Kepada Yang Paling Baik

Karya: Inggit Kartika Hapsari
Universitas Jember


Ini adalah perihal segala wujud syukur seorang anak manusia atas apa-apa yang ia dapatkan dalam hidup. Langit jingga semakin menampakkan pesona nya, matahari seperti sudah tak sabar untuk kembali pada peraduannya. Seorang gadis dengan seragam abu putih itu tampak hampir payah karena kelelahan mondar-mandir. Gadis itu mendongak, menyaksikan langit yang hampir saja gelap. Ia mendesah pelan, waktu berjalan begitu cepat.

“Ayo buruan di selesaiin yuk, udah mau maghrib nih” kata gadis itu singkat sambil melenggang masuk ke ruang organisasi nya. Terlebih dahulu, perkenalkan gadis itu, dia adalah Helda. Gadis dengan senyum yang selalu membingkai raut wajah manis nya.

“Nanti dulu kenapa sih da, pulang abis maghrib sekalian aja” sahut salah seorang teman nya yang sedang asik memakan cilok di sudut ruangan.

“Besok kan ada bimbel pagi ren, lagian aku udah capek banget nih”

“Yaelah, sok-sok an pulang cepet kamu mah”

“Kemarin aku udah dapat teguran dari Ibu gara-gara pulang malem terus, padahal aku udah bilang karena ada persiapan lomba, ya ibu nggak begitu marah sih cuma udah mulai ngeluarin warning aja” Helda menjelaskan panjang. Tepat setelah ia ikut merebahkan diri di sofa, handphone di saku rok nya bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari nyonya besar. Ibu nya.

Ibu :
Mbak kalo pulang, tolong mampir beliin seblak ya..

Helda hanya tersenyum tipis dalam hati, selalu seperti ini. Padahal Helda bukanlah anak satu-satunya, gadis itu memiliki kakak dan juga adik tapi memang lebih sering dirinya lah yang di titipi ini-itu oleh ibu nya. Helda mengetik beberapa kata singkat sebagai balasan, termasuk izin untuk pulang kelewat telat (lagi).

Setelah pesan balasan terkirim, bukannya mendapat balasan lagi, gadis dengan tinggi tidak lebih dari 160 cm itu malah mendapatkan panggilan masuk yang berasal dari orang yang sama. Ibu nya. “Halo…assalamualaikum” sapa Helda kalem,

“Waalaikumussalam, jangan lama-lama dong pulang nya. Ibu udah pengen nih, adikmu juga rewel” sahut wanita paruh baya di sebrang sana. Helda tersenyum tipis, tuhkan, tepat dugaan nya.

Berbagai titipan yang sering ibu nya utarakan adalah bentuk ungkapan tidak lansung agar ia segera pulang. Alasannya karena titipan itu sudah di tunggu, nyatanya agar menjadi beban untuk segera di tunaikan. “Iya, aku pulang habis sholat maghrib ya, bilangin adik suruh sabar sebentar”

“Hati-hati ya, jalanan sekolahmu pasti udah sepi”

“Iya bu”

Seusai melaksanakan kewajiban sholat maghrib bersama teman-temannya yang lain, mereka semua bergegas pulang. Helda selalu menjadi yang paling akhir karena harus memastikan ruangan rapi dan pintu terkunci dengan baik.

Helda tidak hidup dalam gelimangan harta. Ia hanya gadis biasa yang hidup di antara manusia-manusia super asik. Helda adalah gadis yang sama, yang suka menangis ketika melihat drama-drama kehidupan dalam televisi, yang suka tersentuh melihat berbagai macam perjuangan orangtua untuk membahagiakan anaknya, ketika melihat hal macam itu ia di buat seperti berkaca.

Melalui masa kecil yang selalu di limpahi kasih sayang adalah impian semua anak. Beruntung karena impian itu pernah terwujud dengan begitu baik. Helda kecil itu suka sekali menonton televisi hingga tertidur agar nantinya di gendong sang ayah untuk di pindahkan ke kamar tidur, berada dalam satu ruang dengan sang ayah sambil menuju alam mimpi dengan rentetan cerita klasik ala bocah adalah bentuk kebahagiaan tak terkira bagi nya, ia seperti merasa di peluk dengan hangat oleh sang ayah padahal lelaki itu hanya di sebelahnya, menyimak tiap kata yang ia lontarkan dengan sederhana. Lelaki itu juga tak pernah kehabisan cara untuk menggoda nya, seperti bersengkokol dengan ibu mungkin untuk menggoda nya sepulang sekolah dengan bersembunyi padahal beliau tahu, Helda selalu menanyakan dimana keberadaan ibu atau ayah nya ketika gadis kecil itu tak menemui salah satu nya di dalam rumah.

