Karya: Alfina Azza
Azkiya
Tadris Matematika, IAIN Tulungagung
Aku,
adalah seorang gadis bertubuh gempal bahkan bisa dikatakan overweight yang memiliki tubuh tidak terlalu tinggi, berkacamata
dan memiliki wajah yang sangat jarang tersentuh keajaiban makeup. Walaupun begitu, bukan berarti aku tidak pernah merasakan
keajaiban makeup seperti sewajarnya
gadis normal lainnya. Wajahku bisa
menjadi colour full seperti taman
bunga dadakan di sudut kota dalam rentang waktu tertentu, biasanya 3 sampai 4
tahun sekali yaitu, saat mengikuti parade budaya mewakili sekolahan atau saat
mengikuti farewell party di setiap event akhir bangku pendidikan.
Aku
memang tidak pintar dan tidak suka dengan kegiatan mempercantik diri, apa pun
itu bentuknya, entah itu dandan entah itu memadukan pakaian ataupun kegiatan
kecantikan lainnya, entah mengapa aku tidak begitu tertarik dengan hal itu. Aku
sangat minim pengetahuan mengenai senjata semua perempuan yang dapat merubah
kanvas polos menjadi bak lukisan yang indah, yaitu make up. Aku bisa dikatakan tidak modis dalam berpakaian. Aku
mengenakan kacamata kotak kecil dan memiliki rambut yang tidak begitu indah.
Mulai dari usia balita, aku tumbuh dan berkembang sangat baik dan cepat, tinggi
badanku terus bertambah begitu pula dengan berat badanku. Memasuki fase usia 4
tahun, balita bertubuh gempal seperti aku menuai banyak pujian mulai dari imut
sampai menggemaskan. Banyak mata yang terpesona dan pipi bakpaoku menjadi
sasaran cubitan gemas mereka, bahkan banyak orang tua yang iri mengapa anak
mereka tidak bertubuh subur seperti aku. Memasuki fase usia sekolah untuk
pertama kali yaitu Taman kanak-kanak, tubuh gempalku belum menjadi masalah
berarti. Ruang gerak dalam bermain tidak menjadi masalah bagiku, karena
walaupun aku memiliki tubuh yang gempal aku tidak kesulitan dalam beraktivitas.
Di luar
hal itu, aku juga sering dijadikan perwakilan sekolah untuk mengikuti parade
budaya se-Kecamatan karena aku dianggap menjadi salah satu murid yang menggemaskan.
Masa Taman kanak-kanak aku lewati dengan penuh keceriaan dan kebahagiaan. Tidak
terasa usai sudah pendidikanku di taman kanak-kanak. Bukannya sedih, malah aku
sangat bahagia kala itu, pagi itu merupakan pagi terindah di hidupku, bagaimana
tidak, saat melihat pengumuman lulus tes masuk Sekolah Dasar namaku telah
bertengger di sana. Pengumuman itu sukses membakar 100% semangatku, aku tidak
sabar untuk menunggu hari pertamaku mengenakan baju putih merah. Aku sangat
antusias untuk bertemu teman-teman baruku. Akhirnya, yang aku tunggu-tunggu
datang juga, hari pertama masuk Sekolah memakai seragam putih merah.
Aku
berangkat sekolah bersama Ibuku menggunakan sepeda motor, sepanjang perjalanan
aku sudah membayangkan serunya sekolah baruku. Sesampainya di depan gerbang, aku
turun dan berpamitan pada Ibuku “Mah,
aku masuk ya. Aku mau sekolah” lalu aku mencium tangan Ibuku. Dengan lembutnya,
Ibuku mencium keningku sembari berkata “Iya, hati-hati tidak boleh nakal, nanti
Mama tunggu di sini ya kalau pulang langsung kesini” dengan polos dan penuh
kegirangan aku hanya menganggukkan kepala dan melambaikan tangan kemudian
langsung lari ke arah kelas yang kemarin saat pendaftaran sudah diperkenalkan
sebagai kelas pertamaku. Di sana aku menemui beberapa orang baru, aku memang
bukan tipe orang yang pendiam dan introvert, sehingga saat bertemu orang baru
aku bisa tanpa malu untuk mengajak mereka berkenalan. Hari pertama,kedua,ketiga
dan hari-hari berikutnya aku lewati dengan lancar dan bahagia, terlebih aku
berada dalam satu kelas yang sama dengan sahabatku sedari kecil.
