Karya: Melinda Nasution
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, IAIN Tulungagung
Figur yang dicintai?
Mungkin kita sebagai seorang manusia
sudah sewajarnya mempunyai sosok figur yang dicintai, entah itu artis, pahlawan
Indonesia, tokoh dunia, dll. Pastinya sosok figur itu sudah memberikan inspirasi
bagi kita, maka dari itu kita sangat mengaguminya. Namun, kita tidak sadar bahwa dalam rumah
kita sendiri ada sosok yang sangat pantas dijadikan figur sejati. Seorang yang
tanpa lelah selalu menemani, berada di samping kita, memberikan sentuhan lembut
yang siapapun tak bisa menggantikannya.
Dia adalah "Ibu", wanita terhebat
yang melahirkan seorang anak ke
dunia. Berkatnya kita bisa melihat
indahnya isi jagat raya. Ia pun rela mengorbankan
dirinya demi anak tercinta. Sembilan bulan kita berada dalam rahimnya,
dijaga tanpa tiada lengah, selalu memberikan yang terbaik bagi pertumbuhan janin di perutnya.
Tubuhnya
rusak sebab melahirkan, menahan rasa sakit yang begitu luar biasa. Itu semua
tak cukup jika digantikan hanya dengan balasan berupa materi yang tak mungin
kekal abadi.
Ketika sudah membicarakkan seorang
Ibu, pasti hati dan atma seketika bergetar mengingat pengorbanannya
begitu mulia. Tak terbayang apa jadinya tanpa seorang Ibu yang selalu
senantiasa merawat kita dengan sepenuh hati tanpa kenal lelah.
Bagiku figur Ibu tiada duanya, sebab
dari kecil aku dirawat oleh Ibu. Aku tidak yatim, aku juga mempunyai seorang ayah. Namun, dia tidak terlalu mengurusku, masih
sibuk dengan urusannya sendiri, sampai lupa kalau ada keluarga
yang selalu menanti kedatangannya.
Ketika aku masih bayi, ibulah yang
senantiasa merawatku, beliau sampai pontang-panting ketika aku menangis mencari
Ayahku. Sampai rela jalan jauh ke tempat kerja Ayah demi mempertemukanku
dengannya. Tak sampai disitu, saat memasak, mengurus pekerjaan rumah sampai
mandipun aku
harus disambi,
sebab Ibu hanya sendirian, jadi tidak ada yang membantu mengasuh diriku. Duduk
di dalam bak menunggu Ibuku mandi sudah hal biasa.
Perihal Ayah, dia tidak
memperhatikan tumbuh kembangku, entah apa yang dikerjakan sampai lupa akan
keluarga. Tak pernah memikirkan anak istri dan yang parah Ayahku juga jarang
pulang ke rumah.
Selain itu, Ibu juga harus
dihadapkan dengan mertuanya yang jahat, galak, cerewet selalu menghina. Maklum
saja dia berasal dari kalangan orang berada/kaya, hartanya banyak, kebun, sawah
juga luas. Padahal rumah Ibu dengannya itu dekat, tapi tak pernah sedikitpun
mau menginjakkan kakinya ke rumah Ibu. Rasanya sangat tidak sudi ketika harus membantu
mengasuh diriku saat masih bayi. Sebab dari dulu dia sangat membenci Ibu, tidak
merestui jika anaknya menikah dengan Ibu yang hanya berasal dari kalangan
keluarga miskin.
Ibuku selalu menghiraukan cemooh
yang dilontarkan mertuanya, ibuku hanya bisa diam, sebab Ibu
menganggap itu memang sikap buruknya jadi sudah wajar saja. Ketika mertuanya
mulai cerewet Ibu dengarkan dengan telinga kanan lalu membuang dari telinga
kiri. Supaya tidak menambah bebannya. Padahal anaknya sendiri saja tidak
tanggung jawab terhadap keluarga. Namun, ia tak pernah menasehatinya selalu
saja menyalahkan Ibu. Di mata nenekku Ibu tak pernah benar, walaupun sebenarnya
benar dan selalu membela anaknya yang salah itu.
