Karya: Mohammad
Thoriq Miftahuddin
Pendidikan Bahasa Arab, IAIN Tulungagung
Sebenarnya semua orang tahu bahwa dunia dan isinya
bersifat sementara. Tetapi ada beberapa orang yang memilih dan mencintai dunia,
mungkin karena hidupnya yang sudah mapan, punya jabatan, dan banyak harta. Lantas
mereka tidak mau merasakan mati karena harus meninggalkan kebahagiaan yang sudah
dirintisnya. Padahal jika benar-benar waras akal pikirannya, pasti dia akan selalu
waspada dan berpikir bahwa setiap yang bernyawa tidak bisa tidak mendapat jatah
kematian dan semua yang dimiliki akan ditinggalkan.
Ada juga sebagian orang yang menganggap jika dunia adalah
tempat untuk menanam kebaikan dan barang siapa menanam pasti bakal menuai
hasilnya ketika sudah datang waktunya. Ya, meskipun kebaikan yang dia tanam kecil.
Orang-orang ini adalah mereka yang tegar dan tabah terhadap nasib yang dia
terima karena percaya ini adalah pemberian Tuhan. Dan, orang
tersebut seolah-olah akan sibuk memanfaatkan apa yang dia miliki untuk kemaslahatan
keluarga dan tetangganya dalam rangka saling tolong-menolong antar sesama agar
mereka merasakan hidup sejahtera.
Seperti keluarga kecil yang hidupnya pas-pasan yang
tinggal di pelosok desa. Keluarga ini memiliki anak laki-laki semata wayang. Anak
laki-laki itu namanya Pandu. Dia tergolong pintar dan tekun di antara teman-temannya.
Kulitnya bersih, agak putih, wajahnya rupawan, berambut pendek, lurus, dan licin. Ketika
memandang, sepasang matanya selalu tajam. Hidungnya sering dibuat bahan candaan oleh teman-temannya.
“Kau ini suka menghabiskan oksigen milik
orang lain saja, Ndu!”
Setiap
hari, Pandu dituntut berangkat
pagi-pagi, kecuali hari libur. Sebelum berangkat, dia kadang
sarapan, sering juga tidak.
Kadang dikasih uang jajan, sering juga tidak. Seperti hari ini, tak ada uang
jajan. Kemudian dia cepat-cepat memakai seragam kesayangannya, meskipun di bagian
punggung bajunya mulai tampak bintik-bintik hitam. Pandu juga selalu belajar
untuk menata dasi. Kata ibunya, “Harus rapi tanpa tapi,” dan jawaban Pandu selalu sama, “Iya, Bu”.
Ditemani matahari pagi, Pandu berjalan sendiri dengan
langkah yang tidak cepat, juga tidak lambat. Kurang lebih 3 kilometer dari rumah menuju pusat
peradaban (sekolah). Jika ditotal, Pandu menempuh jarak 6.000 meter selama tiga tahun belakangan. Itu
semua dilakukan
untuk menuruti perintah ibunya. Ya, itulah yang menjadi alasan bagi Pandu untuk bertahan karena dengan
hal itu, membuat Tuan Ratu dan Raja alias bapak dan ibunya bangga memiliki anak
yang saleh dan patuh. Tidak lain, karena ibu dan bapaknya memiliki cita-cita
agar anaknya menjadi seorang pemimpin seperti Gus Dur atau Abdurrohman Wahid,
mantan presiden yang sangat menjaga rasa toleransi sekaligus rasa simpati yang
besar terhadap rakyatnya.
Selain itu, yang menjadi alasan Pandu tetap sekolah
karena ia masih bingung dan terus berusaha mencari ke sana-sini maksud dari pelajaran
yang diberikan oleh bapak dan ibu gurunya, yaitu pelajaran
tentang masa depan, yang sembunyi di dalam tulisan kapur berwarna-warni pada
papan tulis hitam.
Setelah tiba di sekolah, Pandu langsung masuk kelas dan duduk
di bangku paling belakang bersama karibnya, si Udin.
Berjam-jam Pandu mendengarkan berbagai materi dengan penuh konsentrasi. Sayang, lagi-lagi sampai saat ini,
dia masih bingung dan belum paham maksud
dari semua
pelajaran
yang diberikan, terutama tentang masa depan.
Bel sudah berdering, isyarat baginya
segera mengemasi peralatan tulis, berdoa, lalu
pulang.
Kurang
lebih setelah berjalan
satu jam, Pandu tiba di depan rumah. Hati Pandu bertanya-tanya, “Loh, ke mana
mereka? Biasanya mereka
menyambut
kepulanganku,
lalu bertanya tentang ilmu apa yang
telah kudapat di sekolah. Ah, mungkin mereka sedang sibuk.”
Pandu langsung masuk ke rumah dalam kondisi lapar.
Di ruang tamu yang tanpa kursi dan meja, Pandu melihat kedua pasang mata bapak
dan ibunya saling tak menyapa, seolah-olah
ada hijab yang memisahkan. Lisan mereka sama-sama membisu seperti batu. Padahal mereka berdua berdekatan, duduk bersandar
di dinding, dan hanya
memandang ke arah tiga jarum jam yang terus bergerak dan seolah berteriak.
“Tampaknya,
Ibu dan Bapak sedang ada masalah,” batin Pandu.