Lelaki gagah itu juga adalah sosok yang paling keras bersuara ketika merasa bahwa tindakan anaknya mencapai batas ketidaksopanan, dalam benaknya ‘kesopanan’ adalah pondasi utama untuk menghadapi lingkungan. Selain itu, setiap hari pertanyaan sederhana seperti ‘tadi di sekolah ngapain aja?’ ‘tadi pelajaran apa aja?’ ‘dapat nilai berapa?’ hampir tak pernah absen dalam tiap perbincangan hangat di depan tv itu, setiap malam nya.

Sosok itu pernah begitu hangat dan damai mendekap keluarga nya, sosok yang selalu maju paling depan dengan segala prinsip hidup nya yang kokoh, sosok yang paling berani di setiap keputusan nya, sosok yang paling tegas dalam setiap perilaku nya, tapi sangat…hangat pada keluarga yang ia bina. Rasanya kehangatan itu masih saja pekat, walaupun sosoknya sudah tak lagi di sisi, walaupun sosok nya hanya mampu di dekap dalam angan.

Ah, masih saja ada yang membendung di kelopak ketika mengingat sosok itu. Masih saja terngiang betapa lelaki itu tak pernah berhenti memberi berbagai macam wejangan untuk kehidupan anaknya di masa yang akan datang. Mungkin ia sudah merasa bahwa tak mampu menemani anak gadis nya hingga dewasa, jadi berbagai nasihat itu coba ia tanamkan sejak dini. Lelaki itu masih saja hidup dalam hati anak-anaknya, meskipun sosoknya di minta undur diri lebih dulu.

Helda menatap langit-langit kamar, bayangan nya menerawang jauh. Gadis 18 tahun itu menggantungkan banyak mimpi nya pada plafon putih itu. Banyak hal selalu ia rapal dengan serius agar berhasil, doa itu hanya menuju satu muara tanpa celah. Senyum ibu nya. Bagaimana tidak, wanita paruh baya itu adalah sosok paling kuat yang pernah ia temui. Sosok wanita yang tak pernah absen perihal memberinya semua yang terbaik. Helda mengusap lembut pelipis, ingatan nya menjalar liar pada tiap hari beberapa tahun terakhir ini. Ibu nya adalah wujud nyata bahwa malaikat tanpa sayap itu memang ada.

Tadi siang Helda sudah mendaftarkan diri untuk untuk mengikuti seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri, tapi lokasi PTN tersebut cukup jauh dari tempat asalnya. Ada perasaan tak tega dalam hati, mana mungkin ia bisa semudah itu meninggalkan ibu nya hanya dengan adiknya yang masih kecil? Bagaimana jika suatu ketika ibu membutuhkan bantuan nya? Bagaimana jika suatu saat ibu menghadapi hal yang tak bisa beliau selesaikan sendirian?. Tak ingin lebih lama berdebat dengan nurani nya, Helda memilih keluar kamar, menyusul ibu nya yang sedang fokus menonton serial sinetron Indonesia kesukaan nya.

“Pasti nggak bisa di ganggu nih” batin gadis itu, tapi ia tetap memilih duduk di sebelah ibu nya. Menunggu tayangan iklan adalah jalan ninja yang ia pilih, karena percuma saja bicara sekarang. Fokus ibu nya hanya terletak pada tayangan tersebut, yang menceritakan dua anak manusia dengan dua kisah hidup berbeda, dengan dua latar belakang keluarga berbeda tapi saling mengisi tiap-tiap yang kosong dalam diri lawan nya.

“Bu, tadi aku udah daftar untuk tes” Helda bersuara ketika tayangan di tv sudah menampilkan iklan salah satu merk minuman ber-energi.

“Alhamdulillah, kapan tes nya? Pilihan mu tetap?” Ibu nya bertanya sambil menoleh,

“Kejauhan nggak ya, bu?”

“Gapapa, impian kan harus di kejar, lagian ibu malah lebih tenang kalo kamu disana, sekalian ada mbak mu. Kan jadi ada temen nya”

“Ibu emang gapapa di tinggal jauh? Cuma berdua sama adek?”

“Jangan khawatir. Ibu mah gapapa, yang penting anak-anak ibu bisa mengejar impian nya dan disana baik-baik aja, itu semua udah lebih dari cukup, yaa…walaupun nanti jadinya nggak ada yang anter ibu kemana-mana sih, harus berangkat sendiri ibu jadinya”

Helda tersenyum tipis, “nanti sebelum aku berangkat aku kasih tau deh yang jual martabak enak yang kemarin itu dimana, yang jual seblak dimana, tempat beli paketan dimana, paketan yang di beli juga kayak apa” guyon gadis itu, memang selama ini Helda menempatkan dirinya sebagai seseorang yang bisa di andalkan ibu nya dalam berbagai hal, jadi ketika nanti ia sudah tak lagi di rumah, pasti ibu nya akan merasa kehilangan.

