Melihat Kebenaran Alam Tanpa Perlu Jadi Hakim Kebenaran



Oleh Wisanggeni Esmoyo [] Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam; IAIN Tulungagung [] Staf Verstehen Organic Philosophy

Indonesia negeri tempatku lahir dan hidup, tempat kali pertama ku menghirup udaranya, menginjakkan kaki ke tanahnya, minum dan makan hasil karunianya atas rahmat Tuhan. Namun sekarang ia sedang sedih, salah satunya bencana dari sikap manusia yang tak memperhatikan dan peduli terhadap alam. Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukanlah bencana alam, pun pasti bisa dilawan.

Tulisan ini hanya menampilkan gejolak penderitaan alam yang berimbas pada penderitaan manusia. Tidak banyak teori dan metode dalam penulisan. Bahkan penulis sendiri merasa kelimprungan dalam menulisaknnya. Menang tidak sebagus artikel-artikel kelas ilmuan, tetapi dengan ini penulis menaruh harapan akan pekanya manusia terhadap alam.

Akhir-akhir ini sisa kemerdekaan tahun 2019 dan rentetan rangkaian peristiwa menyelimuti Indonesia, salah satunya adalah kebakaran hutan. Titik api tak hanya mendiami Sumatra dan Kalimantan, pun ditemukan di Papua yang bisa menghanguskan tanaman kering di hutan.

Papua, yang telah dilansir oleh Kepala Badan Meteoroli, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Wilayah V Jayapura, Petrus Demon Sili. Dia mengatakan, ditemukan 14 titik panas kebakaran hutan dan lahan di wilayah Papua dan Papua barat.

Penyebab kebakaran hutan di Papua rata-rata akibat lahan kering, hal ini sudah dapat dipastikan bahwa sesuatu yang kering memang mudah terbakar seperti hatimu. Berbeda dengan Riau dan Kalimantan lahan disana termasuk golongan gambut. Sehinga bila terjadi kebakaran sangat cepat dipadamkan, namun menimbulkan kemunculan asap cemburu pekat.

Beranjak dari Papua kita menuju Kalimantan beberapa waktu lalu sempat viral akibat dampak positif kebakaran hutan; telah tewasnya dewa penjaga hutan Tangkalaluk terbakar api asmara. Tidak hanya itu,  ternyata kebakaran hutan membawa berkah ISPA bagi masyarakat setempat.

Terkait dewa penjaga hutan, baru-baru ini sebuah postingan di Istagram, seekor Anaconda berukuran sangat besar hangus terbakar akibat kebakaran hutan yang melanda Kalimantan. Bagi sebagian orang ular tersebut hanya dianggap sebagai mitos belaka, eh ternyata benar-benar ada dan terbujur kaku di hutan yang hangus terbakar.

Sebenarnya bagi masyarakat sekitar sudah meyakini ular tersebut memang benar adanya, hanya saja bagi masyarakat kekotaan hal tersebut masih dianggap mustahil. Bahkan suku Dayak menyebutnya sebagai Tangkalaluk dewa hutan (ini angapan mbah saya yang memang keturunan suku Dayak). Tangkalaluk tewas mengenaskan dalam peristiwa kebakaran hutan dengan kepala menjuntai ke wabah, sedangkan ekornya terkait di atas pohon.

Ular dewa rimba di hutan Kalimantan ini diklaim pemerintah setempat sangat langka dan sekarang sudah sulit ditemukan, mungkin juga karena pembalakan dan penangkapan sebagai bahan konsumsi oleh manusia. Makanya, sabagian orang kebanyakan menganggap hewan tersebut sabagian dari mitos, karena kemunculannya hanya dalam cerita-cerita dan film.

Kalian tahu apa yang dimakan kalo ular berukuran sangat besar bahkan setara dengan batang pohon kelapa tua. Bisanya ia memangsa babi hutan, rusa, harimau, buaya darat (kamu) dsb. Hewan predator ini bahkan mampu menirukan suara dari mangsanya, seperti Medusa yang dapat membius mangsanya dengan tatapan bola matanya. Ular raksasa Tangkalaluk ini memiliki kemiripan dengan Anaconda yang ada di hutan Amazon, Brazil.

Beranjak dari Kalimantan kita terbang ke Riau yang kabarnya telah dinyatakan berbahaya. Ya, Kabut asap pekat akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kabupaten Pelalawan, Riau, sempat menguning dan berdampak buruk pada kualitas udara. Bahkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) yang terpantau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mununjukkan kualitas udara terburuk terjadi di wilayah Pekanbaru, Riau.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI per Senin, 16 September 2019 sudah ada 16.372 orang terkena Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) yang ditangani tenaga kesehatan di sana, banyak juga korbannya. Dampak udara buruk amat terasa, mereka menunjukkan beberapa gejala berupa batuk dan umbelen, namun bisa lebih berat bagi penderita asma.

Menurut pantauan airvisual, indeks kualitas udara ibu kota provinsi Riau itu pada hari Selasa mencapai 415, ini sudah bukan habitan untuk mahluk hidup. Bahkan pengakuan seorang warga Pekanbaru, Ernawati, mengatakan kabut asap telah berdampak pada kesehatan ketiga anaknya, koyokne ijik cilik rek ojo mok keponi ya.

Pengakuannya, kami semua sudah terkena sakit yang sama; batuk-batuk dan sesak napas. Lebih lanjut, Erna yang tinggal di Kecamatan Bukit Raya itu mengungkapkan bahwa sakit yang diderita ketiga anaknya semakin parah saat malam hari, pada saat itu tanaman juga mengeluarkan CO2 pantas saja kesulitan bernafas. Mereka tidak bisa tidur karena batuk-batuk terus akibat asap yang masuk ke dalam rumah.

