Judul film : Princess Mononoke (もののけ姫, Mononoke-hime)
Sutradara : Hayao Miyazaki
Penulis Naskah : Hayao Miyazaki
Produsen : Toshio Suzuki (Studio Ghibli)
Tahun : 1997
Durasi : 134 menit
Penata Musik : Joe Hisaishi
Princess Mononoke adalah sebuah film animasi epik yang disutradarai oleh Hayao Miyazaki, salah satu sutradara legendaris dari Studio Ghibli. Film ini memadukan pesona visual yang memukau, karakter-karakter yang kompleks, dan narasi yang kuat untuk menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya harmoni antara manusia dan alam. Dengan alur yang menegangkan dan tema ekologis yang relevan, Princess Mononoke berhasil memikat penonton dari awal hingga akhir.
Kisah dimulai dengan kehadiran Ashitaka, seorang pangeran muda yang hidup dalam perdamaian di desa yang terpencil. Namun, kedamaian itu terancam ketika Ashitaka merasakan kejanggalan yang tidak biasa datang dari hutan terlarang yang legendaris. Dengan keberanian dan keingintahuan yang mendalam, Ashitaka menunggangi hewan berbentuk rusa bernama Yakul, yang menjadi teman setianya. Ia memutuskan untuk mengunjungi tetua desa, untuk mencari jawaban atas misteri yang menyelubungi hutan itu.
Namun, perjalanan Ashitaka tidaklah sendiri. Di tengah jalan, ia bertemu dengan dua anak kecil yang penuh semangat, mereka juga menuju desa untuk memberitahu tentang ancaman yang mereka rasakan. Keberanian mereka yang menggebu-gebu membuat Ashitaka semakin yakin bahwa ada sesuatu yang benar-benar buruk yang akan tiba.
Setibanya di tempat tetua desa, Ashitaka mendapati dirinya dihadapkan pada kisah mengerikan tentang iblis jahat yang penuh kebencian, sedang dalam perjalanan menuju desa mereka. Tak lama kemudian, makhluk itu muncul di hadapan mereka. Makhluk tersebut memiliki enam kaki seperti serangga, mata merah yang menyala seperti darah, badan yang sebesar badak, dan ditutupi oleh lintah-lintah yang melayang-layang di sekitar tubuhnya. Mereka semua menyadari bahwa ini adalah ancaman nyata bagi keselamatan desa mereka.
Ashitaka, dipenuhi oleh keberanian dan tekad yang tidak tergoyahkan, melawan makhluk itu dengan segenap kekuatannya. Tetua desa memberi peringatan agar Ashitaka tidak menyentuh makhluk itu karena kutukan mengerikan yang mungkin akan menyertainya. Namun, takdir berkata lain. Ketika Ashitaka berhasil mengalahkan iblis yang ternyata berwujud asli babi hutan raksasa, tangannya tak terhindarkan dan harus bersentuhan dengan lintah-lintah yang menghuni tubuh iblis tersebut.
Dengan sentuhan itu, Ashitaka menyadari bahwa ia telah terkena kutukan yang tak terelakkan. Kutukan itu membawa penderitaan dan rasa sakit yang tak tertahankan, namun Ashitaka memutuskan untuk tidak menyerah pada nasib buruknya. Dengan tekad yang kuat, ia memutuskan untuk menjelajahi dunia yang lebih luas untuk mencari kesembuhan dan mungkin menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantui pikirannya.
Melalui perjalanan petualangannya, Ashitaka bertemu dengan berbagai karakter yang penuh warna, seperti suku hutan yang hidup berdampingan dengan makhluk gaib, serta Lady Eboshi, pemimpin Pabrik Besi Irontown yang ingin menguasai hutan demi kepentingan manusia. Dalam pertemuannya dengan Putri Mononoke (San), seorang perempuan muda yang dibesarkan oleh serigala, Ashitaka menyaksikan konflik yang terus tumbuh antara manusia dan alam.
