Karya: Herno Resti Wastiti
Managemen Pendidikan Islam, IAIN Tulungagung
Menikmati segarnya udara dan memandangi
keindahan bunga bermekaran di taman memang menjadi momen yang selalu kunantikan
sejak kecil. Musim dingin yang disertai turunnya salju kali ini memang sudah
berlalu dengan cepatnya dan memberi kesan tersendiri bagiku, namun musim semi
adalah saat-saat yang aku inginkan untuk menorehkan sejuta kenangan manis di
dalamnya. Saat itu aku memutuskan untuk bersepeda di taman dekat apartemen yang
kami tinggali bersama dengan saudara perempuan yang lebih muda lima tahun
dariku. Sembari menuju garasi untuk mengambil sepeda, aku meminta ijin kepada
ibu terlebih dahulu untuk mengajaknya.
“Buu… kakak mau ke taman dulu sama adik,
boleh ya?,”
tanyaku pada ibu yang sedang sibuk
mempersiapkan pesta barbeque sederhana yang biasa keluarga kami rayakan
untuk menyambut musim semi.
“Iya kaa!! tapi jangan lama-lama ya..!!
ibu perlu bantuan untuk siapin bahan, nih..!!!,” sahut ibu dari arah dapur.
“Enggak lama kok…cuma keliling bentar saja,”
jawabku meyakinkan untuk segera kembali ke rumah dan membantu ibu.
“Yuk kak! Adek sudah siap!,” ucapnya
dengan semangat. Baru saja turun dari kamarnya di lantai atas.
“Ya sudah langsung saja, yuk! Nanti
keburu siang,” jawabku sambil meraih sebuah buku dari atas meja untuk kubaca
sesampainya di sana.
Kami bergegas mengayuh sepeda ke tempat
yang dimaksud, benar saja di sana sudah banyak orang yang juga sedang menikmati
indahnya musim semi. Bunga-bunga yang bermekaran di taman diiringi suara cuatan
burung yang berada di pinggir sungai seakan mengundang suasana pedesaan di
tengah kota. Entah mengapa aku merasakan kedamaian setiap kali melihat suasana
musim semi ditambah dengan udara segar yang diciptakan dari pepohonan yang
sedang rindang. Kami memutuskan untuk berhenti di salah satu sudut taman kala
itu, belum sampai aku mengambil buku favorit yang ingin kubaca pandanganku terkalihkan
ketika melihat seorang paman yang sedang membaca buku dengan cover yang
sama di salah satu bangku taman. Merasa bertemu dengan orang yang memiliki hobi
bacaan yang sama aku memutuskan untuk menghampirinya, meninggalkan adikku yang asyik
memotret pemandangan di taman.
“Ehem…permisi, boleh saya duduk di
samping paman?,” tanyaku pada paman itu takut kalau saja ia merasa tidak
nyaman.
“Oh iya boleh, silakan duduk nak!,”
jawabnya dengan ramah.
“Hmmm ahh..…tak diragukan lagi udara di
sini memang segar, oh iya paman ke sini sendirian ya?” tanyaku sekedar basa
basi.
“Eh, maaf kalau saya lancang hehe,”
Sekilas aku melihat paman itu sedang
tertawa kecil setelah memandangku yang dengan jelas bergurab di wajahnya.
“Haha, kamu ini lucu ya, padahal belum
paman jawab loh…iya paman memang sering ke sini, saya suka udara dan suasana di
tempat ini, paling nikmat kalau untuk baca buku,” jawab paman itu dengan
tenang.
“Juga untuk bernostalgia masa muda paman
hehe,” imbuhnya.
“Oh begitu ya! Wah, kebetulan saya juga
punya buku yang sama dengan punya paman,” sambil menunjukkan buku yang kuambil dari
keranjang sepeda.
“Waaah iya sama! terus apa kamu suka
dengan buku itu?” tanya paman padaku.
“Saya sangat suka dengan tokoh yang
diceritakan di dalamnya, saya begitu tersentuh atas kisah perjuangannya dalam
merintis karir. Mengisahkan anak seorang pemusik dan pendongeng tradisional
yang harus hidup serba pas-pasan agar mampu bertahan hidup. Bahkan semasa
kecilnya harus menelan kenyataan pahit seperti itu hingga membuatnya tersadar
harus membantu
ekonomi keluarga dengan bekerja kecil-kecilan. Sampai membuatnya harus ditolak oleh
beberapa sekolah karena nilainya yang kurang karena lebih fokus untuk bekerja.
Dan kesengsaraan pun terus berlanjut, dia juga ditolak oleh beberapa perusahaan
yang dilamarnya…”. Tanpa sadar aku telah menceritakan hampir seluruh isi buku
dan seolah seperti sedang berhadapan dengan temanku yang sudah akrab, tersadar
aku pun menghentikan obrolanku sesaat.