Tapi,
semakin lama, keadaan mulai berubah, ada yang berbeda dari perlakuan
teman-teman kepadaku terlebih teman-teman laki-lakiku, mereka mulai mengolok
fisikku, memandangku sebelah mata dan merendahkan aku karena fisikku. Pagi itu
adalah pertama kali aku diolok mereka di depan umum, kala
itu saat aku kebetulan mendapat tempat duduk dibangku paling depan, seketika
itu pula tanpa berpikir panjang salah satu dari mereka langsung menepuk
pundakku sembari berkata “Behh ojo nek kono nutupi blabak, gedimu sak blabak
ilo hahahahaha!” dan perkataan
itu disambut sorak tawa teman-teman yang lainnya. Satu-satunya yang tidak ikut
tertawa hannyalah sahabatku, Arya. Aku hanya tersenyum dan kemudian
berpura-pura ikut tertawa dengan mereka padahal hatiku bak disambar petir
disiang bolong. Beberapa hari kemudian.
Tidak
ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba salah satu dari teman laki-lakiku yang
sekelas pula dengan aku, tanpa sebab langsung mengolok fisikku dan menyamakanku
dengan gajah. Sehingga semenjak saat itu semua temanku memanggilku dengan
sebutan gajah. Sebenarnya aku tidak terima tapi aku bisa apa? Bukan hanya
teman-temanku bahkan Arya juga memanggilku begitu. Hanya 1 atau 2 orang saja
yang memanggilku dengan nama asliku yaitu, Azkiya. Semua hal menyedihkan itu
terkemas rapi dalam buku diaryku tanpa aku ceritakan sedikit pun pada keluargaku.
Jika Ibuku bertanya mengapa mereka memanggilku dengan sebutan ”Jah” aku menjawab
bahwa mereka memanggilku “Paijah”, padahal mereka memanggilku gajah. Selama di
Sekolah Dasar, banyak penolakan untuk diriku mulai dari hal kecil hingga hal
besar.
Seperti halnya
suatu hal sesederhana memilih kawan regu saat olahraga, banyak teman-temanku
yang tidak mau aku satu regu dengan mereka. Mereka menganggap aku hanya
penghambat kemenangan regu mereka, dan jika ada regu yang kebetulan mendapatkan
aku mereka menganggap itu hari apes bagi
mereka. Terlepas perkataan mereka hanya candaan dan mereka anggap lelucon tapi
perlakuan mereka benar membekas di hatiku, perkataan mereka telah sukses
membuat aku menyalahkan diriku sendiri. Itulah awal mulanya rasa percaya diriku
mulai menurun. Aku mulai malu dengan fisikku, aku mulai protes dengan
penciptaku, kenapa aku yang harus menerima semua hal buruk ini. Keadaan ini
merubah aku menjadi sosok introvert, bahkan bertemu orang baru saja aku tidak
memiliki nyali. Setelah hampir 6 tahun aku merasakan semua itu. Akhirnya
sekarang aku bisa bernafas lega karena tiba juga hari perpisahan ini.
Aku lega
karena aku bisa segera lulus dari masa-masa dimana aku hanya dianggap sebagai
sesuatu yang tidak berguna, walaupun dilain sisi aku juga sedih harus berpisah
dengan sahabat-sahabatku yang selama ini menguatkan dan selalu ada untuk aku.
Namun, kadar kebahagiaan lebih tinggi daripada kadar kesedihanku. Dengan semua
yang aku dapat dari bangku Sekolah Dasar, hal itu membuat aku takut untuk
menghadapi masa putih biruku. Hari pertama di Sekolah baru dengan seragam putih
biru semua tampak baik-baik saja. Selama masa orientasi siswa pun semua
baik-baik saja dan apa yang aku takutkan tidak terjadi. Hari demi hari aku
lewati dengan bertemu orang-orang baru yang menurutku mereka baik dan tulus.
