Penulis:
Geafrinda Putra Wardani
Mahasiswa AFI angkatan 2021

Aroma kopi harus dihirup

Aromanya dari ruang tamu

Jika kamu masih hidup

Kau taruh mana eksistensimu?

Seorang pengendara kuda dengan kantuk yang memuncak terlihat akan tertidur di atas punggung kudanya. Ia tidak memedulikan jalur lintasan yang akan di lalui oleh hewan tunggangannya. Kudanya berbelok ke kanan ia juga sempoyongan ke kanan, kudanya ke kiri dia juga sempoyongan ke arah yang sama. Tangan yang seharusnya memegang kendali atas arah kuda, justru terdiam lemas mengikuti arahan tunggangannya.

Pengendara itu seakan tidak peduli ke arah mana kudanya bergerak sekarang. Apakah ia akan dibawa ke padang rumput demi rumput hijau segar, atau ke sungai untuk meminum air jernih. “Huwaahh!” pengendara itu mengindahkan hal itu. Persetan dengan itu semua, ia masih mengantuk. Yang terpenting, bendungan kantuknya harus disalurkan!

Setelah beberapa jam tertidur, ia terbangun di sebuah tempat antah-berantah. Dengan ditemani oleh sang kuda yang sedang memakan rumput. Ia bingung apakah tempat ini yang ingin ia tuju? Apakah ini tujuan akhirnya?

Apakah pengendara yang tersesat itu layak disebut dengan “pengendara kuda”. Bukankah di sepanjang perjalanan ia hanya tertidur? Arah perjalanannya hanya mengikuti jalan kudanya. Bukan dari kesadaran dirinya sendiri.

Kisah tersebut telah dibahas oleh seorang filsuf eksistensialisme, Soren Aabye Kierkegaard. Eksistensi pada dasarnya adalah cara diri meng-ada dalam realitas. Menurut filsuf melankolis ini, hanya individu yang bertindak sebagai aktor tunggal atas kehidupannya yang bisa dianggap sebagai manusia yang bereksistensi. Sedangkan, individu yang hanya manut grubyuk (ikut-ikutan) tidak bisa disebut manusia yang bereksistensi.

Lebih jauh lagi menurut Kierkegaard hanya ia yang konkritlah yang bereksistensi, yakni ia yang tidak bisa direduksi oleh hal eksternal di luar dirinya. Ia yang tidak direduksi oleh sistem ekonomi, politik, masyarakat, pergaulan, organisasi, kelompok, dan sebagainya.

Menjadi penunggang kuda yang menggunakan kesadaran penuh, atau hanya pasrah mengikuti keinginan kuda adalah sebuah pilihan. Marilah kita menunggangi kuda yang bernama kehidupan dengan cara kita masing-masing!

Referensi:

Hardiman, Budi. (2004). Filsafat Modern dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.