M. Rafhi Setiawan || Mahasiswa AFI Semester 4 || CO Devisi PSDM HMJ AFI
Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq as-Sabbah ibn Imran
ibn Ismail Al-Ash’ats ibn Qais Al-Kindi, adalah filsuf pertama yang lahir dari
kalangan Islam. Al-Kindi lahir di Kufah (sekarang Iraq) tahun 801 M pada masa Khalifah Harun
Ar-Rasyid (786-809 M) dari Dinasti Bani Abbas (750-1258 M). Menurud Fuad
Ahwani, Beliau lahir dari keluarga bangsawan, terpelajar, dan kaya.
Meskipun ditinggal ayahnya sejak kecil, Al-Kindi
melewati masa kecil layaknya anak-anak pada zamanya. Menghafal Al-Quran, mempelajari tata bahasa Arab, kasusatraan Arab serta
ilmu hitung yang merupakan kurikulum wajib saat itu. Pelajaran Fiqh dan ilmu
kalam juga pernah beliau pelajari, tetapi al-Kindi terlihat lebih condong
kepada ilmu pengetahuan dan filsafat. Terlebih ketika meninggalkan Kufah dan
berdomisili di kota Bagdad.
Al-kindi meninggal di bagdad, tahun 873 M.
Menurut Atiyeh, Al-Kindi meninggal dalam kesendirian dan kesunyian, hanya ditemani
oleh beberapa orang terdekatnya saja. Ini adalah ciri kematian besar seseorang
yang sudah tidak dicintai lagi, tetapi juga sekaligus kematian besar seorang
filosof yang menyukai kesunyian.
Al-Kindi termasuk filosof muslim yang
produktif. Ia juga merupakan satu-satunya filosof Muslim
keturunan Arab asli. Belau menulis banyak karya meliputi banyak bidang ilmu pengetahuan. Seperti karya tulis di bidang filsafat, kosmologi, logika (madani, 2015:108).
Riwayat dalam penyusunan filsafatnya di kota Bagdad,
beliau di dukung oleh tiga khalifah Dinasti Abbasiyah. Baik dukungan moral maupun dukungan berupa materi. Al Ma’mun, al Mu’tasim
dan al Watsiq memberikan dukungan karena juga memiliki minat yang tinggi pada
pengetahuan. Oleh sebab itu mereka menyetujui keberlangsungan
kegiatan belajar mengajar, kegiatan ilmiah, filosofis dan kasusastraan (Basri,2013).
Pada awal sebelum mendapat dukungan, pemikiran
al-Kindi pernah mendapat penolakan dari masyarakat Islam pada umunya. Karena
filsafat pada kala itu dianggap tabu. Tetapi Al-Kindi berhasil dalam menyelaraskan
Agama dan Filsafat. Sehingga lahirlah karya fenomenal beliau sebuah buku yang
berjudul “al-Falsafah al-Ula”.
Pemikiran filsafat al-kindi merupakan refleksi
dari pemikiran filsafat yunani klasik, yaitu konsep pemikiran dari Aristoteles
tentang kebenaran pertama. Kebenaran yang tidak didasarkan atas ide-ide
Plotinus (204-270M). Menurut Al-Kindi, kebenaran pertama adalah penggerak
pertama yang merupakan sebab dari semua kebenaran.
Kemudian Al-Kindi menggambarkan pengetahuan pertama sebagai pengetahuan yang paling
mulia. Sebab subjek kajianya adalah sesuatu yang paling mulia dari semua realitas.
Berdasarkan hal ini, Al-Kindi mendefinisikan metafisika sebagai pengetahuan
tentang hal-hal ilahiyah, yang dalam konsep Aristoteles disebut sebagai
penggerak yang tidak bergerak. (Sholeh, 2016:1)
Meski begitu, konsep tentang yang ilahiyah ini
tidak meliputi segala yang wujud sebagai wujud (being qua being),
sebagaimana dalam pemikiran Aristoteles. Dalam konsep pemikiranya, Al-Kindi
lebih memfokuskan pada pembahasan tentang Tuhan. Sehingga Al-Kindi tetap
memiliki pandangan orisinil tentang pemikiran filsafatnya. (Sholeh, 2016:1)
Dalam pemikiran filsafatnya, Al-kindi menulis
tentang tiga ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, yaitu: pengetahuan
indrawi, rasional dan irsyaqi atau iluminasi. Pengetahuan indrawi berasal dari respon manusia terhadap objek material
menggunakan alat indra. Kemudian objek tersebut menjadi sebuah imajinasi (musyawwiroh). Lantas dari imajinasi akan berpindah ke tempat penampungan yang disebut
hafidzah (recolection). Pengetahuan yang diperoleh dengan cara ini tidak
tetap dan akan selalu berubah-ubah.
