Karya: Ahmad Shafwani Wahid
UIN Antasari Banjarmasin
Juara Pertama CERYA
Mentari masih
bersambut dengan hujan dalam membiaskan cahaya pelangi. Di bawah awan hitam,
masih berselimut rasa kelam di balik rencana Tuhan. Menyisakan sisi harap
beriring dengan realita penuh tanda tanya. Merasakan keraguan terhadap dukungan
semesta. Mendebat alam, “Dimanakan kebenaran ini?, Mengapa walau bersama gerangan,
masih sulit mencari harta karun yang terpendam?, Terbenam di sudut jiwa,
berusaha mencari sebuah harga yang pantas dibayar”.
Namaku Andre.
Aku kelas XI di salah satu SMA Negeri di kota Banjarmasin. Dalam bidang
akademik, aku memang termasuk anak yang prestasinya menengah ke bawah. Otak ini
tak mampu banyak menerima pembelajaran seberapa keras aku berusaha. Tak
mengherankan ketika aku hanya melihat ending yang mengecewakan walaupun
sebenarnya sangat ingin mendapatkan hasil yang memuaskan.
Pagi ini, aku
merenung memandang nilai dari kertas-kertas ujian yang dibagikan di sekolah. Di
dalam kamar, aku berteman dengan lembaran-lembaran yang membuat dunia seakan
ingin berakhir. Berusaha menghalau kenyataan bahwa bakat akademik hanya
dimiliki oleh orang-orang berkemampuan. Usaha tanpa bakat hanya menghasilkan
palu kegagalan. Liarnya pikiran ini tak mampu menahan pilunya hati atas suasana
yang telah terjadi. Hati yang menginginkan hasil yang pantas namun terhalang
skill yang terbatas.
Dunia seolah
berkata, “Tanpa kemampuan, kau hannyalah sampah yang mengikuti arus, tak ada
kesempatan bagimu untuk mendominasi kehendak”. Aku termenung sendirian
memikirkannya. Remang malam masih menghantui masa depan. Takut gemilangnya akan
hilang tenggelam dalam persaingan. Mungkinkah ada harapan untuk makhluk tanpa
kemampuan diri berkamuflase dalam indahnya fatamorgana.
Merasa masih ada
Pandora dalam dunia ini. Alasan demi alasan bergantian untuk saling
menghancurkan. Kesalahpahaman terhadap subjek menjadi acuan dalam menggenggam
langit. “Tuhan tidak bermain dadu”, kata-kata terkenal dari Albert
Enstein ini membuatku sedikit bergetar. Walaupun dari satu sisi kata ini lebih
bersifat perbandingan ilmiah daripada keyakinan ilahiah, namun ini tetap
mengajarkanku pada satu kesimpulan. Tak selamanya superioritas menebas
permukaan inferioritas. Tak ada monopoli hukum rimba sepihak atas semua yang
bertahan, karena permainan bukan sekedar main-main dalam menguasai tujuan. Tak
ada dadu yang bermain, tak ada keberuntungan dari kemampuan tanpa usaha keras.
Namun kembali
lagi sejenak aku terinspirasi terhadap tokoh yang kehidupannya ibarat seonggok
batu biasa namun perlahan berubah menjadi permata. Mereka menemukan harta dalam
jiwanya yang menjadi pemancing kesuksesan baginya. Mereka yang berawal dari
kegagalan dan kenistaan nasib namun berlanjut dengan inspirasi hidup yang
berharga dan berakhir dengan embusan angin yang membuat bangga saat
merasakannya. Jalan hidupnya penuh dengan perjuangan dalam mencapai plot
twist yang mengejutkan.
Tokoh-tokoh
seperti Albert Enstein penemu teori relativitas atau Thomas Alva Edison yang
terkenal karena penemuan lampu pijarnya menjadi bukti nyata bahwa usaha yang
keras tak akan mengkhianati hasil. Walaupun di tengah orang-orang yang
merendahkan mereka karena bodoh dalam bidang akademik di sekolah, mereka tetap
berusaha keras dalam keterpurukan hidup hingga dihormati oleh banyak orang
karena penemuannya yang menjadi terobosan bagi dunia.
Hari ini hari
libur. Minggu pagi setelah hari ujian semester berakhir. Setelah puas meratapi
hasil yang kuterima, aku berjalan disisi jalan raya. Dipinggirnya ada pepohonan
yang rimbun dan diselingi rumah-rumah penduduk. Menyegarkan bagi mata yang
memandang. Menyejukkan bagi hati yang mengerti bahwa inilah kekuasaan Tuhan
yang tak tertandingi. Lagi-lagi dunia seolah berkata, “Kau tak ada bandingannya
dengan alam ini. Kau hannyalah secuil debu yang siap terlempar kapan saja”. Ku
serasa ingin menyanggahnya, “Jika aku hannyalah sebutir debu, maka debu ini
akan berbalik melawanmu, hidup bersamamu, dan akan mengendalikanmu”. Maka dunia
seolah kembali berkata, “Apakah kau bisa menundukkanku?, dengan segala kelemahanmu
yang hanya menyombongkan diri di atas putaran bumi”. Ku kembali merenung, mungkinkan
otak yang lemah ini akan dapat menciptakan seni dalam hidup sebagaimana
meleburnya baja yang dapat dibuat menjadi pedang.