Paman itu hanya tersenyum dengan hangat
menanggapi ocehanku yang nyaris tiada ujung. Rasanya malu bukan kepalang,
kebiasaanku selalu muncul kapan pun dimanau seperti penyiar akun gosip sedang
berkumandang. Menyadari akan hal itu aku pun mencoba mengalihkan pandanganku ke
sungai yang ada di hadapan kami, dan terdiam sesaat….
“Pada akhirnya tokoh tersebut berhasil
menciptakan perusahaannya sendiri bersama teman-temannya….” sambung paman
seakan sudah mengetahui akhir dari cerita sembari tersenyum kemudian. Aku
terdiam keheranan memandang paman itu. Setelah beberapa saat menatapnya,
sekilas aku seperti tidak asing dengan wajah dan senyuman yang dipancarkannya.
“Kamu kelihatan seperti sedang
memikirkan sesuatu,” ucapnya sambil menatapku dengan tajam.
“Kalau kamu sangat tertarik dengan tokoh
yang ada di buku itu datang saja ke alamat yang tercantum di kartu nama ini!
Akan paman ceritakan keseluruhan kisah yang belum sempat dibukukan” ucap paman
sambil menyodorkan kartu namanya.
“Sebelum paman pergi…apa boleh tau nama
kamu siapa? Paman sampai lupa belum berkenalan….” tanya paman itu kepadaku.
“Gu Wei Yi….” jawabku singkat, masih
memikirkan siapa pemilik wajah itu.
Aku masih terdiam sedang memikirkan
suatu hal yang mengganjal dipikirkanku, aku terus berusaha mengingat dan mengingatnya.
“Baiklah Gu Wei Yi, paman tunggu
kedatangan kamu! Saya pergi dulu ya,” ucap paman berpamitan sambil menepuk
bahuku, kemudian beranjak dari bangku taman.
Sebelum bergegas untuk meninggalkanku,
langkahnya terhenti seakan ingin mengucapkan satu hal kepadaku yang ingin aku
ingat selamanya.
“Dan ingat hal ini anak muda! Today
is hard, tomorrow will be worse but the day after tomorrow will be sunshine….”
ucapnya sambil tersenyum dan langsung berbalik badan untuk meninggalkan taman
menuju arah tempat parkir.
Layaknya orang bodoh, beberapa menit
berlalu hanya kugunakan untuk melamun, membiarkan paman itu pergi begitu saja
tanpa kuucapkan selamat tinggal padanya. Adikku yang menghampiri dari salah
sudut taman datang mengejutkanku. Dia segera mengajak kembali ke rumah untuk
membantu menyiapkan acara nanti malam. Saat beranjak dari bangku taman,
seketika akhirnya aku teringat!
“J…JJ…JACK MA!!!,” sontak aku berteriak,
tersadar bahwa paman yang berbicara denganku tadi adalah orang yang ada di
dalam buku yang kupegang.
Spontan aku langsung menoleh dan
membalikkan badan ke arah tempat parkir, namun aku tidak melihat keberadaan
paman itu lagi disana.
“Apa sih kak, bikin jantung copot saja !
Malu tau ditatap orang banyak tuh,” gerutu adikku yang terpekak suara
teriakanku yang begitu nyaring sampai-sampai burung di taman pun ikut terkejut
dan terbang menjauh.
“What, aku ketemu Jack Ma! Kakak
barusan ketemu Jack Ma! Jack Ma!” ucapku heboh seperti seorang gadis yang
bertemu idol Korea kesukaannya.
“Apa sih helloow yuhuu…bangun kak!
Jangan mimpi deh, halu siang-siang gini enggak baik loh!” ujar adikku tak
percaya dan menampik perkataanku.
“Benaran tahu!” bentakku meyakinkannya.
“Ga percaya amat sama kakak sendiri,”
sahutku.
“Hmm iya in aja deh, kita lanjut di
rumah saja yuk! Kasihan ibu pasti sudah nungguin kita,”
“Sumpah deh! Punya adek ngeselin banget,
”gumamku kesal sambil mengayuh sepeda lebih dulu.
“Apa!” sahut adikku.
Tanpa pikir panjang aku langsung
bergegas menuju ke rumah dan meninggalkan adikku di belakang.
“Heyyy! Tunggu kak!” teriaknya di
belakangku.
Ini adalah kesempatan langka bertemu
dengan tokoh yang begitu luar biasa, namun aku menyia-nyiakannya begitu saja
karena tenggelam dalam lamunanku. Teringat juga kalau tadi paman itu memberi
kartu nama, kurogoh kantongku lalu kubaca dan benar saja di sana tertulis Jack
Ma serta alamat kantor perusahaannya, Alibaba Group. Tentunya penyesalan datang
kemudian, menyesali bahwa aku telah mengabaikan kehadirannya. Orang yang
kukagumi baru-baru ini.