Dalam film animasi yang ikonik, Princess Mononoke, yang disutradarai oleh Hayao Miyazaki, kita dibawa dalam perjalanan yang memukau mengenai pertempuran antara manusia dan alam. Dalam review ini, kita akan melihat film ini dari perspektif teoritis ekologi sosial Murray Bookchin. Melalui pendekatan ini, kita akan memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika kompleks hubungan manusia dengan alam yang dihadirkan dalam film ini.
Princess Mononoke menampilkan konflik yang intens antara manusia dan alam. Di satu sisi, terdapat manusia yang diwakili oleh Pabrik Besi Irontown, yang menginginkan eksploitasi sumber daya alam demi kemajuan dan kekuatan mereka. Di sisi lain, alam dan makhluk gaib, yang dipimpin oleh Putri Mononoke (San), melawan manusia untuk melindungi keberlanjutan dan keseimbangan lingkungan. Konflik ini mencerminkan pertentangan antara kepentingan manusia dan keberlanjutan ekosistem alam.
Dalam teorinya tentang ekologi sosial, Murray Bookchin menekankan pentingnya memahami dan mengubah hubungan manusia dengan alam. Dia berargumen bahwa hubungan manusia dengan alam harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan sosial, dan ketergantungan saling. Bookchin menolak dominasi manusia terhadap alam dan menganjurkan harmoni antara manusia dan lingkungan alam. Bookchin menjelaskan bahwa ekologi sosial tidak pernah bermaksud untuk mengenyampingkan aspek spiritual atau perubahan mental manusia yang ekologis.
Dalam ekologi sosial, spiritualitas alamiah berpusat pada kemampuan umat yang terbangun untuk berfungsi sebagai agen moral dalam mengurangi penderitaan yang tidak perlu, terlibat dalam restorasi ekologis, dan mendorong apresiasi estetis evolusi alam dalam semua kesuburan dan keragamannya. Sederhananya, naturalistik. Bookchin juga menjelaskan pengertian alam dan masyarakat dalam konteks yang dialektikal ketimbang instrumental, serta berupaya menjabarkan bagaimana dominasi dan hierarki sosial serta tuntunan “hidup atau mati” dari sitem kapitalis telah bertanggungjawab terhadap krisis ekologi.
Film ini menggambarkan bahaya dari eksploitasi alam yang tak terbatas oleh Lady Eboshi, pemimpin Pabrik Besi Irontown, seperti penjarahan hutan dan pengrusakan lingkungan. Ini sejalan dengan pandangan Bookchin tentang perlunya mengganti logika dominasi dan eksploitasi dengan hubungan yang saling ketergantungan dan berkelanjutan antara manusia dan alam. Seperti yang dicita-citakan oleh Ashitaka bahwa “tidak bisakah hewan yang ada di hutan dan pabrik besi hidup berdampingan?”.
Melalui Princess Mononoke, Miyazaki menyampaikan pesan kuat tentang pentingnya menjaga keberlanjutan alam dan memahami ketergantungan manusia terhadap lingkungan. Film ini mengingatkan kita bahwa manusia dan alam bukanlah entitas terpisah, melainkan saling terkait dan saling mempengaruhi. Melalui lensa ekologi sosial Murray Bookchin, Princess Mononoke memberikan perspektif yang komprehensif tentang konflik manusia dan alam.
Film ini menggambarkan bahaya eksploitasi alam dan mengingatkan kita akan pentingnya mengganti logika dominasi dengan hubungan yang saling ketergantungan. Princess Mononoke menjadi pengingat bagi kita bahwa keberlanjutan alam dan harmoni dengan lingkungan adalah tanggung jawab bersama kita sebagai manusia. Princess Mononoke adalah sebuah karya seni animasi yang menggugah dan menginspirasi. Dengan visual yang memukau, cerita yang mendalam, dan pesan ekologi yang kuat, film ini menawarkan pengalaman sinematik yang tak terlupakan.
Referensi:
Bookchin, M. (2011). Ekologi & Anarkisme: kumpulan esai. Pustaka Catut.
Kutsche, P. (2008). The Fantasy of Ecological Balance in Miyazaki's Princess Mononoke. The Journal of American Folklore, 121(482), 192-215.
Penulis : Muhammad Ainun Komarullah
Editor : Nur Atika Diah Ayu Nadya
0 Komentar