Imam Muzaqi
Mahasiswa AFI angkatan 21
Benarkah di antara istilah yang paling umum dalam konteks rumusan mendasar akan adanya praduga-praduga kefilsafatan adalah persoalan “yang-Ada”? Ataukah persoalan yang ada hanyalah sekedar persoalan ontologis kuno atau usang di masa lampau? Pertanyaan tersebut akan coba dijawab melalui tulisan ini.
Memanglah benar jikalau kajian ontologis merupakan sebuah diskursus lama yang selalu saja problematik. Pembahasan ini hingga kini masih sering dipertanyakan ulang. Sebenarnya, persoalan ontologis sudah dibahas sejak era Yunani kisaran abad ke-6 SM atau yang biasa disebut dengan mereka para pemikir (filosof) alam. Sebut saja bapak filsafat pertama, Thales dari Miletos. Ia mencari pembenaran akan adanya entitas yang satu (monism) dalam bentuk yang sangat apik.
Thales merumuskan sebuah gagasan baru mengenai konsepsi substansi (subtance)-kenyataan (reality), sejalan dengan yang dikatakan oleh Louis O. Kattsoff (1953) “Yang-Nyata sebagai Yang-Dapat Dipercaya” dan “substansi merupakan wahana bagi sifat-sifat”. Agaknya memang benar segala sesuatu memiliki penyifatan yang-Ada. Namun, tidak bisa dimungkiri juga seluruh penyifatan tersebut bisa dianggap nyata ataupun memuat kenyataan. Begitupun substansi yang merupakan sebuah deskripsi untuk memahamkan satu pendasaran atas sesuatu dan di dalamnya memuat kualitas-kualitas penyifatan akan keadaan sesuatu tersebut. Nah, dari sini terlihat betapa canggihnya Thales merumuskan air sebagai entitas dasar dalam dunia ini. Ia menyatakan bahwa substansi itu haruslah nyata. Dengan pemikirannya, Thales berhasil meretas pandangan baru dalam upaya kegelisahan intelektualnya dengan penolakannya terhadap para penganut mitologi di era tersebut.
Rudolph Goclenius the Elder seorang filsuf skolastik berkebangsaan Jerman, mengenalkan istilah ontologi pada kisaran tahun 1636 M. Ia menyebutkan makna keberadaan atau yang-Ada mengarah pada hal yang ia sebut metafisika. Sekitar setengah abad setelahnya, Christian Wolff memberikan spesifikasi terhadap gagasan yang dituangkan oleh Goclenius, Wolff memberikan klasifikasi terhadap metafisika dalam dua bentuk yang berbeda.
Kajian metafisika yang telah dibicarakan oleh Goclenius merupakan bentuk atau istilah lain dari ontologi yang Wolff sebut sebagai metafisika umum, yakni pembicaraan menyoal keberadaan pada titik paling dasar. Lain halnya dengan metafisika umum, Wolff menyebut kajian metafisika yang menyoal Kosmologi (alam), Psikologi (psikis), dan Teologi (ketuhanan) dengan metafisika khusus.
Dalam kurun waktu yang begitu panjang istilah metafisika sendiri memiliki bentuk pengartian beragam. Misalnya, pada era Sokratik, Aristoteles mengartikan metafisika sebagai sebuah ilmu pengetahuan menyoal “yang-Ada” dan daripadanya pula kegiatan berpikir meng-Ada (being qua being). Seorang filsuf Peripatetik asal Rhodes, Andronicus yang juga murid dari Aristoteles, membahasakan ulang ide-ide yang dituangkan Aristoteles dalam beberapa karya besarnya, terlebih yang membahas mengenai kajian metafisika. Andronicus memaknai metafisika sebagai sebuah usaha untuk memahami makna mendasar atas realita yang ada, yakni segala sesuatu yang bisa ditangkap oleh indra maupun di luar hal itu.
Pada abad pertengahan dan sekitar awal masuknya abad modern, polemik dalam term metafisika agaknya memengaruhi Immanuel Kant untuk melakukan pelacakan filosofis secara rasional terhadap mereka para filsuf metafisika tradisional. Mereka yang digolongkan sebagai para filsuf atau metafisikus tradisional ialah ia yang memiliki gaya berpikir dogmatis. Makna dogmatis dalam hal ini adalah memberikan pembenaran bahwasannya kajian metafisika dapat mencapai makna yang paling mendasar atas realitas dengan pengambilan putusan yang mutlak dan menyeluruh.
