduli
aku akan tetap berlama-lama dalam peluknya
karena dunia tak pernah lebih luas
daripada cintanya yang tak terbatas
cinta yang tetap ada, meski raganya tak lagi kasat mata.
Nasywa Fauzia Zahro
Rindu Bukanlah Hal Fana
Ketika rindu mulai mneyapa
Sanggupkan aku memendamnya dalam sunyi
Ditemani derai air mata yang tak henti
Terkulai dalam rindu yang tiada bertepi
Dengarlah . . .
Cerita ini masih berkisah tentang rindu
Mungkin bagimu hanya sebatas semu
Meski pilu namun bagiku tetaplah candu
Walau sebatas angan diriku ingin bertemu
Kini . . .
Kuharap hadirmu mengubah ilusiku
Sempurnakan hilangnya separuh duniaku
Pecahkan sepi yang kian membisu
Seperti getar hati yang kian menggebu
Sudahlah
Lelah dan tertatih mencari seribu cara
Bukan hasil melainkan ilusi belaka
Ingin kubendung namun apalah daya
Rindu itu ada bukanlah hal fana
Nevita Wahyu
Meraung Gelisah, Rindu Tak Berujung
Sepenggal malam meninggalkan yang hitam
Sajak sajak lusuh berserakan
Halaman telah berubah kosong
Hampa menggema, bersinggung perihal rasa
Kemana gending bertabuh?
Suara berisik menjelma menjadi berbisik
Berteriak kencang pun tiada makna
Harmoni rindu mengalun dengan sendu
Kepada siapa ia meraung gelisah?
Sungguh, pekik jeritnya menyesakkan dada
Sebab rindu ialah wujud nyata, bukan hal fana
Meski diranggas oleh waktu
Tak akan pernah terbayar hingga tuntas
Merambah dalam sendi sendi jiwa
Menelusup kedalam sukma
Riska Maryanti
Rindu Itu Ada
Memilih pergi dalam sepi, menuju puncak tak bertepi
Berjalan gontai tanpa energi, penuh api dalam hati
Tiap detik tanpamu membuatku bersusah hati
Semua tentangmu itu abadi
Bagai malam yang merindukan pagi
Kutitipkan doa tiap kali berdoa pada ilahi
Kutuliskan namamu dalam hati
Kurapalkan tiap waktu agar damai hati ini
Mengenangmu memang sakit, bagai menginjak belukar
Perih, pedih, pun lara
Meski begitu, aku akan tetap melakukannya
Karena aku sadar, rindu itu memang ada
Thoifatul Ningtyas
Rindu Itu Aku
Beberapa kalimat sempat mewakilkan rasa
Sesaat sebelum musik bernada
Kala kereta masih berjalan biasa
Aku masih baik-baik saja
Seperti sebelumnya
Ini bukan sebuah cerita amatir
Melainkan langkah dipandu takdir
Ditemani pagi yang masih merdu berdzikir
Menghilangkan khawatir
Dari hati yang sempat berhenti berpikir
Berawal dari alur Tuanku
Aku hidup menjadi Rindu yang pemalu
Bukan sebab yang lalu
Aku takut menjadi Rindu yang menunggu
Dan mati diantara bait yang pilu
Rindu itu aku
Pernah membisu tak mau mengaku
Pernah mencipta rasa tertutup ragu
Tuan, maafkan aku
Sanubari menutup untuk yang lebih dulu
Rindu itu aku
Yang berpuisi dimalam sabtu
Bersamamu, yang berdiri dibelakangku
Mendengarkan syair sendu dari mulutku
Diam, dirimu kala itu
Rindu itu aku
Nyata adanya berjasad kaku
Tuan, ku tak mau menunggu dan ditunggu
Namun bila Rindu
Memang benar, obatnya adalah temu
Fopi Nopiah
0 Komentar