Oleh
Wisanggeni Esmoyo [] Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam; IAIN
Tulungagung [] Staf Verstehen Organic Philosophy
Satu-satunya
hal yang hingga detik ini aku sesali adalah menjadi seorang perokok. Bayangkan,
demi membuat tulisan mojok slengekan yang tidak bagus-bagus amat ini saja aku
harus menghisapnya berulang-ulang kali. Sudah tidak bagus-bagus amat gagal pula
membuat kau tertarik kembali.
Kusumet
rokok kretek di siang bolong sambil ditemani Tole yang mengayunkan kakinya di
angkringan. Kubercerita padanya, Tole sekarang ini tak ada yang lebih meregukan
ketimbang seks di balik pembebasan wacananya. Tole menyimak, dan saat ini tak
satu pun yang lebih mengasyikan ketimbang hasrat, di balik perkembangan yang
cepat atas citra-citranya.
Kupikir
perkembangan persoalan seks sedang mendekati kebangkrutan total. Mungkin,
disinilah letak rahasia peningkatan produksi seks, tanda-tanda hiperrealisme
kepuasan seksual dan khususnya kepuasan feminin berada. Bahkan prinsip ketidak
pastian telah merambah nalar seksual, politik dan ekomoni. Kembali kuhisap
kretekku yang cepat menyusut termakan angin.
Untungnya
Tole sigap menanggapinya, ia berujar pernyataan tentang pembebasan seks adalah
pernyataan ketidak pastian. Tidak ada lagi kecukupan referensi untuk setiap
prinsipnya. Nalar ekonomi dipelihara oleh kemiskinan; ia muncul dalam bentuk
pertanyaan yang diikuti perwujudan tujuan, yakni pembantaian hantu kemiskinan.
Demikian pun hasrat, ia hanya dipelihara oleh ketidak cukupan.
Baiklah aku
pahami kegelisahanmu, sambil menghisap kembali kretek sedalam-dalamnya hingga
terasa meayang kepalaku. Tole akan tidak sempurna ketika hasrat secara keseluruhan
berada pada sisi tuntutan. Bayangkan ketika ia dioperasionalisasikan tanpa
batasan, ia menjadi hilang angan-angannya dan kehilangan realitasnya.
Berarti ia
bisa muncul di mana saja, kecuai dalam situasi yang sudah umum, sambar Tole.
Ya, ia adalah hantu hasrat nafsu yang selalu mengejar realitas seks, yang telah
mati. Seks ada di mana-mana, kecuali dalam seksualitas itu sendiri kata Barthes
ujarku. Eh ternyata sudah habis saja rokok ini.
Ahhh sialan
kenapa rokok pemberian teman dari Jombang ini cepat sekali habis, padahal masih
awalah aku memulai cerita ini. Untungnya Tole berbaik hati menyodorkanku
sepuntung Magnum 2.3, sehingga kubisa melanjutkan cerita ini. Tole, dalam
mitologi seksual transisi menuju feminin terjerat dengan peralihan kepastian menuju
ketidak pastian.
Feminin
bukan berarti penganti maskulin loh. Maksudnya, tidak ada pengantian fungsi
jenis kelamin berdasarkan kebalikan struktural. Ia itu malah menjadi tombak
keterwakilannya seks, sebagai pengembangan hukum yang mengatur perbedaan jenis
kelamin.
2.3 ini
benar-benar melambungkan kesadaranku, hal demikian sudah wajar bagi maba
perokok. Tole memijat keningku dan menawarkan susu beruang, katanya supaya ada
penetralan nikotin yang masuk dalam tubuh pemuda galau ini. Sambil dipijit aku
lanjut bercerita, munculnya feminin selalu berhubungan dengan batas antara
kepuasa seksual dan malapetakan prinsip realitas seks.
Maksudku
feminin juga bertambah kuat, seperti di masa kini dalam situasi mematikan
hiperealitas seks bahkan yang kemarin juga demikian. Tetapi dengan perbedaan
yang sangat kontras, yakni dalam ironi dan berahi.
///
Maka Freud
benar: hanya ada satu seksualitas satu libido dan itulah maskulin. Seksualitas
mempunyai struktur diskriminatif yang kuat teletak pada lingga (phallus),
pengebirian atas Nama Bapa dan penindasan. Tak ada gunanya kalian memimpikan
seksualitas tanpa lingga, terbuka dan tanda tanda. Tak ada gunanya berupaya
dari kedalaman struktur ini, yang untuk membawa feminin melampai istilah ini.
Strukturnya
masihlah sama dengan sifat kewanitaan, yang seluruhnya terhisap oleh sifat
lelaki, atau sekarat sehingga tak ada lagi pembedaan pria-wanita. Inilah yang
diinginkan saat polivalensi erotik, potensialitas hasrat tak terbatas dengan
berbagai hubungan difraksi-difraksi dan intensitas libidal. Menjadikan bermacam
varian dan alternatif pembahasan, yang datang dari ambang batas keinginan bebas
psikoanalisis.
Di balik
gejolak tersebut menjadikan segalanya terfokus menuju nondiferensiasi struktur
dan netralisasi potensial. Bahwasannya revolusi seksual bagi kaum wanita adalah
wanita yang terikat dalam struktur diskriminasi atau menjadi kemenangan yang
dicemooh dalam struktur lemah.
Mereka
(feminin) selalu berada di tempat lain, itulah rahasia kekuatanya. Bisa
dikatakan bahwa sesuatu berahi karena eksistensinya tidak mencukupi untuk
esinsinya sendiri. hal tersebut dapat dikatakan bahwa feminin menggoda (seduce),
ia tidak pernah tahu di mana sebenarnya keberadannya.
Mereka
tidak ditemukan di dalam sejarah kesengsaraan dan penindasan, yang diarahkan
pada duka lara historis wanita, meskipun mereka sudah dengan cerdik
menyembunyikan dirinya. Mereka mengalami
penderitaan berupa perbudakan ketika ditugaskan ke dalam struktur revolusi
seksual yang secara dramatis.
Tetapi
dengan kerumitan yang membias (kerumitan dengan apa jika bukan, tentunya,
dengan pria) akan memaksa kita percaya bahwa inilah sejarah kaum wanita?
Represi atau penindasan sudah berada di sini sejak awal dengan kekuatan penuh,
dalamdongeng kesengsaraan seksual dan politik wanita, sampai ke pembunuhan
setiap kenis kekuatan dan kedaulatan lain.
Sebuah
alternatif lain muncul untuk seks dan kekuasaan, sesuatu yang tidak diketahui
psikoanalisis karena aksiomatiknya adalah seksual. dan ya, alternatif ini
memang mengenai tatanan sang femiinin, yang dipahami di luar konflik
maskulin/feminin, bahwa oposisi tersebut secara esensial menjadi maskulin,
seksual dalam kehendak dan ketidak mampuan untuk dikalahkan tanpa berhenti
untuk keluar dari lingkaran ini.
Kekuatan
feminin ini adalah kekuatan bujuk rayu berahi. “Gigi yang kokoh, perut yang
kuat. Itulah yang kuharapkan darimu. Dan kalau tulisanku sudah kaucerna pasti
kau tahu bagaimana mengerti dirimu sendiri bersamaku”.
0 Komentar