Menurut al-Kindi, metode indrawi memiliki
kelemahan. Salah satu kelemahan dari metode indrawi adalah keterbatasan indra
itu sendiri. Contoh ketika kita melihat
pohon (objek) dari kejauhan, pohon tersebut akan terlihat kecil di mata (alat
indra) kita. Namun jika kita mengurangi jarak antara alat indra dan objek
(mendekat kepada pohon), maka pohon tersebut akan terlihat lebih besar. Apakah
objek tersebut berubah? Tidak, pada dasarnya indra kita yang tidak mampu
menangkap ukuran besar-kecilnya pohon (objek) dari jarak yang berbeda.
Selanjutnya adalah pengetahuan rasional, pengetahuan
tersebut bersifat universal, tidak parsial dan immaterial. Contohnya ketika
orang mengamati manusia menggunakan indranya, akan bertemu sebuah fakta dengan
ragam bentuk fisik manusia. Namun apabila orang tersebut mengamati manusia dengan
memulai dari bertanya hakekat dari manusia itu apa, pengamatan tersebut akan
sampai pada titik bahwa manusia itu adalah makhluk yang berfikir (rational
animal).
Seperti halnya pengetahuan indrawi,
pengetahuan rasional juga memiliki kelemahan. Menurut Al-Kindi, realitas itu
sangat luas sehingga akal tidak akan sanggup menampung seluruh pengetahuan yang
ada. Akal hanya sanggup memikirkan sebagian dari realitas yang ada, meskipun
kerja akal telah terbantu oleh indra.
Kemudian pengetahuan Isyraqi (iluminasi Al-Kindi). Merupakan sebuah metode
pengetahuan yang datang langsung dari pancaran Nur-Ilahi dan merupakan sebuah
jawaban dari ketidak sempurnaan kerja sama antara akal dan indra. Kisah para
nabi yang mendapatkan pengetahuan dari tuhan melalui perantara Malaikat Jibril adalah sebuah bukti nyata bahwa pengetahuan Isyraqi benar adanya.
Seperti Nabi Muhammad SAW, dikisahkan
sebagai Nabi yang tidak bisa membaca dan menulis.
Namun ketika ditanya
oleh para sahabat Nabi Muhammad menjawab dengan pengetahuanya. Pengetahuan yang
digunakan tersebut adalah berasal dari Nur-Ilahi, bukan sebuah hasil dari kerja
akal dan indra.
Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya
pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran wahyu. Akal meyakinkan pengetahuan
tersebut dari Tuhan. Sebab pengetahuan itu datang sebab manusia tidak
mampu mengusahakanya dan memang itu benar-benar berada di luar batas kemampuan
manusia.
Menurut Al-Kindi, seorang filsuf harus mampu
mencapai pengetahuan tertinggi, yakni ‘illah.
Baginya, mengetahui ‘illah itu lebih utama dari pada mengetahui ma’mulnya. Pengetahuan tentang ‘illah pertama itu tersimpul di semua aspek filsafat. ‘Illah pertama adalah Tuhan. Tuhan merupakan sebab dari
segala yang ada, realitas yang dapat orang lihat setiap harinya merupakan
diawali oleh keberadaan Tuhan.
Al-Kindi menegaskan bahwa kita tidak harus
malu mengagumi atau memperoleh kebenaran dari manapun asalnya. Bahkan kalau ia pun datang dari negri-negri yang jauh dan dari bangsa asing.
Terlepas dari ketidak sempurnaan sistematika dalam filsafat Al-kindi, tetap
saja beliau merupakan tokoh yang sangat berjasa. Al-Kindi merupakan peletak
batu pertama dalam perjalanan tradisi Filsafat Islam.
0 Komentar