Guru Kehidupan

Karya : Ahmad Basil Fajari Waliyuddin
Universitas Muhammadyah Malang


Hai, aku seorang siswi SMA Negeri pada salah satu kota di pulau Kalimantan, hidupku cukup sederhana kebanyakan waktuku habiskan pada perpustakaan daerah untuk mengetahui lebih baik apa sebenarnya hidup ini. Apa kamu tau apa itu kehidupan? Tenang kita sama, masih terjebak di ruang hampa dengan bertahan pada secercah cahaya yang dinamakan pendidikan.

Di mana sopan santunku, sebelumnya perkenalkan namaku Attika, seperti apa latar belakangku? kamu tidak akan tertarik, lagi pula siapa yang tertarik dengan cerita anak yatim dengan tumpukan bukunya. Jadiku rasa mari kita mulai beranjak ke cerita yang lebih menarik.

Saat itu hari yang biasa dengan cuaca yang biasa pula, sedikit berangin menjelang senja dengan buku – buku yang selalu menjadi temanku, untuk melawati hari demi hari berharap kelak aku paham apa yang sedang aku lakukan sekarang. Entahlah terkadang keseharian sebagai pelajar cukup melelahkan, seolah selalu ada bayangan gelap memaksa setiap insan untuk mendapatkan nilai terbaik bagaimanapun caranya, aku rasa pengetahuan sudah tidak memiliki nilai lagi sekarang ini, toh pada akhirnya yang dibutuhkan semua orang adalah selembar kertas bertuliskan kata LULUS, bukan tentang mengetahui mengapa manusia berbeda dengan hewan menyusui lainnya, apalagi tentang mengapa sedari awal kita ada dalam dunia penuh kompetisi ini.

Selalu menyenangkan berada di ruangan ini, layaknya seorang ratu segala kebutuhanku terpenuhi, ruang dengan pendingin ruangan, akses internet, dan tentu saja ratusan buku di sekelilingku yang bisa di dapatkan secara cuma – cuma dengan mendaftar sebagai anggota perpustakaan, namun terkadang semua hal ini membuatku tenggelam dalam dunia fantasi yang sulit membuatku pulang tepat waktu. Ibuku punya perangai cukup buruk, menjadi orang tua tunggal mungkin menjadi satu di antara alasannya, alasan lainnya tentu saja pekerjaan berat seorang wanita karir, kerasnya persaingan kerja, tingginya biaya hidup di kota ini dan sepertinya harinya sedang buruk saat itu karena pintu terkunci rapat, tanpa ada jawaban dari setiap ketukanku, yang mana artinya malam itu aku akan tidur di garasi ditemani tiga buku yang di pinjam dari perpustakaan.

Pojok garasi dengan penerangan redup dan selembar selimut hampir terasa sangat pas dengan tubuhku seperti kacang dengan kulitnya. Dari ketiga buku itu, ada satu buku yang membuatku tertarik, sebuah buku tua dengan sampul coklat yang dibungkus terburu -  buru bertuliskan PLATO, bisa ku bilang di sini bagian menariknya, kamu pernah terlelap dan dengan sekejap mata masuk ke dalam sekenario aneh kehidupan yang tak pernah kamu jalani? karena itulah yang terjadi ketika aku membalik lembaran pertama buku bersampul coklat itu. Semoga aku masih mengingat setiap kejadiannya dengan saksama.

Akanku mulai dari kesan pertamaku pada kehidupan itu, rasanya “takjub” adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku kala itu, perasaan di mana ketika kamu berdiri di tengah – tengah aula besar dengan bangunan megah dan orang – orang berbusana putih bervariasi emas dan merah khas kebudayaan Yunani kuno berjalan di sekelilingku. Entah mengapa, rasa saat itulah aku merasa hidup seutuhnya, dengan seluruh perasaan itu seolah untuk inilah aku hidup.

