Karya: Riska Maryanti
Aqidah dan Filsafat Islam, IAIN Tulungagung

Aku terbangun paksa dari mimpi yang masih di tengah-tengah keseruan. Ternyata dia membangunkanku tepat pukul 04.00 dengan pesan yang singkat. “Trisa, Jangan lupa salat subuh,” demikian pesan yang tidak panjang darinya. Aku hanya tersenyum lega karena itu memang kebiasaannya untuk membangunkanku di setiap pagi. Segera kuambil air wudu, kulaksanakan dua rakaatku diselingi dengan doa kunutku. Tak lupa aku berdoa kepada Yang Maha Kuasa meminta petunjuk jalan hidupku yang kini terasa berat. Segera aku kembali ke kamar berniat untuk melanjutkan mimpiku yang masih setengah perjalanan. Saat itu, aku baru lulus dari bangku SMA dan melanjutkan pendidikan di sebuah kampus yang lumayan jauh dengan tempat tinggalku.

Seorang yang selalu membangunkanku di setiap pagi adalah Johandika Roland. Anak guru matematika di SMAN 1 Trenggalek. Teman-temannya kerap memanggil dengan sebutan John, mungkin itu termasuk nama panggilan kesayangan mereka. Namun, berbeda denganku yang memanggil dia dengan sebutan sayang. Memang dia adalah pacarku sejak lama hingga semua teman-teman kami tahu. Selisih umurku dengan John lumayan jauh, yaitu 4 tahun. Dia kakak kelasku, tetapi beda sekolah denganku. Aku yang menempuh pendidikan di sekolah berbasis Islam, sementara dia lulusan SMA umum tempat ayah dia bekerja.

Pertama aku kenal dia dari sebuah acara untuk memperingati hari jadi Kabupaten Trenggalek. Pada saat itu, semua sekolah se-Kabupaten Trenggalek ikut serta untuk memeriahkan acara tersebut. Kebijakan pelaksana acara ialah setiap sekolah harus membuka bazar yang disediakan di pinggir jalan. Tidak hanya itu, setiap sekolah juga wajib menampilkan pentas seni untuk menunjukkan beberapa kesenian yang dibagi panitia. Maklum karena sekolah tingkat SLTA di Trenggalek lumayan banyak, jadi harus dibagi rata dengan memperhatikan waktu yang cuma satu minggu. Pada saat itu, aku harus menjaga bazar dan menari untuk menghibur para warga yang datang menyaksikan. Kini giliranku dan teman-temanku yang harus menampilkan kesenian Tari Kedhuk Bumi, salah satu tarian khas Trenggalek yang sudah familier di kalangan para remaja setempat.

“Penampilan selanjutnya para penari top di kalangan remaja Trenggalek. Dengan khasnya mereka akan berlenggak-lenggok ke sana-kemari membawa sesuatu yang istilahnya dalam bahasa Jawa adalah cikrak. Langsung saja, ini dia penampilan dari MAN 1 Trenggalek … Tari Kedhuk Bumi … kasih tepuk tangan yang meriah.” Suara yang terdengar dari bawah panggung begitu meriah ketika aku bersiap-siap untuk menampilkan tarian ke atas panggung. Ketika aku menari di tengah panggung yang megah, tanpa sengaja aku melihat dia terus memandangiku. Entah aku yang merasa terlalu percaya diri atau memang gayanya seperti itu. Kupikir mungkin memang dia salah satu penyuka tari tradisional, akan tetapi dugaanku itu salah. Di situlah kami saling mengenal, yakni dia sebagai sosok pembawa acara yang melaksanakan tugas dengan keringat menetes di setiap pipinya. Dia yang baru saja lulus dari SMA dan aku yang masih kelas satu SMA. Kita saling mengenal dengan saling malu-malu untuk bertukar nama Instagram. Hari jadi Kabupaten Trenggalek bisa dibilang saksi awal perkenalan singkatku dengannya. Di situlah aku semakin mengenalnya dan lama-kelamaan menjalin hubungan yang didasari rasa sayang dan kepercayaan.