Kant mencoba untuk mengalihkan dirinya dari perdebatan mengenai metafisika pada masanya, seperti yang dikatakan oleh Reza A.A Wattimena (2010), Kant merumuskan semacam Revolusi Copernican di dalam filsafat dengan sebuah rumusan, “Selama ini telah diasumsikan bahwa semua pengetahuan kita harus menyesuaikan dirinya dengan objek. Akan tetapi, sejak asumsi ini telah gagal menghasilkan pengetahuan metafisis, kita harus melakukan penilaian. Apakah kita akan lebih berhasil di dalam metafisika jika kita mengasumsikan bahwa objeklah yang harus menyesuaikan diri dengan kesadaran kita? Kita harus mulai tepat pada garis di mana hipotesis utama Copernicus bermula yakni hipotesis tentang Heliosentrisme”.
Terlepas dari hal itu semua, kita akan kembali pada topik awal yakni pembahasan ontologi. Martin Heidegger sebagai salah satu tokoh yang ikut serta dalam menyumbangkan ide-idenya terhadap aliran eksistensialisme. Ia memberikan deskripsi yang saya kira lengkap dalam mengamati bagaimana alur perkembangan menyoal keberadaan pada masa itu. Menurutnya, kajian dalam lingkup studi ontologis terlebih memahami makna yang-Ada masih saja diambang ketidaktentuan. Seharusnya, perbincangan ontologis tidak hanya dimaknai dengan pola penafsiran subjektif ataupun pemaknaan yang meliputi standar evaluatif saja. Kajian ontologi merupakan suatu hal yang melibatkan antara yang ada dan tiada (being and nothing), artinya disini diperlukan kajian terhadap fenomena secara autentik (objektif) dan tentunya menggunakan pendekatan ontologis pula.
Heidegger memaknai istilah “berada” sebagai hal ihwal (tidak dapat dipisahkan) menyangkut objektivitas manusia. Lain halnya dengan unsur kebendaan, ia memaknainya dengan istilah “Vorhanden” yang ia artikan sebagai hal yang terletak begitu saja. Lagi-lagi ia menegaskan bahwasanya harus ada pembedaan antara istilah “berada” (sein) dengan “yang-berada” (sseinende). Keduanya sangatlah berbeda mengingat berada dalam konteks ini dimaknai sebagai beradanya manusia atau keberadaan manusia, sementara yang-berada lebih diperuntukkan pada hal yang bersifat kebendaan dengan pandangan subjektif dari benda itu sendiri.
Manusia sebagai objek sentral dalam memahami realitas seperti yang sudah disebutkan di awal. Ia memiliki tempat atau ruang untuk membicarakan keberadaan. Sebagaimana yang disebutkan oleh Heidegger dengan istilah “Da Sein”. Namun, dalam realitasnya manusia memiliki kesinambungan dengan manusia yang lain. Ruang untuk bersama dari satu manusia dengan manusia yang lain disebutkan oleh Heidegger dengan istilah “Mitsein”.
Pembaruan dalam kajian ontologi yang telah dikembangkan bahkan diretas oleh Heidegger melampaui para filsuf ataupun metafisikus terdahulu. Istilah-istilah baru atau spesifikasi terhadap kajian ontologis Heidegger memberikan dampak begitu mendalam bagi para pemikir selanjutnya. Kajian ontologi lama yang memiliki kecenderungan akan adanya penyamaan terhadap ilmu formal ataupun kajian metafisika yang seringkali disalahartikan sebagai bentuk kesamaan dengan kajian teologis. Itu merupakan salah satu hal yang memang kiranya akan berbuntut panjang hingga era sekarang ini. Sebab, dapat dipastikan kajian ontologis akan selalu ada seiring dengan berlangsungnya kehidupan yang melibatkan manusia sekalipun dalam ruang-ruang yang bisa saja berbeda.
Bertens, Kees. Sejarah Filsafat Yunani dari Thales ke Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius, 1975.
Kattsoff, Louis. Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1986.
Wattimena, Reza. Filsafat Kritis Immanuel Kant, Jakarta: Evolitera, 2010.
Agustianto. Keberadaan Manusia dalam Perspektif Martin Heidegger, Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 9 No. 02, 2013.
Umar, Hasriani. Ontologi Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu, hasriani_anie@iainpalopo.ac.id, (September 2019).
Hariyanto, Muhsin. Fenomenologi Transendental Edmund Husserl, http://repository.umy.ac.id/. 18 Maret 2023 02:40 WIB.
0 Komentar