
///
“Cinta itu suci
Itu putih
Itu tinggi
Cinta itu murni
Itu bersih
Itu tinggi”
Lirik lagu Slank
mengiringi waktu santai kami di teras warkop dekat rel kerata. Waktu itu
matahari mulai pulang ke peraduan, sambil membawa senja pergi. Berpapasan
dengan itu secangkir teh beserta susu terpisah datang untuk menemani
tongkrongan kami. Mungkin waktu itu tesara istimewa, kare pengunjung cafe hanya
kami berdua, jadi tera waktu dan ruang disana adalah milik kami sepenuhnya.
“Takdir merupakan musuh
terbesar bagi bujuk-rayu berahi” Tole membuka perbincangannya. Dalam sejarah
agama, bujuk-rayu berahi adalah sebuah stratergi para mahluk api (setan),
mereka mengembangkannya dalam bentuk sihir bahkan cinta. Ia mengejawantah
sebagai hasrat godaan setan atau godaan duniawi. Ia sesungguhnya wujud dari
kepalsuan duni itu sendiri.
Bujuk-rayu berahi
memberikan kutukan bagi setiap mahluk, bahkan kutukannya makin melekat dalam
etika dan filsafat. Kutukan tersebut sekarang ini masih lestari dalam
perkembangan keilmuan psikoanalisis dan “pembebasan hasrat. Bahkan dengan
dukungan wacana seks saat ini, setan dan penyimpangan merayakan kembali atas kebangkitannya
dari semua kutukan.
Sesekali ia berhenti
sejenak untuk mengatur alur napas karene berbicara banyak. Bahkan barang
istimewa Tingwe dikeluarkan dari
balik saku jaket kusam yang bagiku penuh akan cerita. Tole teman baik, dia
lintingkan juga satu untuk menghibur suasana hatiku. Entah darimana dia tau
bahwa aku memang membutuhkan seseruput nikonit untuk meredakan hati yang
gundah. Kemudian kami ngesess bersama.
Tole melanjutkan dongen
filsafatnya. Sejak abad ke-18 puncaknya masyarakat membicarakan bujuk-rayu
berahi. Hal ini ditunjukkan dengan keberanian dan kehormatan meluap, sebuah
pusat kekuasaan, “asyik-masyul” dalam wilayah aristrokratik. Sehingga revolusi
borjuis mengangkat pedang untuk menyudahi keasyikan ini (revolusi pada awalnya
berupaya untuk mengakhiri godaan penampilan kulit luar).
Masa kedudukan borjuis di
Eropa sudah merelakan dirinya pada fitrah alam dan produksi. Persoalan uang
masih sangat asing dan bahkan secara ekspresfi tergantikan oleh bujuk-rayu
berahi. Bahkan sejak mencuatnya seksualitas, seperti kata Foucault, dari sebuah
proses produksi, dari wacana pembicaraan atau hasrat tidaklah begitu
mencengangkan bahwa bujuk-rayuberahi telah menjelma menjadi segala hal
terselubung.
Kita sekarang ini
menghidupkan dukungan terhadap suatu fitrah, baik fitrah jiwa yang bagus di
masa silam, ataupun alam material bagus dari benda-benda, atau bahkan fitrah
psikis hasrat. Kondisi fitrah menuntut realitasnya melalui semua metamorfosis
si tertindas, dan malalui pembebasan semua energi, baik psikis, sosial ataupun
meterial.
///
“cinta itu suci
Itu putih
Itu tinggi
Cinta itu murni
Itu bersih
Itu tinggi
Kuil cinta menebarkan kebahagiaan
Kuil cinta menebarkan kedamaian
Cinta itu benih
Itu jernih
Itu tinggi”
Lirik itu kembali
menyekat perbincangan kami. Tapi dilain sisi aku bersyukur mendengarkan lagu
tersebut. Kenapa tidak, lagu yang telah membuat kutegar dan menibulkan rindu
tak berujung muncul kembali. Kuganti kertas papiler berbintang 9 dengan
menambahkan 4 butir cengkeh tumbuk, kulinting, kugepengkan ujung belakang,
kubakar sumbu depan. Terasa ada yang mengalir di dalam jiwa.
Tole masih sibuk dengan
Smart Phonenya, sekedar cek pesan masuk. Aku suka caranya menghargai teman
dengan tidak memiringkan HP dan asik dunianya sendiri. “Meski demikian,
bujuk-rayu berahi tidak pernah menjadi bagian dari tata kefitrahan. Tetapi
malah memiliki kepalsuan, yang budakn bagian tatanan energi, malainkan tatanan
tanda dan ritual”.
Inilah yang membuat semua
sistem produksi-interpretasi belum pernah berhenti menjaga jarak dengan
bujuk-rayu berahi. Mereka menaruh hati demi keberuntungannya dari wilayah
konseptual. Karena bujuk-rayu berahi teruh menghantui mereka sampai masuk
kerelung wilayah abadi, sehingga berani mengancam mereka dengan kemabukan.
Ia menantikan setiap
rusaknya tatanan keillahian, termasuk tatanan hasrat dan produksi. Bujuk-rayu
berahi terus muncul bagi semua kebaruan situasi sebagai betuk marabahaya dan
kepalsuan. Sebuah sihir hitam untuk menselubingi semua kebenaran, dan
menghidupkan sebuah pemujaan atas “manfaat” tanda-tanda jahat (tanda-tanda
persekongkolan).
Setiap wacana diancam
dengan penjungkiran secara tiba-tiba, terserap masuk dalam tanda-tandanya
sendiri tanpa jejak makna. Inilah sebagai sebab mengapa semua disiplin yang
mempunyai aksioma, koherensi dan finalitas harus menerobos untuk kebebasannya.
Mulai dari sinilah bujuk-rayu berahi dan feminitas disalah tafsirkan.
Bahkan maskulinitas
selalu dihantui oleh punjungkiran tersebut dalam feminitas. Bujuk-rayu berahi
dan ferminitas sendiri tidak dapat menghindarkan dirinya sebagai sisi lain
seks, makna dan kekuasan yang berlaku.
Dalam keadaan saat ini
eksorsisme lebih kejam dan sistematis. Bila kalian melek sedikit lebar lagi,
barulah sadar bahwa kita sedang memasuki era akhir dari solusi. Misalnya era
revolusi seksual, era produksi, semua pengaturan kenikmatan liminal, subliminal,
micro-processing dari hasrat-nafsu,
dengan wanita memproduksi dirinya sendiri sebagai wanita dan seks menjadi
“pengejawantahan terakhir. Sehingga menjadikan suatu senjata bujuk-rayu
pamungkas.
Kalaupun bukan karena
kejayaan bujuk-rayu berahi lembut dan “putih-suci”, hal tersebut hanyalah
merupakan feminisasi dan erotisasi atas lemahnya semua semesta sosial. Karena
tidak ada yang lebih besar daripada bujuk-rayu berahi itu sendiri, bahkan juga
tidak untuk tatanan yang melindasnya.
How
can this happen how can this be. There is no ending there is no peace. The
darksness is so close. The light so quickly goes, now it’s all gone now it’s
all gone. The darkness keep its grip.
How’d it come to this how’d it come to this. I tried to be sostrong, I
thought that hape would come, but you’re not here.
0 Komentar