Dari
tatapan mereka, Pandu menafsirkan
ada kesedihan, ketakutan, kekhawatiran, dan beban yang amat berat sedang berjalan-jalan, yang
perlahan-lahan
membuntuti di belakang ketiga jarum jam. Pandu ikut melihat jam yang menempel di atas tembok tua, tepatnya di rumah bekas warisan kakek dan neneknya. Ketiga jarum jam
tersebut ada yang kecil,
ibarat
sebagai hutang. Ada yang panjang, ibarat
sebagai
tabungan. Dan, ada
juga yang tipis dan panjang, ibarat sebagai nasib keluarga di hari yang
akan datang.
Melihat itu, Pandu hanya diam,
tiba-tiba perutnya kenyang, nafsu makannya
hilang. Dia langsung menuju kamarnya tak jadi makan, lantaran kasihan ibu dan bapaknya sedang dihajar
oleh jarum jam yang terus berputar-putar jalang.
***
Hari berikutnya, Pandu meliburkan diri dari tuntutan
berangkat pagi-pagi untuk menulis dan menghafalkan rumus-rumus atau
kaidah-kaidah, padahal tidak sedang hari libur. Kali ini, dia tak
memakai seragam yang di bagian punggung mulai tampak bintik-bintik hitam. Pandu
juga tidak mendengarkan nasihat ibunya lagi seperti biasa, bukannya bosan agar
menata dasi yang harus rapi tanpa tapi. Tiada lain ini semua dilakukan sebab dia
sangat benci ketika pulang sekolah harus melihat dua pasang mata bapak dan
ibunya selalu berkaca-kaca, diancam oleh jarum jam. Pandu
memilih pergi, ke tempat sepi, di bawah pohon trembesi dekat sungai yang berada agak jauh di sudut
desanya.
Dia memilih ke sana karena hanya ada udara yang membawa
cinta,
para petani yang menaburkan senyum ramah, kemudian sepanjang memandang hanya terlihat
tumbuh-tumbuhan yang sejuk berwarna kehijau-hijauan. Bersama
semilir angin, dia mendendangkan lagu-lagu tentang nasib alam, diiringi nada
dari gesekan dedaunan yang membungkus angan-angan dan diri Pandu dari tikaman
waktu yang tak pernah ragu membunuh.
“Ini, Pak ... Bu
…
hadiah dari masa depan,
sepotong harta,
dan sebuah jam tanpa jarum. Sepotong harta untuk menjamin kita semua dari
sengsara dan kerasnya dunia. Sebuah jam tanpa jarum
agar kita bisa hidup tenang tanpa diburu ketakukan dan kekhawatiran tentang
nasib yang akan datang. Mungkin hanya ini, yang bisa kuberikan. Aku hanya ingin Bapak dan Ibu
tak takut lagi ketika
menatap alam raya
dan kita bersama-sama menjalani kehidupan seperti biasa,”
kata Pandu yang
matanya mulai
berkaca-kaca.
“Maksudmu
ini apa, Nak? Engkau dapatkan semua ini dari
mana? Apa kamu mencuri? Mencuri di
mana kamu?” balas ibu
Pandu dengan nada tinggi.
“Bu ... Pak
... Bagaimana
aku bisa mencuri? Bukankah tanganku telah engkau ajari agar selalu ringan ketika
ada orang yang kesulitan? Bukankah tanganku selalu kau didik agar tidak berat ketika
melihat seseorang tertimpa musibah atau sedang dalam kondisi sekarat?” jawab Pandu. “Aku mendapat
ini semua tentu asal-usulnya karena doa kalian berdua, yang diwujudkan Tuhan
menjadi harta dan cinta,” tambah Pandu. “Setiap tengah malam aku bangun, kemudian wudu dan salat untuk
meminta Tuhan supaya membaikkan nasibku, nasib Ibu dan Bapak, agar Tuhan merubah
nasib kita menjadi sejahtera dan tidak lagi susah. Di pagi hingga sore hari aku
rajin berusaha dan jika malam hari datang, aku menunggu sampai dini hari, kemudian aku
berdoa lagi dan ku ulang-ulangi setiap hari, seolah-olah aku sedang melalukan
demo pada Tuhan untuk melunasi hutang-hutang Ibu dan Bapak, sebab aku
sangat percaya Dia tidak akan pernah mengkhianati janjinya terhadap siapa pun yang
tekun berdoa dan berusaha. Seperti yang ada dalam salah satu ayat Al- Quran, maka sekarang
ini aku sedang menjemput masa depan sesuai keinginan yang engkau damba-dambakan,
Bu, Pak.” Mata Pandu
basah. “Ini semua belum apa-apa ketimbang sabar dan tabahmu membesarkanku. Ini semua tak
sedikit pun mampu mengganti asimu yang telah menjadi kekuatanku. Dan, betapa
menyesal serta sia-sia hidupku, sebab selama hidupku tidak bisa memandang kalian berdua
tersenyum dan merasa bahagia. Tolong terimalah, Bu, Pak," tutur Pandu dengan air
mata yang tak bisa dibendung.
Bapaknya yang sedari tadi hanya melihat
dan mendengar penjelasan Pandu,
secepat kilat merangkul tubuh
Pandu dengan erat, bersama dengan derai air mata yang deras seperti hujan lebat. Belum sempat bapak Pandu berbicara, seseorang
menepuk pundak Pandu.
“Pandu … Pandu … awas jatuh!
Ngapain kamu di sini?”
teriak temannya yang baru datang.
Ternyata
Pandu ketiduran di atas pohon
kenangan.
Dia bermimpi kembali ke tiga tahun
silam,
menemui ibu dan bapaknya yang tenang di pekuburan bersama pelayan-pelayan Tuhan.
0 Komentar