Come To This

Oleh Wisanggeni Esmoyo [] Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam; IAIN Tulungagung [] Staf Verstehen Organic Philosophy
///
Cinta itu suci
Itu putih
Itu tinggi
Cinta itu murni
Itu bersih
Itu tinggi

Lirik lagu Slank mengiringi waktu santai kami di teras warkop dekat rel kerata. Waktu itu matahari mulai pulang ke peraduan, sambil membawa senja pergi. Berpapasan dengan itu secangkir teh beserta susu terpisah datang untuk menemani tongkrongan kami. Mungkin waktu itu tesara istimewa, kare pengunjung cafe hanya kami berdua, jadi tera waktu dan ruang disana adalah milik kami sepenuhnya.

“Takdir merupakan musuh terbesar bagi bujuk-rayu berahi” Tole membuka perbincangannya. Dalam sejarah agama, bujuk-rayu berahi adalah sebuah stratergi para mahluk api (setan), mereka mengembangkannya dalam bentuk sihir bahkan cinta. Ia mengejawantah sebagai hasrat godaan setan atau godaan duniawi. Ia sesungguhnya wujud dari kepalsuan duni itu sendiri.

Bujuk-rayu berahi memberikan kutukan bagi setiap mahluk, bahkan kutukannya makin melekat dalam etika dan filsafat. Kutukan tersebut sekarang ini masih lestari dalam perkembangan keilmuan psikoanalisis dan “pembebasan hasrat. Bahkan dengan dukungan wacana seks saat ini, setan dan penyimpangan merayakan kembali atas kebangkitannya dari semua kutukan. 

Sesekali ia berhenti sejenak untuk mengatur alur napas karene berbicara banyak. Bahkan barang istimewa Tingwe dikeluarkan dari balik saku jaket kusam yang bagiku penuh akan cerita. Tole teman baik, dia lintingkan juga satu untuk menghibur suasana hatiku. Entah darimana dia tau bahwa aku memang membutuhkan seseruput nikonit untuk meredakan hati yang gundah. Kemudian kami ngesess bersama.

Tole melanjutkan dongen filsafatnya. Sejak abad ke-18 puncaknya masyarakat membicarakan bujuk-rayu berahi. Hal ini ditunjukkan dengan keberanian dan kehormatan meluap, sebuah pusat kekuasaan, “asyik-masyul” dalam wilayah aristrokratik. Sehingga revolusi borjuis mengangkat pedang untuk menyudahi keasyikan ini (revolusi pada awalnya berupaya untuk mengakhiri godaan penampilan kulit luar).

Masa kedudukan borjuis di Eropa sudah merelakan dirinya pada fitrah alam dan produksi. Persoalan uang masih sangat asing dan bahkan secara ekspresfi tergantikan oleh bujuk-rayu berahi. Bahkan sejak mencuatnya seksualitas, seperti kata Foucault, dari sebuah proses produksi, dari wacana pembicaraan atau hasrat tidaklah begitu mencengangkan bahwa bujuk-rayuberahi telah menjelma menjadi segala hal terselubung.

Kita sekarang ini menghidupkan dukungan terhadap suatu fitrah, baik fitrah jiwa yang bagus di masa silam, ataupun alam material bagus dari benda-benda, atau bahkan fitrah psikis hasrat. Kondisi fitrah menuntut realitasnya melalui semua metamorfosis si tertindas, dan malalui pembebasan semua energi, baik psikis, sosial ataupun meterial.

///
“cinta itu suci
Itu putih
Itu tinggi
Cinta itu murni
Itu bersih
Itu tinggi
Kuil cinta menebarkan kebahagiaan
Kuil cinta menebarkan kedamaian
Cinta itu benih
Itu jernih
Itu tinggi

Lirik itu kembali menyekat perbincangan kami. Tapi dilain sisi aku bersyukur mendengarkan lagu tersebut. Kenapa tidak, lagu yang telah membuat kutegar dan menibulkan rindu tak berujung muncul kembali. Kuganti kertas papiler berbintang 9 dengan menambahkan 4 butir cengkeh tumbuk, kulinting, kugepengkan ujung belakang, kubakar sumbu depan. Terasa ada yang mengalir di dalam jiwa.

Tole masih sibuk dengan Smart Phonenya, sekedar cek pesan masuk. Aku suka caranya menghargai teman dengan tidak memiringkan HP dan asik dunianya sendiri. “Meski demikian, bujuk-rayu berahi tidak pernah menjadi bagian dari tata kefitrahan. Tetapi malah memiliki kepalsuan, yang budakn bagian tatanan energi, malainkan tatanan tanda dan ritual”.

Inilah yang membuat semua sistem produksi-interpretasi belum pernah berhenti menjaga jarak dengan bujuk-rayu berahi. Mereka menaruh hati demi keberuntungannya dari wilayah konseptual. Karena bujuk-rayu berahi teruh menghantui mereka sampai masuk kerelung wilayah abadi, sehingga berani mengancam mereka dengan kemabukan.

Ia menantikan setiap rusaknya tatanan keillahian, termasuk tatanan hasrat dan produksi. Bujuk-rayu berahi terus muncul bagi semua kebaruan situasi sebagai betuk marabahaya dan kepalsuan. Sebuah sihir hitam untuk menselubingi semua kebenaran, dan menghidupkan sebuah pemujaan atas “manfaat” tanda-tanda jahat (tanda-tanda persekongkolan).

Setiap wacana diancam dengan penjungkiran secara tiba-tiba, terserap masuk dalam tanda-tandanya sendiri tanpa jejak makna. Inilah sebagai sebab mengapa semua disiplin yang mempunyai aksioma, koherensi dan finalitas harus menerobos untuk kebebasannya. Mulai dari sinilah bujuk-rayu berahi dan feminitas disalah tafsirkan.

Bahkan maskulinitas selalu dihantui oleh punjungkiran tersebut dalam feminitas. Bujuk-rayu berahi dan ferminitas sendiri tidak dapat menghindarkan dirinya sebagai sisi lain seks, makna dan kekuasan yang berlaku.

Dalam keadaan saat ini eksorsisme lebih kejam dan sistematis. Bila kalian melek sedikit lebar lagi, barulah sadar bahwa kita sedang memasuki era akhir dari solusi. Misalnya era revolusi seksual, era produksi, semua pengaturan kenikmatan liminal, subliminal, micro-processing dari hasrat-nafsu, dengan wanita memproduksi dirinya sendiri sebagai wanita dan seks menjadi “pengejawantahan terakhir. Sehingga menjadikan suatu senjata bujuk-rayu pamungkas.

Kalaupun bukan karena kejayaan bujuk-rayu berahi lembut dan “putih-suci”, hal tersebut hanyalah merupakan feminisasi dan erotisasi atas lemahnya semua semesta sosial. Karena tidak ada yang lebih besar daripada bujuk-rayu berahi itu sendiri, bahkan juga tidak untuk tatanan yang melindasnya.

How can this happen how can this be. There is no ending there is no peace. The darksness is so close. The light so quickly goes, now it’s all gone now it’s all gone. The darkness keep its grip.  How’d it come to this how’d it come to this. I tried to be sostrong, I thought that hape would come, but you’re not here.

Posting Komentar

0 Komentar