Karya:
Wardah
Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Antasari Banjarmasin
Juara Ketiga CERYA
Ketika impian kita
besar, banyak yang menganggap itu mustahil. Salah satu upaya yang harus kita
lakukan adalah “BERHASIL”.
Pernah gak kalian
waktu sekolah dibully, dihina, dijelek-jelekin sama teman, bahkan terkadang
sama sahabat sendiri, atau mungkin sampai sekarang masih seperti itu. Pada
cerita pendek ini aku akan menceritakan sebuah pengalaman.
Perkenalkan,
namaku Wardah kalau diartikan dalam bahasa Indonesia bermakna sekuntum bunga
Mawar. Seorang gadis kelahiran tahun 2000, yang sekarang kuliah di Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung, Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam (AFI),
yang kebetulan bisa kuliah karena bantuan Beasiswa yang ku dapatkan.
Semenjak aku
menginjak remaja, ada beberapa teman-teman yang tidak menyukai diri ku, dari
penampilan, perilaku bahkan rangking kelasku pun dipermasalahkan, katanya “Wajar
saja Anak Guru Juara, toh Ayahnya bisa aja...... aja bla..bla..bla”. Rasanya
semangatku untuk belajar di sekolah itu tiba-tiba luntur, padahal pencapaian
yang ku dapatkan, murni dari jerih payahku sendiri, bukan dari bantuan
siapapun. Kalau ayahku bisa curang demi menaikan peringkatku, gak mungkin
rasanya adik-ku mendapat ranking 4 dari bawah.
Dilema masa
SMA....!
Tong Kosong
Nyaring Bunyinya, itulah kata-kata yang membuatku teringat dengan sosok
perempuan pintar. Namun, suka menghujat orang, bisa dikatakan teman yang suka
menusuk dari belakang. Dia sempat menjadi teman akrabku, tapi kepercayaanku
mencair kemudian musnah setelah beberapa kali aku mencoba menolongnya, namun ia
tak pernah menghargaiku sedikitpun, malah dia senang sekali melemparkan gosib
kepada temannya yang lain tentangku, hanya untuk menambah bahan obrolan untuk
tertawanya, dan di saat diriku menjadi topik utamanya. Dia mengatakan bahwa aku
tak pantas untuk mendapatkan semacam penghargaan, Perempuan yang ini..
ini... ini, dan melempar kata-kata kotornya ke hadapanku, bahkan
pendengaranku diperjelas oleh suaranya yang semakin lantang mengatakan tepat
disebelah telingaku.
Aku bertemunya
kembali saat masa SMA, disana aku merasa dikucilkan, beberapa orang mau terbuka
berteman dengan anak yang sesuai isi dompetnya, keuangannya dan penampilannya. Sedangkan
aku adalah perempuan yang sederhana, tidak suka boros terutama membeli sesuatu
yang kurang berguna, berbeda dengan beberapa temanku yang ingin menyetarakan
selera mereka dalam berteman, diriku tak mempunyai sesuatu yang dapat
dibanggakan, agar dapat menelan rasa gengsi teramat sakit ini.
Aku merasa sedikit
teman yang ku punyai, terutama saat aku mempunyai catatan kesalahan pertama,
kesalahan kecil yang dibesar-besarkan. Pada suatu saat aku memanggil sosok
wanita yang bekerja di Sekolahku, dengan sebutan nenek, raut wajahnya keriput
dan mukanya tidak suka tersenyum, ditambah lagi giginya ada beberapa ompong
mempunyai kemiripan persis dengan sosok wanita yang sudah lansia. Pada saat
itulah terjadi perang mulut besar, dia tidak terima atas ucapanku, aku segera
meminta maaf atas ketidaktahuanku, karena saat itu adalah hari pertamaku
sekolah. Dia tak mampu memaafkanku, padahal saat itu aku memanggilnya didengar
oleh Ayah, Ibu, Adik dan Nenekku, tak satupun ada siswa yang mendengarnya.
Alhasil setiap Jam
makan dia selalu memproklamasikan ucapanku yang memanggilnya Nenek, ada
beberapa siswa yang empati terhadapnya namun ada juga beberapa yang risih
keluar masuk kuping kiri.
Beberapa siswa
yang empati tersebut, menganggapku Siswi baru yang sangat lancang. Apa boleh
buat, ini semua kesalahpahaman dan akupun sudah meminta maaf. Karena setiap
hari wanita tersebut menyebut kesalahanku, berulang kali kepada siswa lainnya,
rasanya gendang telingaku hampir copot dibuatnya. Selera makanku hilang setiap
kali Jam makan dan bertemu dengannya. Aku berusaha menyadarkan diriku sendiri
untuk bersabar, karena aku “Siswi baru”. Hampir semua kaka kelas yang
bertemu denganku melihatku sinis, aku menjadi terkenal di sekolah dengan humor
permasalahan dengan wanita yang ku sebut nenek tersebut.
Beberapa kali aku
melanggar peraturan seperti kurang disiplin, telat dan semacamnya. Untuk siswi
yang lain melanggar peraturan tersebut terlihat biasa saja, beda denganku yang
telah terkenal dengan kecerobohanku tersebut, aku menjadi bahan tertawaan,
hinaan, ghibah apapun itu yang tidak baik untuk di dengar. Lebih parahnya lagi,
aku pernah dihina oleh kaka kelas, ia merasa jijik ketika mendengar namaku, dan
sikap yang diperlihatkannya semacam tidak menganggapku manusia, aku layaknya
bangkai atau binatang yang menjijikan lainnya.