Hari semakin siang, bergegas aku menuju ke kamar mandi untuk bersiap-siap berangkat ke kampus. Tak banyak yang kukenal di kelas, hanya satu teman seorganisasi di SMA yang bernama Sinde. Dia teman yang bersedia menerima beberapa keluh kesahku sejak SMA. Jadi, dia lumayan tahu hubunganku dengan John.

“Sin, sini! Duduk di sebelah aku,” sapaku untuknya.

“Iya, Sa. Kamu sudah masuk grup whatsapp kelas?” tanya Sinde padaku.

“Sudah, Sin. Emang kenapa?” kutanya balik Sinde.

“Oh, ya? Aku belum masuk grup, tadi kebingungan mau masuk kelasnya di mana. Untung ada kamu,” jawab Sinde.

“Kok kamu nggak bilang dari kemarin sih, Sin? Tahu gini kan aku minta tolong di grup untuk masukkan kamu,” geramku pada Sinde.

“Gak muat dong, Sa, aku dimasukkan di grup whatsapp. Badanku gede, loh,” canda Sinde.

“Hahahaha … bener-bener kali ini nggak garing candaan kamu, biasanya garing, tuh,” kuejek Sinde sedikit.

“Males, deh, biasanya niat mau bercanda tapi nggak ada yang respons waktu di organisasi dulu.” Sinde sedikit melampiaskan amarah di masa lalu.

“Hahahaha … ya udahlah, Sin. Emang anak-anak sukanya kayak gitu dulu,” redaku pada Sinde.

“Eh, gimana kabarmu dengan Mas John? Baik-baik saja, kan?” tanya Sinde kepadaku.

Memang hubunganku dengan John banyak yang tahu. Meskipun aku dan John berjarak waktu, tempat, dan kondisi, tapi banyak orang yang mengetahui hubunganku dengannya. “Tetap sama, Sinde.” Dengan lantang kujawab pertanyaan Sinde hingga teman-teman di kelas serentak memusatkan pandangan mereka pada kami. Wajahku bagai dihiasi buah apel yang merah merekah di kartun Snow White. Memang pada saat itu, suaraku tak terkondisikan ketika menjawab pertanyaan Sinde.

“Gimana? Apa yang tetap sama?” tanya Sinde.

“Sulit untuk bersatu, pastinya kamu tahu,” jawabku singkat.

“Iya, Sa. Maaf ya sebelumnya, memang itu sangat sulit untuk bersatu, kecuali kalau dari salah satu mau berpindah keyakinan antara kamu atau Mas John. Tapi, Sa, kamu harus berpegang teguh dengan keyakinanmu, Sa. Ingat kamu terlahir dari keluarga yang bagaimana, pastinya kamu tahu, dong,” jelas Sinde.

“Iya, Sin, aku nggak akan pernah tinggalin apa yang sudah diajarkan keluargaku,” tegasku berpendirian sambil mengucapkannya.

Memang aku dan John berbeda keyakinan, aku yang selalu beribadah di masjid menghadap Allah Swt., sementara dia yang beribadah ke gereja menghadap Tuhannya. Inilah inti hubunganku yang banyak diketahui. Mereka bertanya-tanya bagaimana bisa aku dan John melewati hubungan ini sampai beberapa tahun tanpa ada sedikit masalah, padahal ini merupakan masalah yang besar, di mana aku dan John sama-sama kuat berpegang teguh pada keyakinan masing-masing. Banyak dari mereka yang bilang bahwa kami tidak akan berakhir di sebuah pelaminan. Kalimat itu terus bergentayangan seakan-akan membuatku ingin kembali ke awal pertemuan dan mengatakan aku tak bisa menjalin hubungan dengan perbedaan agama. Aku adalah seorang perempuan yang nanti akan dibina seorang laki-laki muslim dengan banyak pengetahuan agama. Namun, semua sudah terlanjur, aku yang dibutakan oleh cinta dan dia sama sepertiku, tanpa berpikir panjang mengambil keputusan untuk menjalin hubungan.

