Aroma kopi harus dihirup
Aromanya dari ruang tamu
Jika kamu masih hidup
Kau taruh mana eksistensimu?
Seorang pengendara kuda dengan kantuk yang
memuncak terlihat akan tertidur di atas punggung kudanya. Ia tidak memedulikan
jalur lintasan yang akan di lalui oleh hewan tunggangannya. Kudanya berbelok ke
kanan ia juga sempoyongan ke kanan, kudanya ke kiri dia juga sempoyongan ke
arah yang sama. Tangan yang seharusnya memegang kendali atas arah kuda, justru
terdiam lemas mengikuti arahan tunggangannya.
Pengendara itu seakan tidak peduli ke arah
mana kudanya bergerak sekarang. Apakah ia akan dibawa ke padang rumput demi
rumput hijau segar, atau ke sungai untuk meminum air jernih. “Huwaahh!”
pengendara itu mengindahkan hal itu. Persetan dengan itu semua, ia masih
mengantuk. Yang terpenting, bendungan kantuknya harus disalurkan!
Setelah beberapa jam tertidur, ia terbangun
di sebuah tempat antah-berantah. Dengan ditemani oleh sang kuda yang sedang
memakan rumput. Ia bingung apakah tempat ini yang ingin ia tuju? Apakah ini
tujuan akhirnya?
Apakah pengendara yang tersesat itu layak
disebut dengan “pengendara kuda”. Bukankah di sepanjang perjalanan ia hanya
tertidur? Arah perjalanannya hanya mengikuti jalan kudanya. Bukan dari
kesadaran dirinya sendiri.
Kisah tersebut telah dibahas oleh seorang
filsuf eksistensialisme, Soren Aabye Kierkegaard. Eksistensi pada dasarnya
adalah cara diri meng-ada dalam realitas. Menurut filsuf melankolis ini,
hanya individu yang bertindak sebagai aktor tunggal atas kehidupannya yang bisa
dianggap sebagai manusia yang bereksistensi. Sedangkan, individu yang hanya manut
grubyuk (ikut-ikutan) tidak bisa disebut manusia yang bereksistensi.
Lebih jauh lagi menurut Kierkegaard hanya ia
yang konkritlah yang bereksistensi, yakni ia yang tidak bisa direduksi oleh hal
eksternal di luar dirinya. Ia yang tidak direduksi oleh sistem ekonomi,
politik, masyarakat, pergaulan, organisasi, kelompok, dan sebagainya.
Menjadi penunggang kuda yang menggunakan
kesadaran penuh, atau hanya pasrah mengikuti keinginan kuda adalah sebuah
pilihan. Marilah kita menunggangi kuda yang bernama kehidupan dengan cara kita
masing-masing!
Referensi:
Hardiman, Budi. (2004). Filsafat Modern dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
0 Komentar