Ada suatu hal yang
membuatku tetap bertahan semasa SMA di sana, yakni orang tuaku, aku yakin
sekali bahwa do’a orang tua semacam mukjizat menurutku, karena ku pikir yang
bisa mengubah apa saja yaitu ridho kedua orang tua. Aku tetap belajar, entah
ada yang tidak menyukaiku, tidak ingin berteman denganku, ku abaikan saja, aku
tetap fokus dengan tujuanku menuntut ilmu. Beberapa kali aku mengikuti
perlombaan dari tingkat Sekolah, Kabupaten dan lain-lain. Aku pernah berpidato
dihadapan puluhan para siswa, saat pengambilan video untuk mengirim lomba ke
sebuah Universitas di Banjarmasin, walaupun pada kali itu aku belum menang.
Setiap kali ada
waktu duka dan suka ku abadikan melalui catatan harianku, impianku waktu itu,
setelah masa SMA berakhir aku akan menuliskan berbagai cerita hidup-ku. Setelah
beberapa lomba ku ikuti, lomba yang dapat mengharumkan namaku, yang sebelumnya
namaku tercemar dan terkenal sebagai sosok siswa nakal, sering telat, dan yang
tidak akan terlupakan seorang siswa yang memanggil nenek pada wanita dapur. Hal
tersebutlah yang membuatku semakin rajin belajar. Dari sanalah perjalanan
panjangku dimulai, untuk lebih percaya diri. Ada suatu hal yang membuatku tak
suka tentang pernyataan bahwa perempuan harus terkebelakang dengan laki-laki,
disanalah batasan kepercayaan diriku berhenti. Sampai ketika aku memasuki dunia
kampus, segala aktivitas apapun rasanya aku tak ingin mendahului intruksi dari
laki-laki yang memimpin, sampai suatu hari aku menutup rapat-rapat keinginanku
untuk menjadi Ketua Umum di sebuah organisasi, karena aku tak yakin kaum
perempuan tertutama sepertiku dapat diterima.
Berjalannya waktu
beberapa kali aku mengajukan keinginanku untuk memajukan organisasi pada
seorang Ketua Umum, saat jabatannya berlangsung, hanya disapanya bagai angin
lewat, tak dihargai, hingga beberapa kali terobosan yang ku ajukan dilotaknya
begitu saja, seperti editing video yang ku kerjakan bersama sahabatku
hingga larut malam, tidak diterimanya begitu saja.
Dari sanalah aku
bersih keras untuk menjadi ketua umum bukan untuk kekuasaan ataupun kehormatan,
tapi untuk menumbuhkan kinerja kepemimpinan yang maksimal, seperti menghargai
karya dari teman-teman dan menurunkan ego demi kepentingan bersama. Di balik
itu semua ada sosok perempuan yang sangat memotivasi hidupku, beliau adalah
Najwa Shihab, pandanganya Perempuan dan laki-laki tidaklah berbeda kita
mampu berkompetisi dengan menunjukan kualitas diri, bersaing dengan belajar
lebih keras. Perempuan yang sukses tidak ragu untuk menunjukan ambisi,
perempuan hebat bukan karena belas kasihan tapi karena dia kerja keras dan
memiliki ide brilian. Mereka juga harus memiliki sikap empati jika ingin
menjadi seorang perempuan yang sukses. Akhirnya aku memberanikan diri pada
periode berikutnya mencalonkan diri, dari 2 pasangan lawanku mereka semua
laki-laki pada akhirnya suara voting selisah 5 suara dan aku memenangkannya.
Makhluk hidup
seperti perempuan muda yang terlihat melankolis dan sering terjebak dengan
kegalauan yang tidak wajar. Paradigma ini sudah sering ku lalui terutama
kegalauanku akan hujatan di masa lampau, ditambah cacian yang dilontarkan oleh
sahabat perempuanku yang membungkam diriku semakin kacau, atas keinginan suatu
perubahan bahwa semakin kita terbentur akan membuat diri kita semakin
terbentuk. Usia terlalu ringkas untuk dilewatkan tanpa melakukan suatu
perubahan. Maka dari pada itu, apapun itu masalahnya haruslah kita hadapi,
jangan pernah lelah untuk berjuang membuktikan bahwa diri kita layak untuk
menjadi lebih baik. Dulu aku kecewa dengan perkataan seseorang mengenai masa
depanku, pada saat aku berusaha keras mendapatkan apa yang ingin ku raih,
semuanya terwujud, pada suatu ketika ia memintaku untuk mengirimkan beberapa
karyaku padanya. Aku menolak bukan tidak ingin menolongnya, semua orang bisa
berubah lebih baik ketika ia bekerja lebih keras. Aku yakin pada saat dia juga
mampu lebih baik dariku namun jika ia tetap merendahkan orang lain, perkataan
itu akan terlempar balik pada dirinya.
“Tidak
ada sesuatu yang dapat menjamin masa depan seseorang, yang dapat menjaminnya
adalah keyakinan dari dirinya sendiri”.
“Jangan
pernah menghina seseorang ataupun meremehkan kemampuannya, bunga mawar yang
indah sekalipun perlu waktu untuk tumbuh dan mekar”.
0 Komentar