Selama aku di bangku SMA dan dia menempuh pendidikan militer untuk menuruti keinginan ayahnya, kami sama-sama berpikir untuk menjalani hubungan tanpa diketahui orang tua masing-masing. Kami mengerti jika orang tua kami mengetahui hubungan ini, besar kemungkinan mereka tidak akan merestui. “Jalani saja dulu, nanti juga bakal ada waktunya untuk kita berpikir ke depannya.” Ucapan itu yang terus aku dan John lontarkan bersama-sama ketika kami merasa tertekan dengan kenyataan. Entah benar atau salah, aku dan John melakukan hal itu, aku hanya menuruti egoku untuk tetap bersamanya.

“Aku udah makan, kamu udah makan belum?” pesan singkat itu kuterima dari John.

“Sudah sebelum kuliah, ini aku lagi di kampus, ada mata kuliah,” jawabku.

“Ciye yang sekarang anak kuliahan. Ya udah, lanjutkan belajarnya, Sayang,” ejek John kepadaku.

“Hem, iya, semangat juga kerjanya,” jawabku untuknya.

Memang aku dan dia jarang berkomunikasi sejak berkenalan. Jadi, tak banyak waktu yang tersita karena nge-bucin. Ini termasuk kesamaanku dan dia, tidak suka memberi kabar setiap waktu dan karena ini kami semakin menyayangi. Bagiku seseorang yang memegang ponsel nonstop adalah pengangguran yang hanya rebahan di kasur dan tidak ada aktivitas apa pun yang dia kerjakan.

Dia bekerja di Jakarta setelah menempuh pendidikan militernya. Dia seorang TNI yang dulu kudampingi ketika harus menuruti ayahnya mendaftar di pendidikan militer. Berbulan-bulan aku menunggu kabar, mendampingi keluhannya, menyemangati perjuangannya, dan ikut men-suport keputusannya yang menjadi salah satu masalah hidupnya. Dia sebenarnya ingin menjadi seorang pengusaha, tetapi ayahnya sangat menginginkan dia masuk dunia militer. Dengan ketaatan yang dia miliki, pada akhirnya dia menuruti kemauan sang ayah. Selain itu, kesetiaanku membuat dia semakin yakin bahwa aku salah satu perempuan idamannya.

Hari terus berlalu, kini aku sudah semester tiga dan tetap sekelas dengan Sinde. Ketika itu, aku yang baru berangkat ke indekos mendapat pertanyaan yang serius dari orang tuaku. Kembali aku menceritakannya kepada Sinde dengan murung.

“Sin, mau cerita, nih,” ungkapku.

“Pasti tentang mas John, kan? Udah, langsung saja cerita. Aku tetap jadi pendengar setiamu, kok.” Gurauan Sinde sedikit menenangkan pikiranku.

“Itu, Sin … tadi aku di rumah ditanya sama Ibu.”

“Ditanya apa, Sa? Kupikir tadi tentang Mas John.”

“Iya, benar tentang John, kok,” tegasku.

“Hah? Jadi ibumu sudah tahu?” tanya Sinde dengan muka kagetnya.

“Tadi aku ditanya sama Ibu perihal masalah cowok. Kamu tahu selama ini aku diam, nggak berani bilang ke Ayah dan Ibu. Aku nggak ingin menerima takdir yang harus tidak kulalui bersama Mas John. Aku tahu, Sin, orang tuaku nggak bakal merestui hubunganku dan aku bilang kepada Ibu semuanya,” jelasku pada Sinde.

“Terus bagaimana tanggapan ibumu?” tanya Sinde

“Ibu hanya sedikit marah karena aku menyembunyikan ini di belakang keluargaku,” ucapku dengan sedikit menunduk.

“Sa, kalau boleh aku ingin bilang kalau ini saatnya kamu bicara tentang hubunganmu dengan Mas John. Waktu akan terus berlalu, Sa. Kamu harusnya berpikir dewasa. Sampai kapan kamu terus diam seperti ini? Tanpa sengaja sikapmu yang seperti ini akan menyiksa kamu sendiri. Sa, aku sebagai sahabatmu selalu mengkhawatirkanmu. Tolonglah, Sa, bilang kepada Mas John untuk saling memberitahu orang tua kalian. Aku bukan menjerumuskanmu, tapi ini tentang masa depanmu. Aku hanya tidak mau suatu saat akan terjadi hal yang menyiksamu dalam jangka panjang,” tutur Sinde kepadaku.