Dalam dunia medis, ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, dr. Agus Dwi Susanto, menyebutkan kualitas udara di Palangka Raya dan Pekanbaru sudah sangat berbahaya. Ia menjelaskan bahwa ketika indeks kualitas udara melebihi 300, itu berarti kandungan partikel dan gas-gas polusi telah jauh lebih banyak dari udara yang sehat, kalian bayangkan saja seperti asap vulkanik pas gunung meletus lur.

Seberapa buruk kualitas udaranya?

Mengacu pada pantauan airvisual, kualitas udara yang mencapai level “hazardous” kalian bisa cari definisinya di mbah google, di Palangka Raya dideteksi sejak Jumat pekan lalu (13/09). Puncaknya pada hari Minggu dan Senin, 15 dan 16 September 2019, ketika indeks kualitas udara melampaui angka 900.

Sementara di Pekanbaru, kualitas udara mencapai level berbahaya, meski tidak separah Palangka Raya, sejak Kamis (12/09). Kualitas udara terburuk dicatat pada Jumat (13/09) dengan indeks kualitas udara 489, mengapa berbeda? iya kan lokasi mereka berjauhan. Bayangin aja kamu yang berjauhan saat ada permasalahn pasti juga akan berbeda cara menanganinya dan dampaknya.

Bahkan, Indeks kualitas udara atau air wuality indeks (AQI) dihitung berdasarkan pengukuran partikulat halus, Ozon (o3), Nitrigen Dioksida (NO2), Sulfur Dioksida (So2) dan emisi Karbon Monoksida (CO). Kualitas udara juga diukur dengan menghitung particulate matter atau partikel halus, yaitu PM1,5 dan PM10. Angka tersebut merupakan ukuran partikel, yaitu 2,5 mikron dan 10 mikron piluhan kali lebih kecil dari rambut manusia. Kalian perlu belajar ini juga, jujur saya juga bingung hemmm.

Seberapa besar PM2,5?

Dr. Agus Dwi Susanto dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia menjelaskan bahwa PM2,5 sering dijadikan patokan, karena jenis partikel tersebut “lebih toksil”. Partikel berukuran 2,5 mikron dapat masuk ke saluran napas bawah, kemudia ke pembuluh darah, dan beredar ke seluruh tubuh, sehingga “mengubah perubahan normal menjadi peradangan kronik” hampir mirip dengan keadaan ketika kalian cemburu, yang pernah saja.

Dalam Studi analis perubahan iklim oleh Berkely Earth, secara kasar memadankan tingkat polusi PM2,5 sebesar 22 mikrogram per meter kubik dengan mengisap satu batang rokok per hari. Kayaknya Berkely Earth mau mengingatkan kita terkait bahanya asap (rokok). Mungkin Dia bilang gini; ROKOK ITU BERBAHAYA BISA MENYEBABKAN KANKER, MANDUL, SUSAH NGACENG DAN PARAHNYA BISA BIKIN CEPAT MODYAR.

Bahkan menurut airvisual, sejak Jumat (13/09), warga Palang Raya sempat merasakan konsentrasi PM2,5 yang mencapai 1200 mikrogram per meter kubik-setara dengan menghisap kira-kira 54 batang rokok per hari.

Aku menghela nafas menulis ini sambil menjawab dengan santai. Lurr! Orang yang dengan sombong mengaku sebagai bukan perokok sesungguhnya ia kurang pengetahuan. Karena pada dasarnya, suka tidak suka semua orang adalah perokok! Bedanya ada perokok aktif sepertiku dan ada yang prokok pasif sepertimu.

Sekang kutannya; mana yang lebih berbahaya menurut analisismu? Prokok pasif ta? Kamu tahu kenapa? Karena kamu pasif!. Lantas kau mengusirku dengan bilang “Mambu”, huhuhuhu “Dasar pasif!”. “Biarin pasif! Daripada aktif tapi cuman di-read doang dibales juga nggak!”. Lah, malah curcol.......

Adakah dampak kesehatan jangka panjang?

Dr. Agus Dwi Susanto mengatakan paparan terhadap asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bisa menyebabkan penurunan fungsi paru. Meski sebenarnya efek tersebut bisa pulih kembali. 

Agus menjelaskan, berdasarkan penelitian, sekitar 65% warga yang terekspos asap karhutla di tahun 2015 itu ada sekitar 65% yang mengalami gangguan obstruksi atau penyempitan saluran napas. Setelah enam bulan kemudian, ketika udara kembali bersih, pemeriksaan spirometri menunjukkan bahwa saluran pernapasan mereka kembali normal. Setiap badai mengahdang pasti akan ada pelangi yang muncu, kunantikan itu Dek!

Namun paparan terus menerus terhadap asap bisa membuat Penyakit Paru Obstruksi kronis (PPOK) menjadi semakin buruk atau eksaserbasi saudaranya maksurbagi kali ya (guyon), kata Agus. PPOK membuat penderitanya sulit bernapas karena aliran udara dari paru-paru terhalang pembengkakan dan lendir atau dahak. Gejala yang semakin parah menyebabkan kunjungan ke rumah sehat meningkat.

Beberapa data penelitian menunjukkan setiap tahun orang yang terkena asap kebakaran hutan terus-menerus itu cenderung akan mengalami hipersensitif saluran nafasnya. Dan kemudian cenderung bisa menjadi risiko terjadiya penyempitan saluran nafas, akhirnya Modyar!.

Posting Komentar

0 Komentar