Oleh Candra Halim Perdana [] Penulis Muda Verstehen Organic Philosophy
Al Farabi merupakan salah satu filosof besar yang pernah dimiliki umat Islam. Kebesaran ini terbukti dari sebutan beliau, guru kedua setelah Aristoteles. Beliau begitu pawai mensinstesiskan berbagai pemikiran filosof Yunani dengan ajaran dan pemikiran Islam. Kemampuan beliau memahami, menafsirkan, dan menjabarkan pemikiran-pemikiran filosof Yunani, membuat filsafat dapat dipahami dengan mudah oleh filosof Islam berikutnya.
Seperti saat Ibnu Sina hendak mempelajari ilmu ketuhanan al-‘ilm al-ilahi, serta berusaha membaca buku tentang metafisika karya Aristoteles. Namun beliau kesulitan memahami isi buku tersebut. Melalui karya al Farabi, Fi Aghradh Kitab ma ba’da ath-Thabi’ah li Aristhu, Ibnu Sina terbantu memahami buku karangan Aristoteles tersebut.
Tidak hanya itu, Kontribusi al Farabi sangat banyak dan terbentang di berbagai bidang keilmuan. Terutama kecerdasan beliau dalam bidang logika Aristotelian. Penguasaannya sangat baik, bahkan melebihi guru yang mengajarkan ilmu tersebut. Selain itu, al Farabi juga menambahkan unsur lain diluar logika Aristotelian. Dalam karyanya, mendiskusikan tentang future contingents, hubungan angka dengan kategori, hubungan logika dan tata bahasa, dan bentuk inference non-Aristotelian.
Di bidang lainnya, fisika, al Farabi juga menulis risalah singkat tentang "kekosongan". Penjelasannya perihal sifat dari kekosongan. Hal tersebut, kemungkinan besar didasarkan pada suatu percobaan pertama, tentang keberadaan ruang hampa udara.
Di risalah lainnya, al Farabi juga menulis dalam bidang psikologi sosial. Menjelaskan bahwa manusia membutuhkan orang lain untuk mencapai kesempurnaan. Setiap manusia memiliki watak bawaan, bergabung dengan orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan.
Tidak hanya itu, beliau juga menulis dalam bidang musik. Kitabnya berjudul, kitab al-Musiqa. Menjelaskan prinsip filosofi tentang musik, hubungan musik dengan kosmik. Menurutnya, bahwa musik dapat menjadi terapi. Karena music dapat memberikan efek bagi jiwa.
Al Farabi juga membahas soal kosmologi, terkenal dengan teori emanasinya. Berkenaan dalam bidang ini, terdapat tiga pilar yang mendasari kosmologi al Farabi. Berdasarkan pada metafisika penyebab pertama Aristotelian, kosmologi emanasi Plotinus dan astronomi Ptolemaic.
Berdasarkan sintesis pemikiran tersebut. Menurutnya alam semesta dilihat sebagai sejumlah concentric circle, lingkaran terpusat. Sistem ini dimulai dari bintang-bintang, Saturnus, Jupiter, Mars, Matahari, Venus, Mercury, dan terakhir bulan. Di pusatnya, terdapat sub-bulan berisi material dunia. Masing-masing benda langit tersebut mewakili turunan intelegensi. Intelegensi atau akal inilah perantara Tuhan dan terjadinya dunia materi.
Al Farabi menggunakan teori emanasi untuk menjelaskan proses terciptanya alam semesta.bIstilah tersebut dalam bahasa inggris, berarti emanation. Berupa proses munculnya sesuatu dari pemancaran. Sedangkan, filsafat menggunakan istilah emanasi untuk menjelaskan proses terjadinya wujud yang bermacam-macam. Bahwa hal tersebut, berasal dari sesuatu yang satu dan menjadi segala penyebab yang ada.
Melalui emanasi, al Farabi menyebut penyebab ini sebagai Nadhariyatul Faidl, bahwa Tuhan merupakan sebab yang ada. Bahwa Tuhan itu tetap dan tidak berubah. Sehingga dengan menggunakan teori emanasi, al Farabi ingin menyatakan bahwa keberadaan alam semesta ini bukan karena keinginan Tuhan. Karena keinginan tersebut, berarti ada perubahan pada Tuhan.
Emanasi dapat dijelaskan, bahwa Tuhan sebagai akal berpikir tentang dirinya. Hal tersebut menjadi penyebab munculnya wujud pertama. Wujud tersebut merupakan akal pertama yang memiliki dua segi. Pertama, hakikatnya sendiri atau wujud yang mumkin. Kedua, wujud yang nyata, terjadi karena Tuhannya. Selanjutnya, akal pertama memikirkan segi-segi dalam dirinya sendiri. Hal tersebut memunculkan akal kedua, langit pertama, dan jiwanya.