Saat itu aku sadar betul, bahwa untuk pertama kalinya aku merasakan kebebasan tanpa ada satu aturan pun yang akan menghalangiku untuk menjelajahi tanah Yunani ini. Segalanya tampak menarik, damai dan begitu teratur. Dari segala penjuru aku dapat melihat semua orang berjalan dengan sangat gagah dan anggun, dengan dagu yang terangkat seolah ingin menunjukkan bahwa mereka adalah orang paling berkuasa di tempat  ini dan beberapa dari mereka diikuti oleh pria dan wanita yang berjalan menunduk membawa guci, perkamen, sayur – mayur, bahkan sampai dengan hewan ternak, berusaha mengikuti setiap langkah orang di depannya. Namun dari semua hal tersebut perhatianku terkalihkan oleh dua orang yang berada di ujung jalan, mereka tampak berbeda dari yang lainnya, seolah kedua orang itu ingin menunjukkan versi terbalik dari kondisi ideal di sekitarnya. Orang yang berada di depan walau tidak memiliki paras yang begitu tampan namun memiliki senyuman sederhana seolah ingin menyambut orang – orang yang berjalan melewatinya, begitu pula dengan pakaiannya sangat sederhana tanpa mengenakan alas kaki. Sedang orang yang berada di belakang tampak lebih menarik dengan tatapan antusias terhadap percakapan yang dilakukan sesekali oleh orang yang mari kita sebut saja sebagai tuannya, dengan orang yang berlalu lalang di sekitar mereka.

Aku cukup menikmati pemandangan pada aula bundar itu, sampai akhirnya aku harus berkedip, karena harus ku akui cukup melelahkan melihat semua hal baru ini sekaligus. Kamu tahu apa yang menakjubkan ? Seketika seluruh latar aula itu seolah bertransformasi menjadi gang sempit dengan lumut pada dinding kiri dan kananya, ketika aku membuka mata kedua orang yang tampak berbeda tadi kembali muncul pada latar itu, hingga aku menyadari mereka bukanlah tuan dan budak, melainkan guru dan murid. Sang guru tampak begitu tenang melihat ke arah langit dan berbicara tanpa henti dengan sang murid yang begitu antusias memperhatikan setiap kata yang terlontar dari mulut sang guru sambil sesekali tampak seperti mengajukan beberapa pertanyaan. Kemudian aku melakukan kedipan keduaku pada dunia itu.

Dunia seolah tertelan menjadi gelap gulita dan samar – samar ku dengar derap kaki dari kejauhan yang terus mendekat seolah ingin menghantamku dengan kecepatan penuh. Benar saja ketika cahaya pertama terlihat muncullah dua barisan tentara yang bergerak melewatiku tepat di kiri dan kananku. Saat itu aku menyadari dua hal, pertama aku mulai memahami cara kerja dunia ini, yakni satu kedipan mata untuk satu peristiwa dan nampannya aku sedang mendapati peran sebagai manusia tak kesat mata. Kedua diriku sudah mulai beradaptasi dengan dunia ini karena rasa keingintahuanku seolah sudah menggerakkan tubuhku untuk mencari tahu ke mana gerangan barisan prajurit dengan seragam besi lengkap ini beranjak, serta tentu saja kedua mataku terbuka lebar dan enggan untuk berkedip kali ini. Dari kejauhan aku dapat melihat sang guru sedang digiring oleh para prajurit menuju suatu tempat melewatiku, betapa terkejutnya aku ketika sang guru terus bergerak ke arahku tanpa mengisyaratkan untuk berhenti dan menabrakku begitu saja, tentu saja hal itu mengakibatkan kedipan ketigaku di dunia ini.

Sekarang aku sedang berada pada sebuah tempat yang berisikan sekitar 500 orang pada sisi yang satu dan beberapa orang pada sisi yang lainnya, dan di mana sang guru? Sekarang ia tepat berada disamping-Ku memegang sebuah wadah berisikan cairan, dengan suara riuh yang cukup mengganggu sebagai latarnya. Dari kejauhan aku dapat mengatakan samar – samar terlihat sang murid namun bukan dengan paras antusiasnya melainkan paras sedih, melihat sang guru meneguk cairan itu dan seketika tumbang dengan wajah tersenyum, mengisyaratkan sebuah kepuasan terhadap apa yang telah dilakukannya semasa hidup. Tanpa ku sadari, air mataku mengalir seolah tidak dapat menerima tentang kejadian yang telah ku saksikan, terhadap orang yang tak ku kenali ini dengan kedua mataku, namun sebelum sampai menuju bumi yang ku pijak, air mataku tertahan dengan lengan bajuku yang sekarang telah menutup kedua mataku dan menjadikannya kedipan keempat pada dunia yang aneh ini.

