
Jum’at, 20 September 2019, Lingkar Gayatri kali
ini membahas “Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan” yang di pantik oleh Mbak Desy mahasiswa Akidah
dan Filsafat Islam semester 5. Peserta hadir di ruang IJIR (Pusat Kajian Islam Jawa)
yang dipadati oleh
Mahasiswa IAIN Tulungagung dan beberapa kolega Intelektual.
Tema yang dibawakan mengenai ketidakadilan gender merupakan bentuk
perlakuan perbedaan atas alasan gender, seperti pilih kasih. Pembatasan peran
yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan
juga bentuk dasar dalam bidang sosial.
Bentuk–bentuk ketidakadilan gender bagi
perempuan meliputi, Subordinasi, Stereotip, Marjinalisasi, Kekerasan (Violence)
dan Beban Ganda. Artinya, Subordinasi merupakan anggapan atau pandangan terhadap pada perempuan, yang menempatkan kedudukan mereka pada posisi kedua pada taraf kultural. Contoh, masyarakat mengaggap perempuan yang
keluar merupakan perempuan tidak baik–baik.
Stereotip suatupelabelan atau penanda oleh masyarakat untuk sesuatu yang dianggap merugikan. Seperti perawan tua. Ini tidak hanya
menyerang perempuan saja, laki – laki juga bisa.
Marjinalisasi (peminggiran) atau tersisihkan, posisi perempuan yang sebagian besar tidak dianggap, karena laki–laki yang dominan sebagai pengambil
keputusan. Seperti dalam ranah rumah
tangga, tanggapan dari seorang perempuan terpinggirkan atau tidak dianggap.
Kekerasan (violence)
merupakan kekerasan pada perempuan akibat dari perbedaan. Arti dari violence
yaitu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang. Jadi, kekerasaan
tidak hanya menyangkut fisik saja seperti pemerkosaan, pemukulan dan
penyiksaan. Ada juga menyerang non fisik seperti pelecehan, body shaming yang secara mental atau
emosional terusik. Pelaku kekerasan bermacam–macam ada yang bersifat individu,
baik didalam rumah tangga maupun dalam masyarakat.
Terlebih lagi beban ganda yang merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Seperti perempuan dobel-aktifitiy; tanggungan mengurus rumah dan
bekerja. Perempuan yang bergerak pada kegiatan di luar rumah tangga dianggap
ketimpangan dalam keluarga, karena hanya menganggap laki–laki yang wajib melakukannya.
Selanjutnya, ketidakadilan gender merupakan konstruksosial
yang meresahkan
bagi perempuan.
Karena hak kebebasan mereka terkekang oleh pelabelan kelompok masyarakat.
Kebebasan disini merupakan legitimasi pada diri mereka sendiri, namun legitimasi ini merupakan hak mereka yang terikat pada bentuk sosial kultural. Maksudnya, bagi gender, perawan merupakan hal yang tidak
penting untuk diberitahukan. Ini terbentuk dari kesadaran mereka sendiri.
Seperti tanggapan dari mbak Selly kolega FPF (Forum
Perempuan Filsafat), “Perempuan sangat sulit mengutarakan apa yang dirasakan. Karena
sudah terkonstruk oleh lingkungan sosial. Contoh Dalam tafsir hadist, perempuan
harus melayani suaminya dalam keadaan apapun. Dalam tafsir Ini merupakan
kewajiban yang ditanggung perempuan sebagai istri. Dalam agama pun demikian. Tapi, kesetaraan
gender dalam masyarakat dianggap sebagai produk pemikiran barat yang bisa
mengancurkan pembatas antara laki – laki dan perempuan. Tanggapan seperti ini
sangat mudah masuk karena tanpa ada filter penyaringan.”
Bisa disimpulkan ketidakadilan gender yang
terjadi pada perempuan karena terkonstruk oleh lingkungan sosial. Untuk
meligitimasi hak perempuan itu tergantung pada perempuan sendiri. Karena
perempuan mempunyai hak atas diri mereka sendiri.
0 Komentar