Setiap turunan akal menghasilkan wujud yang semakin kompleks. Selanjutnya, akal kedua berpikir seperti akal pertama, muncullah akal ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap. Akal ketiga selanjutnya, memancarkan akal keempat, planet Saturnus, dan jiwanya. Pancaran terus berlangsung, tiap akal menghasilkan akal berikutnya, planet dan jiwa. Keadaan ini berhenti pada akal kesepuluh, semakin lemah, yang menghasilkan manusia dan jiwanya.
Berkenaan pandangan al Farabi tentang manusia. menurutnya, manusia merupakan makhluk yang unik. Keberadaanya berdiri diantara dua dunia, tinggi dan rendah. Dunia tinggi merupakan dunia immaterial, dari intelektual tertinggi dan universal intelektual. Sedangkan, dunia materi, dunia rendah merupakan dunia yang dapat hancur. Sebab, manusia juga memiliki tubuh fisik, dapat mati dan membusuk.
Tidak hanya dalam tataran teori, al Farabi juga menekankan penggunaan filsafat di ranah praktis. Bila dalam ranah teoritik pemikiran al Farabi dipengaruhi oleh Aristoteles. Maka, di ranah praktis, pemikirannya dipengaruhi oleh Plato. Terutama diranah karyanya di ranah politik, sangat dipengaruhi karya Plato tentang Republik. Karya penting Al Farabi dalam bidang ini adalah Al-Madina al-Fadila, teorinya tentang negara Ideal. Menurut al Farabi, seperti halnya Plato, negara harusnya dipimpin oleh Filosof, Nabi, Imam, Raja-Filosof. Al Farabi memberikan prototipe negara ideal, seperti Madinah yang pernah dipimpin oleh nabi Muhammad.
Pribadi yang misterius
Sebagai filosof besar, sayangnya al Farabi sekaligus merupakan pribadi yang misterius. Kemesteriusan ini sebab beliau tidak menuliskan otobiografinya. Sehingga, catatan tentangnya lebih banyak berdasarkan desas-desus dan dugaan. Yang selanjutnya berdampak bagi asal-usul beliau dan hal-hal tertentu berkaitan dengan beliau.
Menurut beberapa sumber, al Farabi diketahui memiliki nama lengkap Abū Naṣr Muḥammad ibn Muḥammad al Fārābī. Di dunia barat dikenal sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir. Salah satu sumber menyebutkan, berdasarkan namanya kemungkinan al Farabi lahir di kota Farab. Provinsi Transoxiana, Turkistan. Tepatnya di desa bernama Wasij.
Tapi hal tersebut juga belum dapat dipastikan. Karena nama tersebut jika merujuk pada istilah Persia. Farab merujuk pada tempat yang dialiri oleh air dari sungat terdekat. Tentu saja jika memakai pedoman itu, bisa merujuk banyak tempat di Asia Tengah-Khurasan. Sebab secara geologi akan banyak tempat sesuai deskripsi tersebut, seperti Fārāb Jaxartes (Syr Darya) Kazaktan modern. Selain itu, Fārāb juga dapat dirujukan ke Türkmenabat modern di Oxus Amu Darya, Turkmenistan. Bahkan jika memakai pedoman yag didasarkan nama farabi, kemungkinan bisa juga tempat di Afghanistan sekarang ini.
Tidak hanya tempat kelahiran beliau, berkenaan dengan kelahiran juga terdapat kesimpangsiuran. Jika didasarkan pada kuliah Filsafat Islam dari Dr. Ahmad Daudy, menyebutkan bahwa al Farabi lahir tahun 872 Masehi. Hal berbeda dikemukakan oleh Harun Nasution dalam Falsafat dan mistisisme Islam, al Farabi lahir pada tahun 870 Masehi. Osman Bakar juga menyebutkan tahun berbeda, dalam Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Al-Farabi, Al-Ghazali, Quthb al-Din al-Syirazi menuliskan tahun kelahiran Alfarabi pada 890 Masehi.
Meski meninggalkan kemisteriusan kehidupan pribadi. Tapi terbukti, al Farabi berhasil mengakomodasikan ajaran Yunani klasik dengan ajaran-ajaran Islam. Ditambah, pemikiran beliau soal politik yang tidak mampu dilampaui oleh pemikir sesudahnya.
0 Komentar