Karya: Fariz
Satrio Adji
Universitas
Muhammadyah Malang
Juara Kedua
CERYA
Suasana begitu panas, orang
berlalu-lalang melewatinya. Tanah becek di dalam sesekali terciprat ke bajunya.
“Cabai-cabai” Kata seorang lelaki paruh
baya yang sesekali mengecek jam tangan tua yang dikenakan.
Tak cukup lama seorang bocah laki-laki
dengan mengenakan seragam putih biru baru saja menghampirinya. Baju yang
seharusnya berwarna putih itu terlihat berwarna kekuning-kuningan, penuh dengan
keringat dan celananya mulai luntur hampir tak terlihat lagi warna yang
seharusnya biru di sana.
“Kau pulang dulu, baru kemari” Kata pria
paruh baya itu.
“Kesini lebih dekat, aku lelah berjalan
ke rumah” Jawab bocah itu.
“Kamu kan bisa menumpang di angkot
kenalan abah” Jawab pria paruh baya itu yang kini membalikkan badannya ke
sebuah keranjang kayu kecil di belakangnya, “Sudahlah, ini gunakan baju ganti
abah” Sambungnya seraya menyodorkan baju yang diambilnya di kotak itu kepada si
bocah kecil di hadapannya.
Bocah itu kemudian naik ke sebuah meja
panjang yang tak terlalu besar di belakang ayahnya yang terlihat masih kosong
dan rapi, ia berbaring di atasnya melihat ke ayahnya yang masih mencoba
meneriaki dagangannya ke setiap pembeli yang lewat.
Sesekali ia mengarahkan pandangan ke
pembeli yang melewati mereka, tapi seolah tak ada yang mengerti rasa bosan dan
laparnya menunggu di sana. Menempelkan pipinya di meja seraya melihat dua orang
perempuan yang kini tengah mengambil selembar uang untuk membeli cabai-cabai
merah itu. Pria paruh baya itu memalingkan wajahnya melihat ke bocah di
belakangnya. Kemudian ia menyodorkan sejumlah uang ke tangannya,
“Kau pasti belum makan siang, belilah ke
sana apa yang kau mau” Ujar pria itu menunjuk sebuah warung makan kecil yang
berada di depan pasar.
Tanpa alas kaki, ia berlari menuju depan
pasar.
“Eko, Jangan lari” ujar pria paruh baya
itu meneriaki bocah laki-laki tersebut yang kini terlihat mencoba menyelip di
antara ramainya pembeli yang tak kunjung berjalan di antara dagangan-dagangan
disana.
Pasar tak cukup ruang untuk seluruh pembeli,
apalagi harus mendatangkan keempat saudara Eko lainnya hanya untuk menemani
ayah mereka bekerja. Suasana pasar pun kiranya tak memungkinkan untuk
segerombolan anak harus diam dan bermain di sana,
Tapi tak lama kemudian, Eko pun kembali
dengan membawa tas keresek hitam di tangannya. Ia berlari menuju tempat
dagangan ayahnya.
“Jangan lari ko, bagaimana kalau kamu
jatuh. Kamu juga kalau menyeberang harus hati-hati” Celoteh ayahnya.
“Abah terlalu khawatir, aku sudah besar”
Ujar bocah itu tak menghiraukan kata sang ayah.
“Setelah ini kau pulang ya ko, tidak usah
menunggu abah di sini. Sebentar lagi kau ujian kenakan kelas kan?” Tanya pria
paruh baya itu.
“Satu
minggu lagi yah” jawab Eko cepat seraya menyantap nasi dengan ikan teri dan
campuran sambal dihadapkannya.
Tak lama kemudian, langit merubah
dirinya menjadi warna oranye. Bocah itu kini tertidur pulas di atas sebuah meja
cokelat yang warnanya mulai gelap dengan lalat beterbangan di atasnya.
Lalat-lalat itu bergantian hinggap di atas wajah bocah itu, nafasnya tak
karuan, beberapa kali terbangun hanya untuk mengusir lalat di wajahnya.
Menjelang sore hari, para pembeli mulai sepi, cabai-cabai di sana terlihat
sudah hampir habis, yang tersisa hanya beberapa buah yang sudah terlihat kerut
dan berwarna merah gelap.