Walaupun
kemampuan akademikku bukanlah hal yang membanggakan, tapi aku mempunyai sesuatu
yang diminati dan merasa senang saat punya waktu untuk melakukannya. Aku suka
melukis. Tidak tahu apakah lukisanku ini bagus ataupun tidak, aku tetap suka
melukis. Aku berminat melakukannya. Tidak tahu apakah aku berbakat atau tidak
terhadapnya, aku tetap melakukannya.
Mungkin aku
perlu penilaian dari orang lain untuk memastikannya, tapi hobi ini lebih suka
aku privasikan daripada harus dipublikasikan. Aku perlu lebih banyak berlatih
terlebih dahulu. Butuh banyak percobaan untuk aku benar-benar yakin bahwa hobi
inilah yang menunjukkan cerita hidupku. Aku butuh 99% kerja keras untuk
mendapatkan 1% inspirasi. Sedikit mirip dengan kata-kata dari Thomas Alva
Edison, “Sukses itu 90% keringat dan 10% inspirasi”.
Jika inspirasi
saja aku masih kurang, tak ada keberanian bagiku menunjukkan hasil karyaku pada
orang lain. Itulah delusi yang masih membayangi keseharianku dibalik kesenangan
saat melukis. Aku butuh waktu. Ya, aku butuh waktu lebih banyak untuk
memastikan bahwa karyaku pantas dilihat orang lain. Begitulah pikirku. Aku
butuh waktu yang membuatku merasa bahwa surga serasa memihakku, kemenangan
perlahan mendekatiku, dan dunia akan mengakuiku.
Namun kembali
lagi aku merenung. Bagaimana mungkin aku mengalahkan dunia jika bermain lari
seperti ini. Dunia pasti akan berkata, “Kau meremehkanku?, bagaimana kau akan
membuatku mengakuimu jika kau bertarung menggunakan pedang yang masih
berselimutkan sarung”. Aku harus melepas sarung pedang ini dan menunjukkan
skill yang ku miliki sehingga bisa membuat dunia mengakuiku dengan caraku
sendiri.
Mengapa dalam
inspirasiku, aku tidak mengidolakan tokoh dunia yang memiliki satu irama dengan
minatku?, seperti Leonardo da Vinci dengan karya monumentalnya The Last Supper
dan Mona Lisa, atau pelukis-pelukis lain yang karyanya berharga jutaan US
dolar, bahkan aku mengidolakan Albert Einstein dan Thomas Alva Edison yang
tidak ada kaitan sedikit pun dengan hal yang aku minati.
Walaupun aku
tidak bisa membandingkan kemampuan intelektual keduanya denganku, tapi aku
merasa memiliki kemiripan jalur hidup dengan mereka. Tapi kalau dibandingkan
lagi, aku jauh lebih beruntung dari mereka. Mereka berada dalam kesulitan dan
keterpurukan hidup yang tak kurasakan saat ini, dan mereka pada akhirnya menjadi
maestro dibidangnya masing-masing. Dunia mungkin akan berkata, “Kau
pasti akan merasakan neraka dariku sebelum kau bisa menaklukkanku”. Namun dalam
menghadapinya aku juga teringat kata-kata Albert Einstein, “Semua orang
jenius. Tapi jika anda menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon ia akan
menjalani hidupnya dengan percaya bahwa itu bodoh”. Mungkin dari hal ini
cukup membuatku percaya, aku bisa menghadapi kejamnya dunia selama aku bisa
menemukan metode tersendiri dalam menjalaninya.
Setelah berjalan-jalan
hampir setengah hari. Aku pulang ke rumah dengan perasaan lega. Ini merupakan
rutinitasku jika mengalami keresahan dalam kejadian sebelumnya. Keresahan dalam
mencapai masa depan setelah melihat hasil ujian cukup membuatku terguncang.
Setelah berdebat dengan langit bumi mengenai keegoisan esok hari maka dapat
kuambil pelajaran bahwa setiap orang mempunyai jalannya masing-masing, dan
setiap orang berhak mendapatkan tujuannya dengan apa yang mereka jalani.