“Haaah… andai pertemuan selama beberapa
menit itu bisa diulang kembali. Harusnya aku lebih banyak mengobrol dengannya
bukan malah membahas isi buku yang diperankan olehnya. Kenapa juga aku harus
tenggelam dalam lamunan itu padahal jelas orang yang kuceritakan sedang ada di
hadapanku… haishhh sial,” saat itu juga muncul berbagai penyesalan dalam
benakku ketika sesampainya di rumah.
Ya, itulah kebodohan yang kulakukan saat
belasan tahun silam. Benar dikata orang kalau waktu memang begitu cepat
berlalu, tapi ucapan Jack Ma kala itu masih tertanam jelas dalam ingatanku.
Kalau saja aku tidak bertemu dengannya di bangku taman waktu itu mungkin aku
tidak bisa bertatapan dengannya setiap hari, seperti saat ini.
“Selamat pagi Gu Wei Yi….”, sapa Jack Ma
kepadaku setiap kali melintasi ruang kerjaku.
“Ah, ya selamat pagi pak!,” jawabku
dengan kusisipi senyuman manis
Kami sering mengobrol saat jam makan
siang di kantin, aku juga sering menceritakan kalau perkataan yang diucapkannya
di bangku taman waktu itu selalu kuingat sampai saat ini.
“Rasanya saya sangat bangga atas
pencapaian saya hingga saat ini, sangat bersyukur waktu itu telah dipertemukan
dengan orang seperti bapak di saat yang tepat dan…apa yang bapak katakan waktu
itu masih saya ingat dan selalu saya tanamkan dalam diri ketika sedang
mengalami masa-masa yang berat. Memang anda adalah orang yang tepat untuk
dijadikan inspirator,” ucapku padanya disela-sela kegiatan makan siang kami
“Ah! kamu ini pintar memuji ya,
syukurlah kalau saya bisa menjadi motivator bagimu,” ujarnya dan melirikku
sambil menyeduh kopi hitam yang ada di hadapannya
“Anda memang hebat!” ucapku yang tak
hentinya memuji.
“Halah sudahlah…mengenai ucapanku di
taman waktu, apa kau tidak ingin menagihnya?” tanyanya seakan menguji ingatanku
“Kalau anda berkenan, apakah boleh?”
tanyaku ragu
“Halah kau ini! kebiasaanmu masih sama
saja ya, ingin banyak tau tapi selalu sungkan dulu…slurrrrrpppp” ucapnya sambil
meneguk secangkir kopi yang ada ditangannya
“Ah…hehehe”
Akhirnya kami larut dalam percakapan
hari itu. Saat tengah asyik menceritakan seluruh kisah hidupnya, disela-sela
itu ada seorang wanita yang mendekat ke tempat kami. Ia duduk tepat di
sebelahku. Tiba-tiba ia mendekatkan wajahnya seperti ingin mengatakan sesuatu.
Samar-samar aku mendengar bisikan dari wanita itu, lirih seperti memanggil
namaku.
“Gu – Wei – Yi …hey, Gu Wei Yi…Gu We
Yiiii,” suara yang kecil dan lirih tepat di telinga kananku
“GU WEI YI! BANGUN!!!” bentaknya.
Dan ternyata itu adalah suara ibuku,
sontak aku terkejut dan langsung terbangun.
“Hahhh…hah…hah” aku terbelalak napasku
terengah-engah seperti baru saja lari maraton.
“Cepat bangun! bantu ibu nyiapin pesta barbeque!
Si adek udah bantuin dari tadi tuh, kamu juga harus bantuin!”omel ibuku yang
nyaring kudengar seperti biasanya.
“Haaah iya iyaaa,”sahutku kesal.
Merasa seperti tertampuk kenyataan,
ternyata semua yang kualami itu hannyalah mimpiku yang muncul di siang bolong
tepat di hari pertama musim semi.
“Hah apa-apaan! Masa ini cuma mimpi?”
gumamku kesal.
Menyadarinya aku langsung pergi ke kamar
mandi untuk membasuh muka. Ketika aku beranjak, tak sengaja aku menyenggol
sebuah buku dan jatuh. Ternyata, itu adalah buku yang ada dalam mimpiku. Aku
baru ingat kalau baru membelinya di bazar kemarin dan selesai kubaca hari ini.
Mungkin seketika aku langsung tertidur di meja belajarku. Meskipun pertemuan
dengan Jack Ma hannyalah menjadi mimpi belaka tapi hal ini akan kujadikan
sebagai pemberi semangat dan motivasi dalam hidupku bahwa aku juga bisa seperti
dia dan akan kubuktikan di masa depan. Yah, tapi aku berdoa semoga mimpiku itu
bisa terwujud sih, siapa coba yang nggak mau bernasib mujur seperti itu hehe….
0 Komentar