Mereka pun beranjak dari sana dengan
membawa barang dagangannya kembali ke rumah.
***
Keesokan harinya matahari mulai
menampakkan cahayanya, tetapi Eko di pagi buta sudah terbangun membantu ibunya
menyiapkan segala persiapan ayahnya ke pasar. Dari mengumpulkan cabai segar
hingga mengantarnya ke ujung jalan tempat ayahnya naik angkot. Sedangkan keempat adiknya masih
tertidur pulas di dalam rumah sederhana itu.
“Ko, kamu cepat bersiap-siap ke sekolah”
Ujar sang ibu.
“Iya mi” Jawab Eko memanggil ibunya
dengan sebutan Umi.
***
Tak butuh waktu lama untuk seorang siswa
SMP belajar seraya bermain dengan kawan-kawannya di sekolah.
Matahari sudah berada di puncaknya,
waktu yang cerah untuk bocah itu bermain ke pasar. Sesampainya di pasar, saat
ia menuju ke tempat ayahnya berdagang, sesuatu sepertinya terjadi. Kerumunan
orang tengah mengerumuni tempat itu, dari kejauhan terlihat sang ibu yang baru
saja masuk ke pasar.
“Abah! Abah!” Teriaknya berlari menuju
ke keramaian itu.
“Umi! Ada apa?” Tanya Eko kecil saat
ibunya berlari melewatinya. Tapi sang ibunda tak menghiraukan bocah itu, ia
terus meneriaki kata abah lalu masuk ke dalam kerumunan.
Tak lama kemudian beberapa orang yang
dilihatnya mengenakan baju serba putih tengah membawa sebuah tandu membelah antrean
orang di jalan sempit itu. Eko melihat sebentar ke atas tandu itu, seorang
laki-laki yang sangat ia kenal tengah terbaring kaku di atasnya.
“Abah!” Panggil bocah itu di dalam
keramaian
Suasana begitu kacau, orang-orang
berlari ke sana kemari, sedangkan Eko kecil diam sendiri menangis diantara
kerumunan orang tanpa seorang pun yang mengerti apa yang terjadi kepada si
bocah malang itu. Beberapa dari mereka yang lewat hanya melihat seorang anak
pasar yang menangis, mungkin itu sudah biasa anggap mereka tak menghiraukan.
***
Tiga hari sudah pria berkumis itu
meninggalkan keempat orang anaknya dan seorang istri. Eko kecil mengadu kepada
ibunya, ia harus bekerja untuk menghidupi adik-adiknya dan melunaskan
hutan-hutang ayahnya yang telah wafat. Hutang-hutang itu mengharuskan Eko putus
sekolah, ia lebih memilih bekerja menghidupi adik-adiknya yang masih kecil. Tak
lama kemudian, sosok yang ia cintai mulai pergi untuk sementara, sang ibunda
harus merelakan buah hatinya, meninggalkan kelimanya jauh dari dirinya yang
pergi mencari pekerjaan di luar negeri.
Air mata bocah itu tak bisa berhenti
ketika melihat adik-adiknya menangis tak ada lagi orang tempat mengadu, apalagi
pemandangan yang tak menyejukkan mata itu harus ia lihat hampir setiap harinya,
terkadang mereka menangis karena lapar tanpa orang tua yang mencari nafkah.
Waktu telah menempa bocah malang itu,
kini ia tak peduli dengan kesedihan dan kesakitannya, dari mengangkat minyak
tanah dari rumah ke rumah hingga menjual besi bekas di lakukannya untuk
menghidupi adik-adiknya seorang diri. Ibundapun hanya sesekali memberi kabar,
kini ia pun tak tau harus mengadu kepada siapa lagi, terik matahari yang panas kini
menjadi kawan sejatinya setiap hari, angin hanya menjadi pengantar pesan kepada
ayah yang telah tiada. Besi tak mungkin begitu saja menjadi lembaran uang,
tangan bocah laki-laki itu harus melawan panas membuat besi itu lebih berguna,
hingga seorang kawan lama datang hanya untuk sekedar bertanya “Eko, kenapa kau
tidak sekolah?” Tanya seorang kawan saat ia tengah menjual sekeping besi bekas
yang dibuatnya sebagai penutup sekering listrik rumah.