Saat usiaku beranjak 5 tahun,
tentunya aku sudah mulai mengenyam pendidikan TK (Taman Kanak-kanak). Setiap pagi, Ibu dengan penuh
tlaten mengepang rambut kritingku, memakaikan seragam, mendandani bak puteri
kecil yang begitu anindya parasnya. Kulit putih, pipi chuby badan gemuk
menambah lucunya diriku.
Kaki tangguh Ibu mulai bergerak
menapaki aspal hitam, jalan menanjak, menikung curam. Ditambah lagi harus
menggendong diriku, sebab Ibu tak mau jika aku sampai kelelahan. Tak sampai di
situ wanita hebatku ini harus kembali pulang untuk bekerja. Jika tidak seperti
itu, tak ada yang membiayai hidupku. Bergegas berangkat mengais rezeki demi
anak semata wayangnya ini. Rela berjalan ke hutan dengan jarak tempuh 1 jam.
Sungguh begitu luar biasanya. Setelah pulang kerja tak lupa tanggungannya belum
usai, harus menjemput anak kesayangnnya di sekolah, dan itu semua akan terjadi
berulang ulang sampai tamat TK.
Ini merupakan sebuah permulaan,
namun Ibu sudah merasakan penderitaan. Seharusnya ketika sudah menikah sebagai
istri pasti akan merasakan sebuah kebahagiaan tapi tidak untuk Ibuku ini.
Saatnya sekarang aku menginjak di
bangku SD. Sebab terhimpitnya ekonomi membuat tekat Ibuku bulat untuk merantau
mencari rezeki di negeri orang. Dan terpaksa aku harus hidup bersama Ayah.
Semua pekerjaan Ayah ditinggalkan sebab mengalami kebangkrutan, kerugiaan
begitu besar menimpanya. Selama Ibu merantau menjadi seorang TKW di Hongkong,
Ayahku mulai sayang dan mau merawatku dengan semampunya, namun tetap saja
berbeda. Tak kan sama sentuhannya dengan sosok Ibuku. Tiga tahun sudah aku ditinggalkan Ibu.
Hanya bisa menangis teringat beliau, sebab kasih sayangnya begitu melekat pada
diriku.
Menginjak SMP, aku sangat bahagia
sebab ditemani
lagi oleh
Ibuku tersayang.
Kehidupan masih sama saja seperti dulu, Ibu yang selalu mencukupi semua
kebutuhan keluarga. Tulang punggung seakan mengalih kepada Ibu. Sedangkan, Ayah seperti tidak ada gunanya.
Selalu mengahabisi materi yang dimiliki Ibu. Namun, Ibu tetap mempertahankan rumah
tangganya demi anaknya, dan beliau juga malu jika harus bercerai untuk yang kedua
kalinya, sebab dulu waktu umur 16 tahun sudah menikah dan gagal hingga harus
bercerai.
Tak terasa juga, aku bertambah
dewasa, artinya pendidikanku juga mulai tinggi. Dengan rasa nekat Ibu masih
memasukkanku ke sekolah SMA, padahal biayanya juga bertambah berat. Namun
ucapan “Bismillah” menjadi pengawal
untuk 3 tahun ke depan pendidikanku.
Sekolah Madrasah Aliyah menjadi
pilihan Ibu. Kata beliau agar diriku bisa terarah menjadi perempuan
yang lebih baik lagi, sebab di sana sangat kental dengan keagamaannya. Sekolah tersebut
berlatar belakang Islam, menurut Ibu itu sangat cocok untukku. Sebagai anak
tentunya aku patuh terhadap perintahnya.
Ketika aku sudah duduk di bangku Aliyah,
pastinya aku juga mulai paham keadaan, bahwa selama ini Ibu hanya berjuang
sendirian, walaupun memiliki seorang suami tapi malah menjadikan beban, tidak
meringankan sedikitpun. “Nak, Ibu ini seperti seorang janda, tapi bersuami.
Punya suami seperti tidak punya, tak pernah secuil sedikitpun memikirkan
keluarga hanya bisa mengahabiskan materi yang ada saja.” Curahan hati Ibu
ku. “Sabar bu, Ibu tidak pernah sendirian, anakmu selalu menemani”. Jawabku sambil memeluk erat Ibu
disertai tetesan air mata.