“Iya, Sin, aku tahu, kok. Secepatnya aku bilang kepada mereka,” ucapku.

Sinde memang tak salah bicara, kini aku harus memberanikan diri untuk bilang kepada orang tuaku tentang hubunganku dengan John. “Kini saatnya kita saling jujur kepada keluarga kita,” pesanku pada John.

“Kalau itu kemauanmu akan aku turuti. Namun, aku tidak ingin menerima kenyataan yang dulu pernah kita bicarakan. Demi kamu, aku akan berkata kepada keluargaku,” balas John.

Seketika aku tak berdaya bagai permata yang hilang keindahannya. Mau tidak mau aku harus memberanikan diri menghadap orang tuaku. Tiga hari berlalu, kemudian aku berada di ruang tamu bersama ayah, ibu, dan kakakku. Lantas aku menjelaskan semua kepada mereka.

“Berapa lama kamu pacaran?” tanya ayahku.

“Sekitar empat tahun berjalan ini, Yah,” jawabku tertunduk dengan tangan di kedua pahaku.

“Bagaimana bisa kamu menjalin hubungan dengannya tanpa sepengetahuan Ayah? Sejak kapan kamu menjadi anak yang nggak mau jujur kepada Ayah?” Amarah ayah yang sudah kutebak pun muncul.

“Ayah, Trisa minta maaf, Yah,” jawabku dengan suara yang pelan.

“Kamu dengan dia sama-sama kuat keyakinannya, Nak. Ayah dan Ibu maupun kakak-kakakmu tidak merestui hubungan ini. Putuskan dia!” jelas ayahku mengucapkan kalimat yang aku takuti selama ini.

Aku hanya memandang lampu yang berkedip-kedip berwarna kuning di dinding kamarku. Boneka pemberian John terus kupeluk dan tidak kulepas sedikit pun. Musik bergenre mellow yang terdengar melalui headset di telinga mengiringi isak tangisku di malam yang bersejarah itu.

“Yang kita khawatirkan dari dulu telah terjadi. John, aku sayang kamu,” kuketik pesan ini dengan jari gemetar dan basah oleh air mataku.

Tak lama kemudian aku menerima pesan balasan. “Mohon maaf, Mbak, Abang Johandika baru saja kecelakaan dan dibawa di Rumah Sakit Pelita Jaya di Surabaya. Ini saya adik tingkatnya.”

Aku membaca pesan tersebut sembari bangun dari tempat tidur. Tak bisa kutuliskan perasaanku yang hancur sehancur-hancurnya. Aku baru saja mendapat amarah dari ayahku, kini aku harus menerima kabar buruk dari John. Terus dan terus kuhubungi adik tingkat John. Seperti orang yang sudah hilang kesadaran, aku meminta tolong pada kakakku untuk menemaniku ke Surabaya. Memang sulit dibayangkan, tapi aku terlalu khawatir dengan keadaannya. Kakakku pernah muda, jadi dia ikut merasakan yang sedang aku rasakan saat itu.

Keesokan harinya, aku bersama kakakku berangkat ke Surabaya tanpa sepengetahuan ayah dan ibu. Aku masih tak percaya jika mengingat kejadian itu. Aku yang jarang keluar kota memberanikan diri untuk pergi. Untungnya kakakku sudah terbiasa ke Surabaya karena kakak iparku bekerja di sana. Di tengah perjalanan hanya kecemasan yang meliputi pikiranku. Entah tak tahu lagi aku harus berbuat apa, yang aku pikirkan aku harus di sampingnya dan membuat dia berjuang untuk sembuh.

Setelah menempuh perjalanan setengah hari, akhirnya kami sampai di rumah sakit tempat John dirawat. Seorang perempuan yang berdiri di depan ruangan John memandangku dari kejauhan. Sebelum aku masuk, perempuan itu mendekatiku.

“Kamu yang bernama Trisa?” tanya perempuan itu.

“Dari mana Mbak tahu namaku Trisa?” tanyaku balik.

“Dua hari yang lalu Johan menceritakan semua padaku tentang hubungan kalian. Aku ibunya Johan.”