Namun, lagi-lagi kesabaranku harus diuji. Pada siang itu, beberapa minggu
sebelum berangkat Study Tour, kelas
ku sepakat untuk membeli jaket seragam di toko baju dengan ukuran paling besar
adalah XL. Tidak lama setelah pemesanan, jaket itu pun datang dan siap
digunakan, Karena aku memiliki ukuran bigsize
maka guruku menyuruhku untuk mencoba jaket dengan ukuran paling besar yang
telah dipesan itu, aku sudah mengira bahwa jaket itu tidak akan muat di badan
gempalku ini, tapi guruku tetap memaksakan kehendaknya. Alhasil, aku harus
menahan malu karena badan gempalku tersangkut dan sulit lepas dari jaket baru
itu.
Dan hal
itu mengundang tawa dari semua orang yang menyaksikan. Huftt!! benar-benar malu dan sakit hatiku. Beda hari beda pula
cerita bagaimana aku sakit hati karena persoalan fisikku. Siang itu dengan
buru-buru, aku pergi ke perpustakaan, dan tanpa sengaja aku ditabrak seorang
siswa paling tampan di sekolahku, saat kami sedang berjalan di gang sempit
samping perpustakaan. Aku kira dia akan berkata “Maaf” namun ekpetasi tidak
sesuai Realita, tanpa kata maaf atau kata baik lainnya, dia langsung membentak
dan berkata “Beh tugelan bok! Disawang to dalane” Oh my God! Retak hatiku seretak retaknya! Seketika itu, tanpa
menjawab apa pun aku langsung pergi menjauhi dia. Dalam hati, aku
bertanya-tanya apakah aku sejelek ini apakah aku sehina ini, dan untuk keseksian
kalinya aku protes kepada Tuhan ku, kenapa aku yang harus menerima fisik ini
dengan semua masalah yang mengikutinya.3 tahun di SMP, rasa sakit hatiku tidak
separah saat aku menjalani hari-hariku di Sekolah Dasar karena di sisi lain,
aku juga memiliki banyak teman yang bersikap baik kepadaku, namun tetap saja
setiap harinya diantari mereka ada saja yang membuat lelucon dengan mengolok fisikku.
Setelah usai masa biru putih, aku mulai menjalani masa putih abu-abu.
Saat
itu, aku masuk SMA dengan bobot 95 kg dan tinggi 155 cm. Benar! Aku memang
sangat tidak sedap dipandang, aku tidak percaya diri, bahkan untuk bertemu
orang saja aku malu. Aku tidak mau berbicara di depan umum, aku tidak mau
berbicara dengan orang yang tidak benar-benar aku kenal, beruntung kala itu aku
memiliki teman dekat laki-laki yang aku rasa dia begitu menyayangiku tanpa
mempersoalkan fisikku. Saat aku terpuruk, dengan manisnya dia berkata “Ada yang
perlu kamu pahami. Kamu adalah wanita tercantik, hatimu baik, dan aku sayang
kamu apa adanya. Kamu enggak perlu pikir kalo kamu jelek. Kamu cantik, sayang.”
kepalaku hanya mengangguk pelan untuk merespons kata-katanya, padahal tanpa
sepengetahuannya hatiku berteriak, jungkir balik kegirangan sembari berkata
“meleleh hati adik bang!” aku benar-benar spechlees
dengan perkataannya.
Perkataan
manisnya bagaikan obat merah bagi lukaku yang menganga, namun belum genap 3
bulan aku bahagia karena ada abang yang menyejukkan hati adik, dia memilih
pergi meninggalkan aku dengan memilih perempuan lain yang memiliki perawakan
lebih baik dari aku. Sakit, patah, retak dan seketika itu aku berpikir, aku
adalah seburuk-buruknya manusia yang ada. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari diriku.
Aku terus membenci diriku, menghujat diriku sendiri,dan menyalahkan diriku
beserta penciptaku. Hingga pada siang itu di kantin sekolah saat aku sedang antre
untuk membayar snack yang aku beli,
tanpa sengaja aku melihat seorang siswi yang memiliki tinggi hanya sekitar 140
cm dan memiliki dua kaki yang panjangnya tidak sama. Jika bagi orang normal
berjalan, maka berlari menurut dia.
Jangankan berjalan, untuk berdiri saja dia membutuhkan bantuan orang lain.
Menurut ceritanya, dia pernah duduk di kursi roda bertahun-tahun namun dia
memiliki semangat sembuh yang tinggi sehingga dia bisa lepas dari kursi roda
seperti sekarang. Aku melihat dia dan semua aktivitasnya.