“Saya tidak ada biaya untuk sekolah
lagi” Jawabnya seraya terus berjalan dengan beberapa keping besi di
punggungnya. Bukannya tak ingin bertemu, tapi bocah malang itu sudah sedikit
terlambat untuk sampai ke terminal, berharap kerumunan di sana membutuhkan
penutup sekering listrik di rumah mereka.
Surabaya - mungkin kota besar itu tidak
akan menjadi sepanas itu baginya, jika saja orang-orang bersepatu di sana
sedikit saja merasa iba, atau sekedar memberinya sebungkus roti untuk membantu
kaki kecil itu terus melangkah. Di sore hari, ia membawa satu kilo beras ke rumah,
satu sachet kecap, dan sebungkus
kerupuk. Saat malam tiba, Eko kecil tak pernah meninggalkan masjid, ia mengaji di
sana, meninggalkan adik adiknya di rumah berharap tuhan mendatangkan keajaiban
untuknya dan adik-adiknya.
***
Setahun sudah bocah itu mengalami
kehidupan yang sangat pahit, dari kota ke kota sudah ia jalani, hingga waktu
yang dijanjikan itu pun tiba, Ia menerima kabar bahwa sang ibu akan segera
kembali ke kampung halaman.
Menunggu kehadiran sang ibu, ia
termenung seraya mengipasi adik-adiknya yang telah tertidur di satu ruangan,
berharap ibunya akan benar-benar segera pulang karena tangan mungil itu kini
telah menjadi kepalan kulit keras yang setiap hari harus bercampur dengan debu
dan panasnya hari.
***
Tujuh belas tahun kemudian, kisah yang
mengharukan itu terdengar oleh seorang bocah yang bernaung di sebuah bangunan
megah layaknya istana dengan tembok kuning cerah dan sofa berwarna merah gelap.
Terukir jelas di dinding rumah itu tepatnya pada sebuah lukisan besar layaknya
keluarga kerajaan dengan tulisan indah berwarna kuning keemasan “E.K.O”.
Bocah laki-laki yang berada di pangkuan
Eko berkata kepadanya, “Aku ingin memberikan celenganku kepada mereka yang
membutuhkan seperti ayah dulu. Tapi bagaimana aku membaginya?” Tanya bocah itu
dengan polos.
Eko yang telah dewasa kemudian beranjak
meninggalkan bocah itu berada di ruang tamu yang tengah bersandar di sofa besar
di sana. Eko kini memegang sebuah kunci mobil dan beberapa kantong makanan di
kedua tangannya.
“Ikuti ayah” Seru Eko kepada anaknya
yang masih berumur tujuh tahun.
Gerbang hitam yang besar terbuka ketika
Eko dan anaknya masuk ke dalam mobil silver yang di parkirnya di depan bangunan
megah itu.
Beberapa menit kemudian hingga mereka
sampai ke sebuah kawasan kumuh. Seorang pria remaja berdiri di sana mengenakan
sebuah topi biru dan jam tangan yang telah usang, sedang di sisi lain terlihat seorang pria yang tak
kalah berantakannya dengan si pria pertama, kaosnya robek dan hanya mengenakan
sandal jepit dan celana usang.
Eko kembali melanjutkan perjalanannya
hingga mereka juga melihat seorang pemuda mengenakan sarung dan peci. Eko pun
memarkir mobilnya tanpa membawa kantong-kantong makanan itu. Ia dan anaknya
duduk di sebuah warung kopi di seberang jalan dari ketiga pria tersebut.
“Kau lihat ke sana” kata eko kepada
anaknya yang menunjuk ke arah tiga pemuda tadi
Ketiga pemuda itu terlihat tengah
berjualan di meja mereka masing-masing, tempatnya pun hampir berdekatan, dan
dagangannya pun sama. Mereka bertiga menjual sayur sayuran, tetapi ketiganya
melakukan hal yang berbeda.