Aku memulai
mengerjakan apa yang disukai. Apalagi kalau bukan melukis. Aku melukis sesuatu
yang terlintas di benakku. Air, api, tanah, udara, dan semua hal yang menghiasi
langit dan bumi. Aku mengagumi keindahan alam yang terlalu sulit untuk
digambarkan hanya dalam sebuah lukisan. Apa yang aku hasilkan hannyalah rekaan
dari kenyataan yang sulit didefinisikan. Penggambaran ini tidak lain hannyalah
imitasi dari realitas sebenarnya.
Pada akhirnya ku
mengerti, bahwa aku tak harus sembunyi di balik apa yang ku miliki. Alam bisa
melihat semuanya. Dunia menunggu sisi agresif yang ku miliki untuk
menaklukkannya, “Tunjukkan pedangmu, dan lawanlah aku dengan keahlianmu”.
“Pedangku adalah lukisanku, dan keahlianku adalah menggambarkan keindahanmu”,
itu yang bisa ku katakan setelah banyak berdebat dengan sabda-sabda dunia.
Ini hanya
imajinasiku terhadap sedikit konflik kesalahpahaman dunia, khususnya dalam
bidang pendidikan. Mengapa aku begitu bijak dalam memahaminya. Haha, akademik
hanya sebagai kedok kebodohanku, namun aku tetap suka membaca hal-hal yang
menginspirasi. Walaupun aku tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa aku
terlalu bodoh untuk banyak hal. Untuk kesekian kalinya aku mengutip perkataan
dari Thomas Alva Edison, “Inspirasi dapat ditemukan di tumpukan sampah.
Terkadang, anda dapat menyatukannya dengan imajinasi yang baik dan menciptakan
sesuatu yang baru”. Mungkin sekian banyak imajinasi perdebatanku dengan
dunia hanyalah sampah, tapi kalian dapat mengambil sampah ini dan mendaur
ulangnya menjadi sesuatu yang berharga, sebagaimana batu mulia yang dipoles
juga bisa menjadi intan permata.
Imajinasiku
tentang dunia terus berlanjut, dunia masih ingin berkata, “Lawanlah aku melalui orang-orang yang menentang
keberadaanmu, menangkan hati mereka dengan kemampuanmu”. Semakin lama berdebat
dengan dunia, semakin aku merasakan hubungan kami yang semakin harmonis. Ini
adalah langkah awal mengenal alam lebih dekat, sehingga aku akan mengerti
segalanya dengan lebih baik. Sebagaimana apa yang dikatakan Albert Einstein, “Lihatlah
jauh ke alam, dan kemudian anda akan mengerti segalanya dengan lebih baik”.
Aku merasakan
sabda dunia semakin bersahabat. Perdebatan dengannya yang mulanya meragukan,
kini mulai meyakini bahwa aku akan ikut sedikit berperan dalam perubahan krisis
metropolitan. Perasaan terhadap kegelisahan kini mulai merambat di jantungku,
bergetar di denyut nadiku, hingga aku mulai memahami mengapa kami selalu
berdebat sepanjang hari. Hal ini karena keraguan semesta masih menghantui
genangan yang tertinggal.
Kini malam telah
tiba. Rembulan masih bersembunyi dibalik awan. Namun sinarnya masih terlihat
putih di dasar danau yang menghitam. Setelah banyak keributan yang terjadi,
kini telah terlucuti oleh ketenangan. Aku bersandar di tiang pelataran rumah.
Merasakan angin yang perlahan menusuk dingin sanubari. Hawa yang tenang,
setenang jiwa yang kini berteman sepi. Namun banyak hal yang dapat dipikirkan
disaat ku merenung tanpa ada orang lain yang ikut bermain.
“Apa yang kau
pikirkan?, kau tak sendirian dalam menghadapiku, jutaan inspirasi menunggumu
dengan kepastian. Kemenangan dariku tergantung kemampuanmu dalam menemukannya”,
lagi-lagi dunia masih berkata dalam pikiranku. Aku masih teringat dengan
perkataan dari Thomas Alva Edison, “Saya jauh lebih menghormati orang dengan
satu ide dan menyelesaikannya daripada orang dengan seribu ide yang tidak
melakukan apa-apa”. Aku akan menemukan inspirasi untuk lukisanku dan akan
merealisasikannya bersama dengan tinta kemudian lihatlah aku yang akan bersama
menuju sinar dunia.
Malam kini telah
larut. Sekelebat konflik perdebatan dengan dunia kini mulai berakhir. Esok akan
dimulai dengan konflik yang baru, menemukan ide yang baru, menciptakan karya
yang baru, dan akan mencari sabda-sabda dunia untuk menemukan harta karunku.
Bakat yang terpendam dalam jiwa, menyusuri jalan takdir Tuhan yang
diperuntukkan untukku. Petualangan esok hari masih akan berlanjut. Selamat
tidur dunia!!!
0 Komentar