
Oleh Sulkhan Zuhdi [] Mahasiawa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam; IAIN Tulungagung [] Staf Verstehen Organic Philosophy
Nurcholish Madjid atau akrab disebut Cak Nur
merupakan intelektual kelas berat Indonesia. Majalah Tempo dalam salah
satu edisinya menyebutnya sebagai lokomotif pembaharuan Islam di Indonesia.
Gagasan-gagasan Cak Nur mengilhami banyak kalangan, sekalipun dengan kelebihan
maupun kekurangannya, bahkan hingga sekarang.
Ulil Absar Abdalla menyebut Cak Nur seperti
masinis yang membuat umat tidak diam, tapi bergerak, berpikir, menelaah kembali
dan proses yang tanpa henti, persis seperti “spoor” yang terus berjalan. Cak
Nur juga dikenal luas sebagai sosok yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai
Keislaman, Keindonesiaan serta Kemodernan.
Lelaki kelahiran Mojoanyar, Jombang pada 17 Maret
1939 ini sejak kecil sudah diarahkan ayahnya untuk belajar agama melalui
pesantren, kemudian di IAIN Syarif Hidayatullah, untuk akhirnya mengambil
pendalaman dalam studi Islam bersama Fazlur Rahman di Chicago. Sekalipun sempat
mengambil Ph. D, di bidang ilmu politik dan tidak berlanjut.
Dalam belantara intelektual Nusantara, Cak Nur
dikenal melalui tulisan berjudul “ Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan
Masalah Integrasi Umat” pada 2 Januari 1970 dalam diskusi yang diprakarsai
PII Jakarta. Tulisan ini menimbulkan pro-kontra, tokoh seperti Prof. Rasjidi,
mantan Menteri Agama, melayangkan respon kritis melalui tulisan Koreksi
terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi. Sebutan Natsir Muda
dikoreksi, karena ia dianggap sekuleris.
Pada pokoknya Rasjidi menilai bahwa Cak Nur
berusaha memisahkan sekularisasi dan sekularisme, padahal keduanya adalah
sesuatu yang saling terkait. Karenanya, usaha Cak Nur memberi pengertian baru
pada sekularisasi itu dipandang sebagai sesuatu yang terlalu dipaksakan.
Ini bisa dipahami karena Rasjidi merupakan
generasi santri lama yang masih mengusung ide terkait negara Islam, sedangkan
Cak Nur merasa cukup untuk menyebut Indonesai sebagai negara Pancasila yang
disinari wahyu.
Pemikiran Cak Nur luar biasa luas, karyanya
membentang luas dalam beragam bidang. Namun, Wahyuni Nafis kemudian menyebut
pikiran pokok Cak Nur terkait Tawhid, pluralisme dan Indonesia sebagai
negara-bangsa modern (modern nation state).
Sedangkan Cak Nur menggunakan strategi Integrasi meliputi integrasi Islam dan
kemanusiaan, integrasi Islam dan modernitas, integrasi Islam dan politik, serta
integrasi Islam dan keindonesiaan.
Memang, seringkali ia disebut-sebut sebagai
intelektual muslim yang terlalu condong kepada kekuasaan, terutama disebut
dekat dengan Soeharto kala itu. Namun, di sisi lain ia memberikan ruang bagi
cendekiawan muslim lainnya untuk ikut berperan serta dalam pemerintahan.
Padahal, waktu itu kekuatan Islam dalam keadaan direpresi oleh penguasa.
Cak Nur merupakan salah satu pendiri dari Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Sekalipun secara struktural ia ‘hanya’
menjabat sebagai dewan pakar, namun Cak Nur punya andil besar dalam merumuskan khittah
ICMI, yaitu keislaman, keindonesiaan dan kecendekiawanan.
Sifat dasar keislaman memberinya landasan bagi
pandangan-pandangan yang universal. Sifat keindonesiaan menyediakan lingkup
penerjemahan pandangan-pandangan keislaman yang universal dalam konteks wilayah
dan historis tertentu, yait ruang Indonesia di jaman sekarang.
Sedangkan, sifat kecendekiawanan merupakan
tumpuan amanat khusus yang diemban ICMI dalam usaha partisipasinya dan
sumbangsihnya dalam membangun masyarakat.
Sosok Cak Nur pun akhirnya lekat akan sebutan
lokomotif pembaharuan Islam serta identitas keindonesiaannya sebagai demokrat
sejati yang bercita-cita menciptakan negara Indonesia sebagai bangsa modern
pantas membuatnya layak disebut sebagai Guru Bangsa.
0 Komentar