Seorang pemuda yang menggunakan topi dan
jam tangan bekas sesekali melihat ke jamnya seraya menunggu pembeli datang, ia
pun membersihkan tanah yang becek di sekitar tempat ia berdagang. Pria itu juga
terlihat yang paling berusaha memanggil orang-orang yang lewat untuk membeli
dagangannya bahkan saat setangkai daun bayam jatuh, ia tak segan untuk segera
membersihkannya.
Sedangkan pemuda kedua dengan kaos robek
serta celana yang usang tengah menggerutu karena tanah di sekitar mereka becek
dan membuat para pembeli enggan mendekati mereka. Ia juga terlihat kelaparan,
sesekali ia memegang perutnya dengan wajah memelas menahan lapar. Yang terakhir
adalah pria ketiga, ia enggan melihat dagangannya. Di balik mejanya ia hanya
mengaji sepanjang waktu, beberapa batang sayur yang terjatuh ke tanah becekku
tak dihiraukannya. Sesekali ia terlihat menangis membaca kitab suci itu.
“Jika kau memperhatikan pemuda-pemuda di
sana, pemuda yang mana yang akan kau berikan seluruh celenganmu?” Tanya Eko
kepada anaknya.
Bocah itu dengan cepat langsung
menjawab, “Laki-laki itu, karena dia yang paling miskin” Jawabnya menunjuk
pemuda yang mengenakan kaos robek dan terlihat kelaparan.
“Kau salah. Pria itu selalu menyalahi
keadaan dan kondisinya, ia tak mau berusaha” Jelas Eko melihat pria itu selalu
menggerutu dengan tanah yang becek.
“Lalu aku harus memberi kepada siapa?”
“Dia” Tunjuk Eko kepada pemuda yang
mengenakan jam tangan dan topi
“Mengapa demikian?”
“Karena ia yang paling berusaha.
Lihatlah ke pemuda ketiga” Ujar Eko kepada anaknya, “Disana ia hanya mengaji,
tapi tak mau berusaha mengubah hidupnya. Menangis meminta kepada tuhan, tapi
tak ada usaha yang dilakukan”
Bocah itu mulai memerhatikan lebih lama
lagi dari ketiganya.
“Iya ayah, hanya laki-laki itu yang
tidak mengeluh, dan aku lihat dia selalu membersihkan tanah-tanah becek disana”
Tunjuk bocah kecil itu setelah memperhatikan beberapa saat.
Eko pun mengambil tiga kotak makanan di
dalam mobilnya yang kemudian di berikannya kepada 3 pemuda itu masing-masing
kotak.
“Kau memberi mereka imbalan yang sama?”
Tanya anak itu kepada eko setelah mereka beranjak dari sana.
“Tidak, si miskin yang lapar hanya
mendapat sekotak makanan untuk mengisi perutnya, begitu juga dengan pemuda
ketiga, nak.” Ujar Eko. “Tetapi untuk pemuda pertama, aku menyelipkan beberapa
lembar uang di dalamnya, karena dia berhak mendapatkannya” Sambung Eko
menjelaskan kepada anaknya.
Bocah kecil itu hanya melihat ayahnya
yang tengah menyetir seraya mendengarkan dengan serius.
Eko pun melanjutkan, “Nak, begitulah
juga cara tuhan memberi kita rezeki. Tuhan tidak melihat siapa yang paling
miskin, tapi ia melihat siapa yang paling menginginkannya.” Jelasnya, anak itu
menyadari suatu hal yang penting di dalam hidup
“Seandainya ayah dulu hanya meminta
kepada tetangga ataupun menunggu Umi pulang, ayah tidak akan menjadi seperti
sekarang, nak.” Sambung Eko menjelaskan.
“Ayah juga tidak pernah mengeluh dengan
keadaan kan?” Tanya bocah itu, “karena aku melihat kedua pemuda tadi selalu
menggerutu dan menangis” sambung bocah kecil itu.
“Betul, nak. Jangan pernah menyerah
dengan keadaan kita, kitalah yang harus berusaha” Jawab Eko.
Mereka pun melanjutkan perjalan pulang
kembali ke rumah, dan si bocah itu mendapat pengalaman berharga hari itu.
0 Komentar