“Mohon maaf, Bu, aku tidak menyangka akhirnya bisa bertemu dengan Ibu. Aku Trisa, pacarnya John,” kagetku sambil meminta maaf karena sebelumnya kupanggil dengan sebutan mbak.

“Saya sudah tahu dari Johan, keluarga kami memanggilnya dengan sebutan Johan. Johan menceritakan semua kepada saya. Saya cukup kaget mendengarnya. Puji Tuhan akhirnya saya bisa bertemu dengan kamu di sini. Saya ingin menyampaikan keputusan keluarga kami setelah mendengar semua ungkapan dari Johan. Tadi malam Johan kecelakaan, entah bagaimana kronologinya, saya juga belum tahu. Yang saya tahu, dia berat untuk melepaskanmu. Saya harap kamu bisa mengerti kemungkinan dia mengalami kecelakaan. Keluarga kami dan keluarga kamu memang ditakdirkan untuk tidak memiliki keyakinan yang sama. Namun, toleransi kita memang perlu diperhatikan, tetapi untuk hubungan lebih dari teman saya tidak merestuinya. Jadi, saya harap kalian tidak menjalin hubungan lagi. Aku tahu kamu orang baik, perempuan yang sangat penyayang termasuk sayang kepada anak saya, tetapi kamu memang tidak ditakdirkan untuk berumah tangga sama anak saya. Trisa, Tante sangat berterima kasih kepadamu karena kamu banyak membawa perubahan kepada Johan, mendampingi Johan hingga dia seperti sekarang ini. Namun, takdir berkata lain, kamu harus menerimanya.”

“Tante … Aku tak kaget lagi mendengar ucapan seperti ini. Aku sudah tahu risiko yang sebenarnya, aku sudah membicarakan ini semua bersama John. Sama seperti orang tuaku juga yang tidak merestui hubungan aku dengan John. Jika itu yang harus aku jalani, aku akan terima dengan ikhlas. Namun, apakah boleh saya bertemu John untuk mengakhiri hubungan kami?” tanyaku kepada ibunya John.

“Jika kamu bertemu dengan Johan, semakin kamu sulit untuk melupakannya, Trisa. Tante bukan berniat jahat sama kamu, ini demi hatimu. Maafkan Tante, ya,” ujar ibunya John.

Seperti pisau yang menempel di jemariku, aku sangat terluka. Perjalanan dari rumah ke Surabaya untuk melihat John kini berakhir sudah. Aku mencoba mengerti perkataan ibunya, memang ini demi kebaikanku dan dia. Aku melihat dan mendekat ke celah-celah jendela tanpa masuk ke ruangannya. Sambil menahan tangisku, kutempelkan tangan kananku ke kaca jendela. Ternyata John merasakan dan langsung melihatku, akan tetapi dia tidak berani berkata apa pun karena pada dasarnya semua berakhir. Dia mungkin sama sepertiku yang takut dengan ayah setelah mengungkapkan perihal hubungan ini. Di balik jendela kuungkapkan seribu kata di dalam batin.

“Sayang …. Terima kasih atas semua kasih sayang yang kamu berikan kepadaku. Kau tahu aku seorang muslimah, kutahu kamu seorang yang selalu rajin beribadah di gereja. Perbedaan ini cukup mengakhiri hubungan kita, kisah-kasih, rasa sayang sampai di sini. Aku sayang sama kamu, tapi aku lebih sayang sama keyakinan dan keluargaku. Aku tahu kamu di sana mengerti keadaan ini. Hai adalah kata yang paling depan aku ucapkan kepadamu. Itulah kata terakhir panggilanku kepadamu. Selebihnya aku akan memanggilmu dengan panggilan yang sudah melekat di teman-temanmu. Aku minta maaf jika aku ada salah kepadamu selama ini. Sayangi keluargamu, tetaplah beribadah sesuai keyakinanmu, jagalah kesehatanmu, semangat bekerja seperti aku menyemangatimu. Sebenarnya masih banyak lagi yang ingin aku ucapkan kepadamu, tapi biarkan aku memendam kalimat-kalimat itu. Jika dihitung ada seribu untaian yang kusampaikan kepadamu. Jaga semua pesanku. Aku balik dulu karena orang tua sudah menungguku di rumah”.