Ketika
ayah mendekati kami , tiba-tiba ayah menggebrak pintu dan mulai memarahi
istrinya.“Bruuuaaakkkk…..Seharusnya
kamu bisa mengerti dan mendukung setiap langkah suami"
Ucap ayahku pada ibu. “Caramu salah!, sadarlah sudah sering kali
usaha namun apa, selalu gagal, membuang jutaan uang, tolong rubah sikapmu
jangan seperti itu. Kerja semampunya jangan terlalu mengkhayal tinggi. Tengoklah anak
istrimu, urus !, kamu itu seorang kepala keluarga, tapi tak pernah sedikitpun
menafkahi. Suami macam apa kau ini!” jawab ibuku ketika
sudah tak bisa menahan amarahnya.
Adu mulut sudah menjadi makanan
sehari-hari dalam rumah ini. Ayah yang selalu menuntut ini-itu kepada Ibu, membuat Ibu tambah
geram. Sebab tak sejalan dengan cara pikirannya.
“Sudahlah, jangan teriak-teriak!
Apa tidak malu dengan tetangga. Layangkan gugatan cerai saja, lalu usir
isterimu dari sini” tegur nenekku pada ayah saat nenek
juga melewati kami.
“Astgfirullah, jaga ucapan mu nek, jangan terlalu ikut campur urusan kedua
orang tuaku” Jawabku dengan marah. Suara nenekku tadi menambah suasana semakin
memanas saja. Itulah nenekku yang selalu mencampuri urusan kedua orang tuaku.
Ibuku seakan tiada artinya, selalu
disalahkan oleh Ayah apalagi ditambah mertuanya yang begitu angkuh terhadap
Ibu. Sungguh semuanya tak berperi kemanusiaan.
Harga diri sudah diinjak-injak namun Ibu tetap bertahan. Wanita lain
mungkin tak kan ada yang seperti itu selain Ibu. Tidak mendapat nafkah selalu
di cemooh mertua tapi selalu sabar menerima.
Ayahku semakin menjauh dan ikut
Ibunya. Sampai suatu hari Ayahku tergiur oleh bujuk rayu temannya untuk membuka
usaha di perantauan tepatnya di Kalimantan. Pastinya itu juga membutuhkan modal
yang sangat besar. Tanpa pikir panjang, akhirnnya menerima tawarannya itu dan
langsung menjual kebun warisan orang tuanya. Tanpa adanya sebuah musyawarah dan
berakibat timbul pro-kontra. Semua keluarga sudah menasehati supaya jangan
pergi, takut nanti tidak akan membuahkan hasil. “Sudahlah, jangan banyak
bicara, ini semua ku lakukan demi anakku". Kata Ayah sambil membentak.
Tanpa pamit dengan baik-baik, Ayahku langsung pergi dan meninggalkan
keluarganya pastinya tanpa rasa bersalah.
Perjalananpun dimulai rangkaian
cerita baru siap disajikan. Tiga bulan berlalu, Ayahku masih merasakan hidupnya
enak sebab masih memegang uang jutaan rupiah. Namun, hampir satu tahun keadaan
semakin memburuk. Tak sejalan dengan perjanjian awal. Pro-kontra terjadi juga
dengan temannya. Sampai susah dihubungi oleh keluarga. Ternyata memang sengaja
sebab malu, hidupnya disana menjadi susah, sengsara seperti gembel. Sedangkan
aku dan Ibu menikmati hidup berdua dengan keadaan yang seadanya. Sudah terbiasa
ditinggal Ayah.
Satu tahun berlalu, dengan rasa
tertatih, melas, raut wajah tua, akhirnya Ayah pulang ke rumah, tanpa membawa
hasil apa-apa. Uang hasil penjualan kebun juga sudah ludes. “Maafkan aku,
sudah menghiraukan nasehatmu, aku menyesal".
Ucapan terlintas
dari mulut Ayah kepada Ibu dengan memegang tangan Ibu. Walaupun sudah mendapat
perlakuan yang tidak menyenangkan, sudah membuat sengsara, namun Ibu tetap
menerima kembali Ayah walau dalam keadaan yang sudah hancur. Aku sedikit lega,
melihat kedua orang tuaku terlihat harmonis, utuh kembali.
Melupakan semua yang telah terjadi,
dan menjadikanya sebuah pelajaran. Namun, hal itu tak bertahan lama
karena Ayahku berubah lagi pada sifat
awalnya. Itu disebabkan karena pengaruh dari nenekku, Ibu dari Ayah. Hal itu membuat
hubungan kedua orang tuaku hancur berantakan lagi.