Kegelapan kali ini tidak berubah begitu berbeda, hanya ada cahaya lilin di ujung kegelapan menerangi seseorang yang sedang menuliskan sesuatu, ia adalah sang murid namun dengan tampilan yang jauh berbeda dari sebelumnya dan ia juga tampak lebih tua kali ini, sesekali aku dapat melihatnya memejamkan mata seolah ingin mengingat kembali percakapan sang guru dan menuliskannya pada selembar perkamen yang diterangi sinar lilin di hadapannya. Sampai akhirnya aku melihat seseorang dengan lilin di tangannya beranjak  menuju lokasi sang murid yang sedang mengekspresikan apa yang ada dipikirkannya melalui gerak lincah tangannya, tak hanya itu aku pun dapat melihat ruangan itu dipenuhi banyak perkamen serupa di seluruh penjuru ruangan. Namun saat itu aku cukup kesal karena sebelum ku mengedipkan mata untuk kelima kalinya semua sumber cahaya menghilang dan memaksaku untuk berpindah ke lokasi lain begitu saja..

Kali ini sang murid terlihat lebih berwibawa dan jujur saja dapat ku rasakan sebuah kekuatan lain memaksaku untuk bergerak mengikutinya, berdampingan dengan seorang pemuda yang mungkin berusia sekitar 17 tahunan. Terkadang saat kami berjalan beberapa orang tersenyum dan menunduk ringan seolah ingin memberikan penghormatan kepada kami, kami pun berjalan dari daerah perkotaan Yunani yang saat itu kusadari adalah kota Athena karena bangunan parthenon yang menjadi khas kota itu, menuju ke utara daerah yang lebih banyak ditumbuhi pepohonan. Kami terus berjalan menyusuri hutan itu hingga akhirnya berhenti pada sebuah bangunan di dalam hutan ,dan dapat ku dengar samar – samar sang murid berucap hekademia kepada pria disamping-Ku yang melihat sang murid dengan tatapan yang sama persis ketika ia masih bersama sang guru dulu. Begitulah aku menyadari sang murid sekarang telah berubah menjadi guru dari pemuda tersebut.

Seolah merasa cukup saat itu dengan kemauanku sendiri ku kedipkan mataku untuk yang kelima kalinya di dunia itu, seperti biasa dunia menjadi gelap, samar – samar dapat ku lihat pemuda itu sudah lebih tua 20 tahun atau lebih, beranjak meninggalkan bangunan itu diikuti oleh kegelapan dibelakannya menghampiriku, dan saat kusadari semua sudah kembali gelap tanpa seberkas cahaya pun, dan aku yakin dapat mendengar seseorang mengucapkan sebaris kalimat “Plato scribend est mortuus”. Hal terakhir yang kuingat setelah kejadian itu adalah aku terbangun tepat di atas selembar selimut dengan bau apak yang aku kenali dan buku bersampul coklat terbuka yang berada di tangan kananku.

Ya, jujur saja baru pertama kali aku bangun dengan perasaan sepuas itu, perasaan yang dapat membawa seseorang ke titik mana pun yang akan ia raih, sebuah keyakinan bahwa semua orang dapat menjadi guru dan bumi tempat kita berpijak merupakan sebuah tempat belajar yang terhampar luas untuk kita semua. Namun terlepas dari itu semua sekarang aku bukanlah gadis SMA dengan cerita menyedihkan lagi, semangat sang murid seolah telah merasuk ke dalam jiwaku dan mengantarkan langkahku untuk menjadi seorang mahasiswi salah satu kampus di pulau Jawa. karena yang ku tahu pasti pendidikan tidak hanya kita dapatkan dari instansi – instansi yang kelak memberikanku selembar kertas untuk melamar pekerjaan, melainkan dari seluruh tindakanku dalam menjalani hidup ini, baik dari buku – buku, percakapan orang di sekitar kita, dan bahkan dari menulis.

Tentu saja tidak lucu bukan, jika di usiaku ini aku masih belum mengetahui siapa sebenarnya mereka yang berada dalam dunia mimpi itu, setidaknya aku dan kamu perlu mengetahui siapa mereka sebenarnya, ya sang guru adalah Socrates, sang murid adalah Plato, dan pemuda itu adalah Aristoteles, entah bagaimana kamu mengenal mereka, tapi bagiku mereka adalah guru kehidupan yang mengajarkanku cari menjalani hidup ini, yakni  dengan menjadi diri sendiri serta belajar dan membagikannya, karena dengan itulah kita dapat dikatakan hidup.

Posting Komentar

0 Komentar