Dia
sangat riang dan percaya diri dengan kondisinya, dia tidak pernah mengeluh,
apalagi menyalahkan Tuhannya. Dengan percaya diri dia berbicara di depan umum.
Tanpa malu dia berkenalan dengan orang baru. Menurutnya, segala sesuatu tidak
hanya dinilai dari fisik. Parameter fisik terlalu dangkal jika dijadikan tolak
ukur kebahagiaan. Semakin hari aku mengenalnya, semakin banyak cerita yang dia bagikan,
menurut dia dengan kondisinya seperti itu tidak mungkin dia hidup tanpa cemooh
orang lain, dan berulang kali pula, dia disakiti oleh laki-laki karena fisiknya.
Katanya, sedih memang iya, namun tidak perlu menyalahkan diri sendiri atau
Tuhan yang telah menciptakan. Dengan kondisi seperti itu, dia begitu sulit
dalam segala ruang geraknya ditambah lagi, dia selalu menerima tugas tambahan
pada mata pelajaran tertentu yang memerlukan praktik di dalamnya. Dengan semua
kesulitan itu, aku tidak pernah melihat sedetik pun dia menyerah dan
menyalahkan siapa-siapa dengan kondisinya.
Semenjak
aku sering berbagi cerita dengan dia rasa percaya diriku mulai kembali muncul,
semua amarah dan kebencianku pada diri sendiri mulai luntur dan terganti oleh
syukur, syukur atas semua yang telah Tuhan beri mulai dari semua organ tubuhku
yang berfungsi normal hingga otak yang dapat aku andalkan. Selama SMA aku
selalu mendapat juara umum sebagai siswa dengan rata-rata nilai rapor tertinggi
dan selama ini pula aku begitu kurang bersyukur, sekarang semua protes kuganti
dengan doa memohon kemudahan di setiap proses. Aku sadar Tuhan adalah
sebaik-baiknya dzat dalam menciptakan
segala sesuatu, aku sadar aku benar-benar menjadi seburuk-buruknya manusia jika
aku tidak bisa menikmati semua nikmat yang telah diberi, aku juga sadar
parameter fisik bukan tolak ukur yang tepat untuk mengukur kadar kebahagiaan.
Sebelumnya,
aku sibuk memikirkan perkataan orang lain namun sekarang aku sibuk untuk
memperbaiki diriku agar tidak menjadi bahan perbincangan orang lain. Semenjak
aku merubah pola pikirku dari insecure
menjadi bersyukur, aku lebih bisa menikmati hidupku, semua prestasi-prestasi
yang sebelumnya bagaikan pungguk yang dirindukan bulan sekarang sudah ada digenggamkanku,
mulai dari mempertahankan juara umum nilai rapor tertinggi, hingga terpilih
menjadi ketua umum salah satu organisasi di sekolahku. Ternyata jika aku
mencintai diriku sendiri serta mampu memperlakukan kekuranganku dengan baik,
semua cemooh dan perkataan jelek, dengan sendirinya menyingkir dari hidupku.
Sekarang aku menyadari memang ada 100 orang memandang aku sebelah mata karena
fisikku namun masih ada 1000 orang yang dengan tulus menerimaku dengan semua kekuranganku.
Aku
tidak pernah membenci bahkan dendam pada mereka yang pernah menyakitiku, aku
yakin mereka adalah orang baik, hanya saja mungkin mereka belum bisa membedakan
ambang batas candaan dan kenyataan serta penilaian benar dan salah, karena
memang sesungguhnya manusia diciptakan dengan kelebihan dan kekurangannya
masing-masing aku punya kekurangan mereka punya kelebihan dan berlaku hukum kebalikannya.
Menjadi good looking dengan fisik sempurna
memang suatu hal yang didambakan semua orang, namun diberi anugerah untuk dapat
mencintai diri sendiri dan memahami kekurangan yang ada adalah suatu anugerah
yang tidak semua orang mendapatkannya. Jika oksigen masih bisa dihirup tanpa
biaya, jika semua organ masih berfungsi tanpa harus beli, maka Bersyukurlah!
Sudah saatnya gadis Insecure
bertransformasi menjadi Muslimah anti kufur yang menghiasi hari-harinya dengan
penuh syukur.
0 Komentar