“Tadi mbak mu kirim whatsapp ke ibu katanya mau pulang 2 minggu lagi, ingetin ibu ya biar ibu masak makanan kesukaan nya, dia udah nagih”

“Okay deh buk, siap”

Helda melirik wajah ibu nya dari samping, wanita itu sudah tak lagi muda. Mulai terlihat beberapa kerutan kecil di wajahnya, perasaan sesak semakin melanda hati Helda. Ah, kenapa ia jadi se-mellow ini. Tapi memang ia selalu lemah jika membahas perihal orang tua nya.

Helda menyaksikan dengan jelas bagaimana wanita paruh baya itu selalu berusaha menghadirkan sosok ayah dalam rumah nya. Ibu tidak hanya bisa memasak saja, ayah yang mungkin sudah merasa bahwa waktu menemani keluarga nya tidaklah banyak memberi berbagai macam nasihat dan mengajarkan banyak hal, mungkin agar keluarga itu nantinya siap atas berbagai tantangan hidup yang akan mereka hadapi tanpa dirinya yang sudah tak lagi mampu menemani.

Singkatnya, lampu di rumah beberapa kali pernah mati padahal ketika lampu itu di lepas dari rumah nya dan di pasang di bagian rumah yang lain dapat berfungsi normal, kadang colokan air juga tak mau merespon padahal listrik tidak padam, dan yang paling sering adalah perubahan tampilan dari sebuah ruang yang berarti ada beberapa perabot yang perlu di pindah tempat. Semua mampu dilakukan sendirian oleh wanita paruh baya itu.

Entah rasa syukur macam apa lagi yang pantas di ucapkan oleh Helda ketika memiliki ibu yang tak pernah menuntut banyak perihal prestasi yang ia raih. “Kamu cukup jadi biasa aja dan naik kelas, tapi mampu menyelesaikan berbagai macam masalah. Ibu nggak pernah menuntut kamu untuk selalu jadi nomer satu. Masuk sepuluh besar aja, ibu seneng. Yang penting kamu itu usaha, sholat nya bagus, berdoa yang banyak, jadi orang baik, maka semua kebaikan pasti akan selalu menyertai kamu” begitulah kalimat yang pernah di lontarkannya pada anak-anaknya.

Ibu juga adalah sosok hebat yang sama, yang rasa percaya pada anak-anaknya begitu utuh, Karena hal tersebut pula akhirnya mendorong Helda dan kakak nya untuk bertanggungjawab atas rasa percaya yang dititipkan ibu padanya. Entah sudah jadi berapa buku pula segala hal yang di ceritakan pada sosok itu, mereka terbiasa menceritakan apapun pada sosok itu, mungkin karena hal tersebut pula ibu akhirnya mengizinkan anak-anak nya mencoba berbagai hal baru.

Helda tersenyum tipis ketika mengingat berbagai macam lelucon yang sering ibu nya lontarkan, sosok itu cukup bisa disebut memiliki selera humor yang masih sepadan dengan nya. Sepertinya Tuhan sedang sangat baik saat itu karena menciptakan beliau dengan segala kelengkapan nya, dengan segala peran yang bisa beliau ambil bersamaan.

Helda merupakan sosok yang terbuka pada ibu nya, bahkan cerita singkat bahwa tadi di sekolah ia melakukan apa saja pun menjadi hal penting untuk di ketahui ibu nya. Tentang bagaimana interaksi dirinya dengan teman-teman. Selain itu, ibu masih lah sosok yang sama, yang selalu bisa menjadi teman kemana pun karena beliau adalah tipikal yang suka jalan-jalan juga.

***

Gadis yang kini tengah mengendarai motor nya menuju sekolah itu akhirnya kembali merenung, semalam adalah pengumuman kelolosan nya dalam tes tempo hari. Tuhan memberi nya hadiah besar yang juga merupakan salah satu pencapaian terbesar nya pula. Ibu menangis haru dan memeluknya karena rasa bangga itu mendekap hangat dalam hatinya, Helda juga menangis haru karena akhirnya ada jalan yang terbuka untuk nya sebagai penghubung kebahagiaan ibu nya. Helda tak pernah meminta macam-macam, ia hanya ingin membuat ibu nya bangga, membahagiakan wanita dengan logat aneh nya itu ketika sedang mengomel.

Helda kembali menghela nafas syukur. Meskipun ia tak di tempatkan dalam kondisi keluarga dengan ekonomi mapan, namun ia di izin-kan berada dalam dekapan hangat sebuah keluarga dengan rasa tulus yang utuh, dengan sosok-sosok yang mampu mengambil peran nya tanpa celah, dengan segala pedoman hidup yang tak pernah salah. Tak peduli dianggap terlalu berlebihan. Ini hanyalah perihal ia memaknai hidup nya agar syukur tak pernah luntur. Semua mantra doa di rapal agar kebaikan dan keselamatan selalu membersamai sosok itu dengan tabah.

Posting Komentar

0 Komentar