Sikap Ayah mulai menyepelakan Ibu
lagi. Sudah tidak mau memperdulikan kami. Sebab selalu mendengarkan ucapan
Ibunya yang jahat itu. Batin Ibu kembali teruji lagi, tersiksa, cucuran air
mata menjadi saksinya.
“Sudahlah bu, cerai saja. aku tidak
rela jika melihat Ibu menderita seperti ini.” “Tidak nak, Ibu malu jika sampai
bercerai, semua ku lakukan semata hanya untuk dirimu.” Hatiku terenyuh, dan langsung
memeluk Ibu dengan erat.
Penderitaan masih berlanjut, nenekku
tetap saja membenci Ibu, katanya "Kamu disini hanya sekedar numpang, anak
mantu yang tak punya apa-apa, jadi jangan bertingkah seenaknya” . Terdiam saja Ibuku tanpa
memperdulikan.
Hari demi hari terlewati. Ibuku tetap
menjadi lakon utama dalam mencukupi semua kebutuhan keluarga, bahkan makan
Ayahku saja Ibu yang menanggung, sebab Ayah tak memberi uang belanja. Namun, sikap Ayah tetap saja semena-mena,
tak pernah menghargai. Ibu sampai bingung harus bagaimana lagi, setiap harinya
Ayah selalu manampakkan wajah yang tak sumringah, terhadap Ibu. Dia
tetap saja tidak sadar atas semua perlakuannya terhadap Ibu.
Ibu mertua yang semula membenci,
kemudian berubah mencintai, sebab ada prahara dengan anak satu rumahnya perkara warisan. Semua warisan
sudah diambil dan tinggal nenekku yang tak punya apa-apa dan sudah
tidak diurus lagi. “Tolong rawat aku, ragaku sudah tak kuat jika harus memasak
sendiri.” Katanya dengan melas. Padahal jika diingat Ibu sudah terlalu tersiksa
dibuatnya sebab perkataan yang menyayat hati sudah banyak terlontar dari
mulutnya.
Tarikan nafas panjang dari Ibu pun
keluar. Senyuman dari bibirnya menjawab pertanyaan bersedia merawatnya.
Ternyata sebuah karma itu memang berlaku tetapi kapan terjadinya
hanya Tuhan yang tahu.
Kesabaran dan keikhlasan Ibuku menjadi bukti bahwa dengan seperti itu, bisa menjadikan dirinya
lebih mulia.
Walau sudah tertindas, tapi masih
tetap ikhlas menerima semuanya. Orang yang semula mencaci, menghina, menyepelekan
akhirnya masih juga membutuhkan pertolongan dari seorang yang sudah di
koyak-koyak batinnya. Akhirnya semua kembali sedikit membaik, harga sedikit
tertempel pada Ibuku, sebab nenek, Ayahku sudah tak ada kuasa untuk menghakimi
Ibuku, sebab mereka sekarang tergantung pada Ibu.
Tak terasa usia ku sudah 18 tahun
dan aku bersyukur ternyata masih bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Semua itu juga berkat jerih payah Ibu ku yang selalu memperjuangkan ku. “Tak
apa aku bodoh, tidak berpendidikan, namun anakku tidak boleh sama nasibnya
seperti aku, harus bisa lebih baik dari ku” Pesan yang akan selalu ku ingat
dari Ibu.
Melihat kisah Ibuku yang seperti
itu, bagiku sangat inspiratif. Banyak pelajaran yang ku dapat darinya.
Kesabaran dan keikhlasan menjadi panutanku. Tak salah jika ku jadikan seorang
figur sejati dalam hidupku.
“Mom
was my greatest teacher, a teacher of compassion, love and fearlessness. If
love is sweet as a flower, then my mother is that sweet flower of love.”
Secuil Puisi untukmu sebagai penutup
Ibu, terimakasih ku ucapkan untukmu
Setia di tengah liku prahara
Berjuang tanpa mendapat sanjungan
Figur sejati yang sungguh berarti
Adorasi yang kau geluti selama ini
Semoga menjadi jaminan Jannah untuk
mu kelak nanti
0 Komentar